Share

Tak Sadarkan Diri

"Re-Reina, buka matamu! aku mencintaimu, sayang. Aku tak mau kehilanganmu, bangunlah Reina!" Roy mengusap pipi istrinya dengan punggung ruas jemari tangan, lalu mengangkat kepala Reina dan meletakkannya di atas pangkuan.

Hampir lima belas menit Reina masih terbaring tak berdaya. Roy merasa sangat takut akan kehilangan istrinya, meskipun dia kesal dan marah, tapi, ia tidak rela jika sang istri meninggalkannya dengan cara seperti ini. Bukan karena rasa sayang, melainkan takut dengan hukum yang berlaku di negara ini.

"Reina, maafkan aku." 

Baru pertama kalinya Roy mengucapkan kata maaf pada Reina, mungkin dia keceplosan saking paniknya, ia merasa cemas karena istrinya tak kunjung membuka mata, ia menepuk-nepuk pipi Reina pelan, lalu meraba pergelangan tangannya, untuk memastikan bahwa sang istri masih bernyawa.

"Syukurlah, masih ada denyut nadinya," gumam Roy lega. "Rei, bangun! Reina, cepat bangun! Kau jangan menakut-nakuti aku!" Roy mulai panik, karena istrinya tak jua merespon apapun yang dilakukannya, ia bangkit mengambil sesuatu dari laci nakas, dan kembali, kemudian mengolesi minyak angin di bawah hidung Reina. Namun, wanita itu tetap bergeming.

"Sudahlah, Rei, jangan buat aku cemas! Lagipula, jika kau mati juga, aku tak peduli! Tapi, aku gak mau dipenjara gara-gara kamu!"

Roy meletakkan kepala Reina di lantai, merasa putus asa, lalu bangkit dan mengusap wajah serta rambutnya kasar frustasi, hatinya kian dilanda kecemasan yang amat sangat.

 "Bagaimana ini? Kenapa dia tak sadar juga? Kalau begini terus, dia mati," ucap Roy sambil berdiri dengan gusar, memindai tubuh dan wajah Reina yang sangat pucat. "Aku tidak mau, membusuk di penjara gara-gara dia. Aku harus cari cara, agar perempuan sialan ini bangun. Ya, aku tahu." Roy merasa ada angin segar setelah melihat sisa air dalam gelas yang ada di atas nakas, ia teringat sesuatu. 

Kemudian Roy berlalu ke kamar mandi mengambil gayung berisi air setengah berlari. 

Byur!!

Tanpa ada rasa belas kasihnya, karena merasa kesal bercampur khawatir juga takut. Dengan kasar ia mengguyur wajah Reina menggunakan air tersebut.

"Awas saja, kalau kau masih berpura-pura!" Roy benar-benar seperti orang tak waras, ia malah mengatakan bahwa Reina berpura-pura pingsan. Padahal ia tahu Reina seperti itu akibat perbuatannya.

Karena guyuran air, membuat Reina terkesiap dan membuka matanya seketika, ia mengerjap seraya menggelengkan kepala menghilangkan rasa pusing. Kedua tangannya mengusap wajahnya yang basah karena air yang sengaja disiramkan oleh Roy.

"Bangun ...!" bentak Roy setelah Reina sadar, rasa panik dan simpatinya seketika hilang entah kemana.

Roy berdiri tegak di hadapan Reina, sambil berkacak pinggang, tangan kanannya masih memegang gayung air bekas menyiram wajah dan tubuh Reina.

"Mas, aku pusing, apa yang terjadi padaku?" tanya Reina dengan suara parau, ia berusaha mengumpulkan kesadarannya.

Wanita itu menarik tubuh dan menyandarkan punggung di tembok kamar. Kepalanya terasa berdenyut hebat, lehernya pun masih terasa sakit. Dia menengadah seraya bergeming mengingat-ngingat, kenapa leher dan tubuhnya terasa begitu ngilu. 

"Iya, aku baru ingat, ini bekas perbuatan suamiku tadi." Batin Reina, ia menatap Roy sekilas dengan rasa takut, "Dasar, lelaki gila! Aku selingkuh gara-gara kamu, coba kalau kamu memperlakukanku seperti semestinya, aku takkan pernah menduakanmu," gumamnya dalam hati.

Pria berkemeja putih dan celana bahan warna hitam itu, mendekat dan berlutut di samping Reina.

"Kau, hampir membuat aku mati berdiri, Reina!" ucap Roy kesal, ia menggertakkan giginya, dan melemparkan benda penciduk air itu ke lantai hingga pecah berkeping-keping.

"Hak," hati Reina terhenyak dengan kelakuan suaminya.

"Kau, belum menjawab, pertanyaanku yang tadi! Kamu semalam kemana?" tanya Roy lagi, masih dengan pertanyaan yang sama. Tatapan matanya berkilat, bak belati yang siap menghujam jantung Reina.

"Meski sekalipun kau membunuhku, jawabanku tetap sama," ucap Reina masih tetap berbohong.

"Sudah bosan hidup rupanya, kau!" suara Roy begitu berat dan mengerikan. 

Karena belum mendapatkan jawaban pasti dari bibir Reina, dan ia tidak yakin dengan perkataan istrinya, sehingga ia terus mendesak wanita yang kini dalam keadaan takut, untuk berkata jujur.

Kejadian tadi tak membuat Roy sedikitpun merasa simpati, dia tetap kasar pada Reina. Dia menatap wanita yang sedang ketakutan itu dengan tatapan nyalang, tangan kiri Roy menyambar dagu Reina, lalu mencengkramnya kuat, dan menengadahkan wajahnya.

"Mas." Reina menatap sekilas wajah tampan Roy, dan gegas membuang kembali pandangannya ke arah lain, ia tak mampu menatap sorot matanya yang tajam menghujam, membuat tubuh Reina bergetar melihat wajah sang suami, yang merah dipenuhi amarah.

"Kau, mau mengatakan apa? Apa kau mau mengakui, kelakuanmu yang sebenarnya di belakangku?"

Reina menggeleng, "Kan tadi, sudah aku jelaskan, berulang kali, semalam aku kerja Mas," jawab Reina dengan suara gemetar.

"Aku tetap, tak percaya!" ucap Roy lugas.

"Mas, apa kamu mendengar berita buruk tentang aku? tolong … Mas, jangan kamu dengarkan, aku tak mungkin mengkhianatimu! Kamu jangan berasumsi bahwa aku akan menduakanmu," ujar Reina takut, tanpa menatap wajah Roy.

"Kau jangan berbohong terus, Reina! Temanmu, yang mengatakan kamu tidak masuk kerja. Tadi pagi, aku telepon dia, katanya tak ada karyawan yang lembur hari ini, termasuk kamu, kamu juga semalam gak ada di pabrik," tekan Roy membuat jantung Reina berdegup dengan kencang, takut kebohongannya terbongkar.

"Gak Mas, aku beneran kerja, kumohon kamu percaya sama aku! Jangan dengar perkataan orang lain, percayalah sama istrimu sendiri!" Reina menangkupkan kedua telapak tangannya memohon ampun pada sang suami.

Terpaksa ia terus mengatakan kebohongan, semata untuk membela diri dan menyelamatkan hidupnya. Reina sangat takut kalau sampai Roy tahu, ia semalam pergi dengan Andrew dan tidur di hotel menghabiskan malam berdua.

Bukan ingin Reina untuk menghianati suaminya. Namun, ia tak bisa menolak keinginan Andrew, dialah yang telah membantu Reina dalam masalah ekonomi dan kesulitan, dia juga sering mengirimi uang pada ibu Reina di kampung membantu kehidupannya, yang tak memiliki pekerjaan, ibunya juga seorang janda miskin.

 Mau tak mau, Reina harus melakukan itu, dan melayani Andrew. Kini ia terjerat di antara dua pria dalam hidupnya, suami dan selingkuhannya, merasa punya hutang Budi pada Andrew, hingga ia tak bisa membayarnya dengan apapun, hanya itu yang bisa Reina lakukan. Menuruti apa yang diminta Andrew, termasuk memberikan tubuh dan melayani pria itu layaknya seorang istri terhadap suaminya.

Reina bertindak bodoh! Mengapa dulu menyetujui kesepakatan dengan pria itu yang kini malah menambah masalah dalam hidupnya.

Dan ia harus selalu siap melayani kekasihnya. Tak ia pungkiri kini di hati Reina telah tumbuh benih-benih cinta untuk Andrew. Namun, yang ia tak suka dari sikap lelaki dua puluh tujuh tahun itu. Ia terlalu posesif dan memaksa, jika sedang ingin sesuatu dari Reina.

"Percaya, hm." Roy tersenyum miring, sembari melepaskan tangannya dari dagu Reina dengan kasar, "Aku ingin percaya, sama kamu, tapi, bukti mengarah kalau kau menghianatiku." Roy berdiri membelakangi Reina, mengayunkan kakinya maju satu langkah.

"Aku tak segan, untuk mengakhiri hidupmu! Meskipun nanti aku harus membusuk di penjara, karena pengkhianatan tak bisa dibayar dengan apapun, termasuk kata maaf." Roy mengangkat tangannya yang terkepal, "Tangan ini, yang akan mengantarmu ke neraka!"

"Mas Roy, jangan berkata seperti itu! Ucapan adalah doa, ingat kita punya anak yang masih kecil, jika suatu saat kau khilaf dan apa yang kamu ucapkan terjadi, bagaimana dengan Michelle?"

"Tak usah bawa-bawa anak! Michelle urusan gampang," ucap Roy berlalu dari kamar, sementara Reina bangkit dan duduk di tepi ranjang.

"Tuhan, bagaimana jika perbuatanku terbongkar, jika Mas Roy tahu, bahwa aku sudah mengkhianati dia, dan menjual tubuh ini pada lelaki lain. Aku tak punya pilihan, hanya waktu yang bisa menjawabnya," ungkap Reina menelungkupkan wajahnya di atas bantal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status