Share

Membungkam Mulut Tetangga

 

 

Menjelang sore hari, mobil Mas Vano diantar ke rumah oleh salah satu pekerja bengkel. Para tetangga datang berkerumun ketika melihat sebuah mobil berwana silver masuk ke halaman rumah Ibu. Decak kagum kudengar keluar dari mulut para Ibu-ibu termasuk Bu Eni.

 

 

 

"Bagus sekali, besok Tarjo kusuruh juga beli yang model begini," seloroh Bu Eni. Aku yang berdiri di depan pintu hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman.

 

 

 

"Eh, Halimah ... Itu kamu nyewa mobil dimana? Bisa mulus gini ya, kayak paha artis-artis di Tipi," celetuk Bu Diah. Para tetangga mengangguk antusias kemudian disusul gelak tawa. Jadilah depan rumahku seperti tengah mengadakan pameran mobil mewah.

 

 

 

"Ini mobil suami saya, Bu...."

 

 

 

"Mulai deh menghayalnya! Itu aja yang nganterin orang lain. Kalau mobil suami kamu, jelas yang bawa kesini juga suami kamu lah! Udah lah, Hal, jangan bersikap sok kaya begitu, apalagi cuma buat aku ngiri. Nggak bakalan! Tarjo juga bisa beli yang kayak gini, lima sekaligus!" sombong Bu Eni di depan para tetangga.

 

 

 

Mas Vano hanya geleng-geleng kepala melihat keangkuhan sikap Bu Eni. Tapi sejauh ini, tidak kudengar dia membalas ucapan para tetangga yang sudah menghina kami.

 

 

 

Ibu keluar dari dalam rumah dan berdiri di sebelahku. Netranya menatap wajahku penuh selidik, tapi aku hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Biarlah Mas Vano yang menjelaskan semuanya. Lagipula ada hal yang harus kita urus setelah ini.

 

 

 

"Eh ada Bu Leha. Jangan sedih kalau ternyata menantunya hanya mampu sewa mobil ya?" Bu Eni cekikikan setelah berbicara demikian. "Coba aja dulu Halimah mau menikah sama Tarjo, udah aku borong mobil macam ini."

 

 

 

"Ini, Pak, kuncinya. Dan ini nota yang harus dibayarkan." Salah satu pekerja bengkel menyerahkan kunci mobil dan nota tagihan pada Mas Vano. Suamiku membuka dompet dan menyerahkan uang sebesar satu juta pada pekerja bengkel di depannya. Setelahnya, pekerja bengkel pergi dengan salah satu temannya.

 

 

 

"Wah, satu juta. Untuk berapa hari itu sewa mobilnya?"

 

 

 

"Gila, pingin diakuin kaya sampe nyewa mobil semahal itu."

 

 

 

"Mending juga buat biaya mertuanya, daripada nyewa mobil biar terlihat keren. Menjijikkan!"

 

 

 

"Jangan-jangan gaya sosialita hutang dimana-mana, ya nggak, Ibu-ibu?"

 

 

 

Masih banyak lagi ucapan sumbang para tetangga. Tapi Mas Vano masih saja diam dan berlalu meninggalkan mereka yang berdiri angkuh di depan rumah Ibu.

 

 

 

"Huuuu, miskin aja sombong! Belagu, padahal mobil hasil rentalan!" Bu Eni berapi-api menghina Mas Vano.

 

 

 

Suamiku melenggang masuk ke dalam rumah. Tidak lama setelah itu, dia kembali keluar dengan membawa tas hitam yang kutahu berisi emas logam.

 

 

 

"Ibu-ibu ingin oleh-oleh dari kami? Mari, Bu. Kesini!" 

 

 

 

Kulihat mereka saling berpandangan, pelan-pelan satu per satu dari mereka melangkah maju ke halaman rumah kami.

 

 

 

"Emang mau kasih apa, Mas? Bukan barang kreditan kan?" selidik Mbak Gina dengan bibir mencebik.

 

 

 

Aku menghela nafas panjang. Masih saja mereka melontarkan kalimat pedas, padahal aku tau, mereka juga mau-mau saja dikasih barang cuma-cuma.

 

 

 

"Udahlah, Mas. Nggak usah, lagipula mereka nggak akan mengubah pandangannya pada kita. Ada yang jadi kompor di kampung ini, Mas, aku tau itu!" ucapku lantang, membuat bibir Bu Eni mencebik.

 

 

 

"Halah, ayo kita pulang. Itu pasti cuma asal-asalan dia aja mau ngasih kita oleh-oleh. Mereka itu miskin! Jangan cuma gara-gara mobil ini kota jadi terkecoh!" Bu Eni membalikkan badannya hendak berlalu.

 

 

 

"Ini emas logam, Bu. Memang nggak besar, cuma 1 gram. Tapi kalau dijual bisa mencapai satu juta. Kalau mau, silahkan!"

 

 

 

Mata mereka melebar sempurna. Langkah Bu Eni seketika berhenti dan menoleh ke arah Mas Vano. Dia berlari kecil dan merampas emas logam dari tangan Mas Vano. Aku berdecak lirih, ngakunya kaya, giliran dapat yang gratisan lari duluan.

 

 

 

"Eit ... Ibu juga mau oleh-oleh dari kami? Si keluarga miskin yang sok-sokan kaya dengan menyewa mobil?" Mas Vano merampas kembali emas logam dari tangan Bu Eni, membuat wanita paruh baya itu menghentak-hentakkan kakinya.

 

 

 

Tiba-tiba semua tetangga sudah berbaris rapi di depan Mas Vano. Bu Eni menyelinap di tengah-tengah mereka dengan membuang muka. Malu? Tentu saja, aku yakin dia malu karena setelah menghina kami, dia justru ikut-ikutan meminta oleh-oleh yang Mas Vano berikan.

 

 

 

"Terima kasih ya, Mas. Bu Leha, makasih ya oleh-olehnya. Duh, ini kalau dijual pasti harganya mahal." Mbak Laila, tetangga samping rumahku mengucapkan terima kasih pada kami. Mereka menjabat tangan suamiku bergantian, lalu berkerumun di depan rumah dengan berdecak kagum memuji Mas Vano.

 

 

 

Saat tiba giliran Bu Eni, Mas Vano menatap mata wanita di depannya dengan tajam. Bu Eni membuang muka dan menadahkan tangannya di hadapan suamiku. Mas Vano memasukkan kembali sisa emas logam kedalam tas hitam miliknya sambil berbicara, "Maaf, Bu. Sisa satu dan ini untuk saya pribadi."

 

 

 

Kulihat dada Bu Eni naik turun. Matanya menatap nyalang ke arah Mas Vano, "Kalau mau bagi-bagi yang serius dong! Masa semua dapat tinggal aku yang nggak dapat?" seru Bu Eni marah.

 

 

 

Ibu melihat ke arahku, mau tidak mau aku mendekati Mas Vano dan meminta untuk mengalah. Bagaimanapun, hadiah emas logam ini memang kami khususkan untuk para tetangga sebagai rasa syukur kami karena cabang Cafe di kota ini sudah launching.

 

 

 

"Kasih aja, Mas. Biar nggak rame, lagipula itu memang jatahnya Bu Eni kan?" bisikku lembut.

 

 

 

Senyum sumringah terbit di bibir Bu Eni saat Mas Vano mengangsurkan emas logam ke tangannya. Dia berlalu tanpa mengucapkan terima kasih seperti yang para tetangga ucapkan. 

 

 

Mas Vano lagi-lagi dibuat geleng-geleng kepala melihat kelakuan Bu Eni. 

 

 

"Alhamdulillah, ternyata Mbak Halimah dan suaminya baik banget ya? Hampir aja tadi kita ikut-ikutan nyinyirin dia. Nggak taunya malah kita dikasih oleh-oleh emas logam begini."

 

 

Aku menoleh, kulihat Bu Gun yang berbicara dan dibalas anggukan setuju oleh para tetangga yang lain.

 

 

"Halah, emas kecil begini mah, Tarjo juga bisa bagi-bagi buat kalian! Ini pasti murah, orang kecil begini," ujar Bu Eni.

 

 

"Kecil-kecil gini Bu Eni juga ikutan baris kan? Udah deh, berhenti usilin Mbak Halimah, mungkin dia memang sudah sukses di kota," sahut Bu Edi, tak kalah bijaknya.

 

 

"Sukses apaan, orang Astri aja tiap bulan nyari pinjaman buat makan sehari-hari mertuanya!" desis Mbak Gina nyolot. Matanya melirik tajam ke arahku dan Mas Vano berdiri. 

 

 

Tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan karena mendapat cibiran para tetangga, aku mengajak Mas Vano untuk masuk ke dalam rumah mengingat hari sudah semakin sore, sebentar lagi adzan magrib akan berkumandang.

 

 

_________________________

 

 

"Wah, ada Mbak Halimah. Kapan datang?" tanya Kang Sayur padaku. Sepagi ini, suasana gerobak Tukang Sayur masih cukup sepi, hanya ada satu atau dua pembeli yang berdiri disana.

 

 

 

"Kemarin, Kang. Tolong ayam satu kilo ya, Kang!" 

 

 

Tukang Sayur mengangguk dan menyiapkan pesananku. Di tengah sibuknya memilih sayuran segar, aku dikejutkan dengan suara wanita di belakangku.

 

 

"Bisa beli lauk ayam juga ternyata, kasihan ya Leha sama Purnomo, tiap hari metikin sayur katuk depan rumah. Pantes udah tua tapi sakit-sakitan!" 

 

 

Ibu-ibu yang baru saja datang hanya diam. Mungkin merasa tidak enak hati padaku karena kemarin sudah mendapat oleh-oleh emas dari Mas Vano, atau kemungkinan lain, mereka malam menanggapi nyinyiran Bu Eni.

 

 

"Harusnya nih ya, kalau emang udah sukses di kota, bisa lah tiap bulan kirim uang buat orang tuanya di kampung. Bukan malah membebani kakak lelakinya yang lagi bangun rumah. Kasihan kan, Tomi, rumahnya sampai sekarang masih proses karena harus mengurus Ibu dan Bapaknya yang sakit-sakitan itu! Astri sering loh cerita sambil nangis-nangis ke aku gara-gara adik iparnya yang seolah lupa sama orang tuanya."

 

 

Bu Eni berbicara panjang lebar, membuat kedua tanganku terkepal kuat. 

 

 

"Asal Bu Eni tau, tiap bulan saya selalu mengirim uang sebesar lima juta melalui Mas Tomi. Selama ini saya diam karena tidak ingin membuat keributan dengan tetangga, tapi saya rasa, ucapan Bu Eni kali ini sungguh keterlaluan!" ujarku marah. Bu Eni mencebik dan memainkan satu tangannya yang sudah dilengkapi gelang keroncong berwarna emas. 

 

 

"Kalau halu jangan kebangetan, Hal ... Mana mungkin Astri sampai kelimpungan cari pinjaman kalau kamu tiap bulan kirim uang sebesar lima juta!"

 

 

"Lama-lama omongan kamu udah kaya pesawat terbang. Terlalu tinggi!" cibir Bu Eni tertawa sumbang.

 

 

"Lebih baik diam saja jika Bu Eni tidak mengerti apa-apa. Lagipula kenapa Bu Eni suka sekali mengurus rumah tangga saya? Sakit hati gara-gara Kang Tarjo saya tolak waktu itu?" 

 

 

Mulut Bu Eni diam seketika. Matanya memerah menatap ke arahku. Kusungingkan senyuman tipis, membuat dada Bu Eni terlihat naik turun.

 

 

"Kamu kira secantik apa dirimu, Hal? Tarjo akan menikah dengan Arini, wanita itu jauh lebih cantik dan modis daripada kamu! Asal kamu tau, Arini bekerja di Cafe baru di kota ini, dia dijadikan kepala pelayan disana. Jabatan yang bagus kan? Tidak perlu merantau jauh, dia bisa bekerja dengan elegan!" Sombong Bu Eni, membuatku ingin tertawa. Cafe baru di kota? Itu artinya Cafe baru milik Mas Vano, besok akan aku lihat semua karyawan disana. Aku yakin, Arini hanya membual soal jabatannya. Karena aku tau pasti, Adisti yang bertanggung jawab atas Cafe baru kami.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Rifandari Erlina
bagus alur ceritanya6a
goodnovel comment avatar
Asep Sudrazat
mantullll bener cerita y
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
Bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status