Share

Dikira Miskin Saat Pulang Kampung
Dikira Miskin Saat Pulang Kampung
Author: rafanalfa6819

Cibiran Tetangga

 

 

"Wah, ada orang kota datang nih!" celetuk Mbak Gina saat motor yang kutumpangi bersama suami berhenti tepat di depan rumah.

 

 

Sudah menjadi hal lumrah di kampungku, ketika menjelang siang, para ibu-ibu akan duduk bergerombol dan membicarakan banyak hal, termasuk gibah juga.

 

 

Aku tersenyum mendapat sindiran dari Mbak Gina. Pasalnya aku memang menikah dengan Mas Vano yang notabenenya adalah pemuda dari kota. Para tetangga tidak tau siapa suamiku sebenarnya, karena pernikahan kami hanya dilangsungkan secara agama di kampung, dan resepsi di gelar di kota yang hanya dihadiri Bapak juga Ibu saja.

 

 

Kusodorkan tangan untuk bersalaman, tapi respon mereka sungguh di luar dugaan.

 

 

"Duh, Halimah! Kalau nggak sanggup hidup di kota, mending pulang kesini saja. Jauh-jauh ikut suami tapi pulang-pulang malah pake motor butut gitu. Apa nggak capek punggungmu?" sahut Arini, teman sekolahku dulu. 

 

 

"Kebetulan mobil kami ngadat di tengah jalan ...."

 

 

Belum sempat aku melanjutkan ucapan, mereka semua tertawa seolah aku sedang bercanda.

 

 

"Oalah, Halimah ... Halimah! Pakai segala ngomong mobilnya tengah ngadat di tengah jalan. Kalau cuma punya motor butut mah, ngaku aja! Kami semua tau kok kalau suami kamu cuma pelayan cafe!" Bu Eni, mertua Mbak Gina turut berbicara.

 

 

Aku mengerutkan kening, darimana mereka menyimpulkan jika Mas Vano adalah pelayan Cafe? 

 

 

"Kamu pasti kaget kan karena kita tau apa pekerjaan suamimu itu? Iyalah, kami tau. Hesti anak sulungku yang cerita, waktu dia nongkrong di Cafe, dia lihat suami kamu lagi melayani pembeli," jelas Bu Eni lagi. Hanya karena Mas Vano membantu melayani pembeli, lantas mereka mengira jika suamiku hanyalah pelayan Cafe? 

 

 

"Maaf, Bu Eni. Tapi Cafe itu adalah milik ...."

 

 

"Kamu pasti mau bilang kalau Cafe itu milik suami kamu, begitu kan?" Mereka semua tertawa mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mbak Gina. Rasa-rasanya mereka seperti sedang bersekongkol menghinaku. Aku paham, dulu, anak bungsu Bu Eni yang bernama Kang Tarjo, datang melamarku setelah aku lulus sekolah. Tapi dengan jelas aku menolak, karena ingin bekerja dan membuat hidup Bapak serta Ibu berkecukupan. Siapa sangka, setahun bekerja di Cafe milik Mas Vano, membuat lelaki itu menyatakan perasaannya dan meminangku ke rumah. Mungkin ini yang membuat Bu Eni begitu membenciku, dia merasa aku telah menghina putranya dengan cara menolak lamaran Kang Tarjo.

 

 

"Dulu aja sok-sokan nggak mau dinikahin Tarjo, sekarang lihat, anakku punya empang banyak. Tapi kamu ... pulang-pulang malah bawa motor butut. Rugi hidup lama di kota tapi nggak kaya-kaya. Ya nggak, Ibu-ibu?" seloroh Bu Eni dengan mulut mencap-mencep.

 

 

"Dek, yuk masuk. Ibu sama Bapak pasti nungguin kita." Mas Vano menggenggam jemariku dan berpamitan pada Ibu-ibu yang duduk bergerombol di depan rumah Arini yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku. 

 

 

"Tuh, pangeran miskinnya dah nyamperin. Kalau dibanding Kang Tarjo mah, jauh ya Bu En," kata Arini dengan senyuman sinis ke arahku. 

 

 

"Ya, jelas. Makanya aku pilih kamu jadi calon menantu." Bu Eni mengusap rambut Arini lembut. Jadi, Arini mendekati Kang Tarjo? Aku tau, wanita itu sejak dulu menyukai Kang Tarjo, bahkan dia dengan terang-terangan mengatakan tidak menyukaiku karena Kang Tarjo datang ke rumah untuk melamarku. Ternyata impiannya sebentar lagi menjadi kenyataan. "Mending dapat suami dari kampung tapi kaya, daripada suami orang kota, tapi...."

 

 

"Kismin!" teriak Mbak Gina dan disusul gelak tawa oleh para tetangga yang lain.

 

 

Aku yang hendak menoleh dan membalas ucapan mereka, harus kembali meredam emosi saat suara Mas Vano terdengar di telinga, "Udah biarin aja. Masih penting ya penilaian manusia?" 

 

 

Mau tidak mau aku melanjutkan langkah menuju rumah Ibu. Rumah yang sudah sekian tahun aku tinggalkan demi mengabdi pada suami. Ah, rasa rindu pada Bapak dan Ibu membuat cibiran-cibiran para tetangga menguap begitu rasa.

 

 

"Malu nih ye! Makanya jangan sok-sokan jadi cewek. Anakku yang kaya dia tolak, sekarang malah dapat lelaki yang kendaraannya cuma motor butut. Kalau Tarjo nggak perlu diragukan lagi, kamu mau mobil merk apa, Rin?" Ucapan Bu Eni pada Arini yang terdengar lantang, kurasa memang sengaja agar aku bisa mendengarnya. 

 

 

"Jauh-jauh hidup di kota, eh, pulang-pulang malah nggak bawa apa-apa. Bingkisan kek buat para tetangga!" sahut Mbak Gina.

 

 

"Bingkisan? Orang tiap bulan aja Kakaknya ambil pinjaman di Bank Keliling." Penuturan Bu Diah membuatku harus menghentikan langkah saat pintu rumah tepat di depan wajah.

 

 

"Beruntung ada Tomi dan istrinya, kalau tidak, mungkin Ibu sama Bapaknya udah mati kelaparan. Punya anak gadis tapi lebih milih hidup di kota, padahal ya gitu ... Masih aja miskin meskipun tinggal di kota!" sambung Bu Diah lagi.

 

 

Dadaku terasa nyeri. Lalu kemana uang kirimanku tiap bulan untuk Bapak dan Ibu? Bukankah aku sudah memasrahkan semuanya pada Mas Tomi dan istrinya?

 

 

Mas Vano mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Terbuat dari apa hati lelaki di sampingku ini? Padahal jelas-jelas semua tetangga sedang membicarakanku juga dirinya, tapi dia masih saja tenang tidak terpancing emosi sama sekali.

 

"Halimah?" pekik Ibu kaget, "Tomi bilang kamu habis kecelakaan, sekarang sudah sehat?"

 

Aku dan Mas Vano saling berpandangan. Melihat kebingungan di wajahku dan Mas Vano, ibu meminta kami masuk ke dalam rumah. Kasak-kusuk tetangga masih terdengar, tapi aku memilih untuk meredam emosi lebih dulu. Sepertinya ada hal yang lebih penting daripada cibiran pada tetangga.

Bersambung

 

 

 

    

Comments (22)
goodnovel comment avatar
A Arman Ariyono
penasaran SM
goodnovel comment avatar
Restu Bening
menarik sekali utk di baca
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Heem Tomi ngadiĀ² nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status