Awan melemparkan pulpennya ke atas kertas yang ada di meja, kepalanya lagi-lagi pusing bukan kepalang karena kembali mengingat tatapan wanita tadi. Untungnya setelah Awan selesai rapat dan kembali keruangannya ia tidak bertemu dengan wanita itu lagi.Dengan kesal ia memutarkan kursinya membelakangi pintu masuk ruangannya, pandangannya melihat kesekeliling ruangan yang terasa pengap dan tertutup karena satu-satunya jendela hanya ada di bagian atas ruangan memanjang, membuat tidak mungkin orang di luar dapat melihat ke dalam dan begitu pula sebaliknya, tapi, bila terdengar suara gaduh dari dalam ruangan akan terdengar keluar dan suara dari luar akan terdengar ke dalam. Sirkulasi udara ruangan itu lumayan sejuk namun, bila sedang dalam kondisi sangat panas, satu-satunya udara dingin yang Awan dapatkan hanya dari AC. Awan mengetuk-ngetuk telunjuknya ke pegangan kursi mencoba untuk menenangkan dirinya."Ngapain dia di sana?" bisik Awan sambil menghela napas."Siapa?"Awan kaget saat mende
"Ah ... Awan," desah Sonya dengan suara lebih keras saat merasakan liukkan lidah Awan di bagian ceruk kenikmatan miliknya, Sonya memekik kecil saat merasakan gigitan kecil Awan di bagian bawah tubuhnya. Pinggul Sonya terangkat seolah meminta lebih dari lelaki yang saat ini sedang membenamkan bibirnya di kewanitaan miliknya. Rasa sakit dari gigitan Awan berubah nikmat saat lidah Awan menyapu dengan sensual permukaan ceruk kenikmatan Sonya, bibir Sonya terbuka dan terus mendesah beriringan dengan jilatan Awan yang melambungkannya ke pusaran kenikmatan. Kriet .... Awan terdiam, lidahnya berhenti memanjakan Sonya. Indra pendengarannya seolah mengambil alih dan menyadarkan dirinya kalau saat ini mereka sedang berada di kantornya. Kantornya ini tertutup tapi, suara desahan Sonya mampu membuat bulu kuduk siapa pun berdiri sangking sensualnya. "Wan," bisik Sonya yang sadar kalau Awan menghentikan apa pun yang sedang ia lakukan di bawah sana. "Kenapa?" Awan terduduk dengan menggunakan lut
Keheningan yang mencengkam benar-benar membuat Awan mual dan ingin melarikan diri dari sana, suara detik jarum jam terdengar hingga membuat gendang telinganya sakit bukan main. Awan benci keheningan seperti ini, sebuah kesenyapan yang dibalut tatapan tajam penuh emosi yang saat ini Awan dapatkan. Rasanya Awan ingin berdiri dan melarikan diri dari ruangan kerjanya, menjauh dari wanita yang sudah Awan torehkan lukanya hingga merenggut apa yang selama ini sudah ia harapkan. Manik mata Awan beralih dari melihat wajah wanita itu ke arah sofa yang ada di sampingnya, pikirannya kembali melayang dengan apa yang baru saja ia dan Sonya lakukan di sana. Sebuah hal yang sangat ia sukai, rasanya ruangan itu awalnya terasa penuh dengan gairah dan birahi, panas dengan cara yang Awan suka. Sekarang ruangan itu memang masih terasa panas namun dibalut emosi marah dan kekecewaan yang sangat terasa menusuk kesetiap inci tubuh Awan, perasaan yang seolah menampar Awan dan meluluhlantakan dirinya hingga
Sonya dengan gusar berjalan di sepanjang lorong, sesekali dia melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. "Aduh telat."Sonya sadar kalau dirinya sudah telat menjemput si kembar, perjalanan dari rumah sakit ke sekolah si kembar membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dan saat ini bila Sonya memaksakan menjemput si kembar pasti dia tetap akan terlambat 20 menit.Tiba-tiba saja Sonya merasa tidak enak pada Hana dan Haikal yang harus menunggunya di sekolah selama itu, dengan cepat ia melangkahkan kakinya. Suara sepatunya terdengar di sepanjang lorong rumah sakit dan membuat beberapa pegawai rumah sakit yang mengenalnya menyapa dirinya. "Dokter Sonya.""Iya kenapa?" tanya Sonya sambil melirik kek kiri tapi tidak menghentikan langkahnya. "Ada apa Dokter Bana? Apa ada operasi?""Oh, bukan ... nggak ada operasi, saya hanya ingin menyapa dan ini kenapa buru-buru sekali?" tanya Bana bingung melihat Sonya berjalan seperti di kejar setan. "Iya, saya telat jemput anak-anak saya. Nggak tega s
Kring ... Kring ....Suara telepon terdengar dari dalam tas Sonya, dengan cepat Sonya mematikan mobilnya dan mengambil ponsel dari dalam tasnya. "Halo.""Kamu di mana? Udah sampai belum?" tanya Awan tanpa menjawab sapaan Sonya."Udah di parkiran, tadi di lampu merah macet banget," jawab Sonya sambil mengambil barang-barang miliknya dan keluar dari mobil."Oh ... oke," ucap Awan sambil mematikan sambungan telepon."Lah ... hei, Awan ...." Sonya melihat layar ponsel miliknya karena kaget Awan mematikan sambungan telepon, "Wan ... hei, Awan."Sonya dengan kesal memasukkan ponselnya ke tas dan bersiap keluar mobil, saat ia membuka pintu mobil ia merasakan hentakkan di pintu mobilnya."Ah ... ampun, Awan!" pekik Sonya kaget karena Awan sudah ada di sebelah mobilnya, wajahnya terlihat kelelahan dan rambutnya berantakan. Sonya ingat siang tadi lelaki itu pun berpenampilan sama. Rambut dan pakaian yang berantakan namun raut wajahnya penuh dengan kepuasan karena sudah menggauli dirinya. Sedangk
"Wah saya sangka Anda sudah tiada Om Fuad, karena dari kemarin saya sering berbincang dengan cucu Anda tidak satu pun dari mereka mengenal Anda," sahut Sonya dingin, sudahlah Sonya tidak peduli bila ia dibilang kurang ajar atau wanita hina sekali pun oleh kelurga Intan. Sonya sudah muak dengan prilaku mereka yang selalu menghina Awan.Mendengar jawaban Sonya sontak Fuad membanting garpu dan pisaunya ke meja membuat suara dentingan yang sangat keras hingga membuat beberapa orang yang ada disekitar mereka melirik penuh keingin tahuan."Kenapa? Merasa bersalah?" tanya Sonya santai sambil melepaskan genggaman Awan dan duduk di samping Hana dan Haikal. Sonya langsung menoleh pada Awan dan berbisik pelan, "duduk, Wan."Awan hanya bisa pasrah berada disituasi sangat canggung ini, ia berharap dengan kedatangan Sonya bisa membantunya keluar dari situasi tidak enak yang ia rasakan bersama Intan, Nirmala dan terlebih lagi Fuad, tapi setelah kedatangan Sonya situasi malah makin terasa tak enak aki
Mendengar pertanyaan Sonya, wajah Fuad otomatis memerah karena menahan amarah. Benar apa yang ia pikirkan, wanita bernama Sonya ini mengerikan bila sudah melontarkan kata-kata. Kata-katanya biasa namun penuh kebenaran dan sangat menusuk juga meluluhlantahkan harga dirinya. Parahnya, Sonya mengatakan itu semua di depan kedua cucunya.Tak dapat dipungkiri Fuad menyukai Hana dan Haikal, kedua anak itu terlihat ramah, rapi, baik, berpendidikan dan sangat terurus dengan baik. Rasanya melihat kedua cucunya itu seperti anak yang dilimpahkan berjuta kasih sayang oleh orang yang merawatnya, walaupun orang yang merawatnya adalah seorang pembunuh tapi, dia bisa mengurus Hana dan Haikal dengan baik. Bahkan, Fuad melihat seragam yang dikenakan Hana dan Haikal pun bukan seragam sekolah sembarangan."Bisa kamu ajarkan sopan santun calon istri kamu itu?" tanya Fuad sambil menahan amarahnya yang sudah di titik didihnya."Kenapa saya harus di ajarkan sopan santun, Om Fuad?" tanya Sonya dingin sambil me
"Ngaco!" seru Sonya geram."Bapak nggak salah ngomong?" tanya Sonya sambil ikut berdiri dan mendekati Fuad sehingga mereka saling berhadapan, sedangkan Awan berdiri di sampingnya."Saya sudah bilang saya mau anak-anak itu, pokoknya saya mau mengurus sendiri anak-anak itu tanpa ada campur tangan Awan, saya tidak mau sampai anak-anak itu ketakutan kalau sampai tahu kalau Daddy-nya sendiri yang bunuh ibunya!" sentak Fuad."Pa, sudah Pa, malu dilihat orang," bisik Intan sambil melihat kesekeliling restoran yang lumayan penuh itu, bahkan ada beberapa orang di meja sebelah yang kaget saat mendengar teriakkan Fuad dan memutuskan untuk meninggalkan meja makan karena merasa tidak nyaman."Kenapa harus malu? Ini kenyataan, lelaki itu sudah membunuh anak saya! Dia cekoki anak saya dengan pil penggugur kandungan dan dia bawa anak saya dengan mobil ugal-ugalan juga dalam keadaan dirinya mabuk hingga terjadi kecelakaan yang membuat anak saya meninggal!" sentak Fuad dengan suara yang sangat keras se