Share

Menemui Andrew bagian 2

"Michelle, sayang, kita sudah sampai. Ayo turun, Nak!" pinta Reina. 

"Iya, mah," sahut gadis itu dibarengi anggukan, kemudian keduanya turun dari taksi. 

Ibu dan anak itu berjalan memasuki gedung apartemen. Reina menggenggam tangan Michelle, menaiki lift menuju tempat tinggal Andrew yang berada di lantai 15.

"Mah, kita mau ngapain kesini? Ini rumah atau tempat apa?" tanya Michelle polos. 

Reina tersenyum seraya menatap putrinya, "Ini, rumah Om baik. Mama, ada urusan pekerjaan dengannya. Nanti, kamu jangan ganggu mama ya, sayang!" ucap Reina sebelum menekan bell yang berada di sampingku pintu.

"Baik, Mah," angguk Michelle lagi. 

Reina menekan tombol bell yang ada di sisi pintu atas, tak lama kemudian seorang wanita berbaju dress putih kombinasi warna hitam, membukakan pintu dan menyambut ramah kedatangan Reina.

"Selamat siang, Bi," sapa Reina dengan senyuman. "Pak Andrew, ada?"

"Siang, Bu. Silahkan masuk! Ibu sudah ditunggu sama bapak di dalam kamarnya!" ucapnya seraya mempersilahkan Reina dan Michelle masuk, keduanya mengikuti langkah perempuan yang usianya sekitar tiga puluh lima.

Sampai di ruang tamu, Reina berlutut mensejajarkan diri dengan putri kecilnya, kedua tangannya memegang bahu Michelle. Hatinya dipenuhi rasa gundah, khawatir putrinya akan bertanya lebih jauh lagi pada dia, pekerjaan apa yang dimaksud? Ia takut kalau Michelle akan bicara pada Roy nanti di rumah, bahwa ia dibawa ke tempat yang asing.

"Sayang, nanti di rumah jangan katakan apapun sama papa ya. Kalau kita datang kesini!" pinta Reina dengan sorot mata memohon, "Michelle, mama tinggal ya. Kamu sama bibi dulu disini, kalau mau apa-apa, tinggal ngomong sama bibi, terus kalau mau jajan, minta anter bibi juga, jangan keluar sendiri. Bahaya!" seru Reina dengan menyunggingkan senyuman, meski hati dihantui rasa takut dan bersalah karena telah membohongi putrinya. Bukan untuk bekerja dia datang ke apartemen Andrew, melainkan untuk memuaskan hasrat lelaki itu.

"Ok, mah," jawab Michelle pasti, "Tapi, jangan lama-lama! Katanya kita mau jalan-jalan, sambil belanja," lanjutnya memelas.

"Iya, kita pasti akan jalan-jalan, mama janji. Sekarang main dulu sama Bibi! Nanti kita belanja, setelah pekerjaan mama selesai. Ok!" seru Reina menjentikkan jari kelingkingnya. Gadis itu mengangguk dibarengi senyuman, kemudian menyambut kelingking ibunya saling mengait.

"Baiklah, mama masuk dulu ya!"

Reina bangkit pandangannya beralih pada asisten rumah tangga yang berdiri menunggu perintah dari Reina.

 "Bi, titip Michelle ya. Jaga dia dengan baik! Saya tidak mau pekerjaan saya terganggu, takut Mas Andrew marah, jika ada yang mengganggu kami! Bibi tahu sendiri bukan, gimana sifat mas Andrew?" ucap Reina mengingatkan pada perempuan berambut sepunggung yang di ikat simpul tersebut.

"Saya mengerti, Bu. Akan saya kerjakan perintah ibu dengan baik!" jawab perempuan yang bernama Tuti itu, ia tahu pekerjaan apa yang dimaksud oleh Reina, ia begitu paham dengan kelakuan majikannya, yang sering membawa Reina bermalam menghabiskan waktu berdua di kamar.

Tuti seolah menutup telinga dan matanya meskipun ia sering mendengar desahan dari kamar majikannya. Namun, ia tak mau tahu, karena itu bukan urusannya, meski yang dilakukan oleh Andrew itu adalah perbuatan dosa yang amat besar, bermalam dengan perempuan bersuami. 

Tanpa rasa malu Andrew terkadang memamerkan kemesraannya di depan Bi Tuti, mencumbu Reina tanpa ragu. Saat asisten rumah tangga itu diminta mengantarkan makanan atau minuman ke dalam kamar majikannya.

"Bi, baik-baik ya jaga Michelle! Ini uang jajannya," seru Reina mengulang perkataannya, kemudian ia menyerahkan satu lembar uang berwarna merah pada Bi Tuti. Perempuan itu menerima uangnya sambil mengangguk.

"Michelle, jangan nakal ya, sayang! Mama kerja dulu." Reina mencubit gemas pipi chubby putrinya sebelum masuk ke kamar Andrew.

Sepeninggalnya Reina, Michelle diajak main oleh Bi Tuti ke ruang TV, Michelle begitu anteng bermain game di aplikasi ponsel asisten rumah tangga Andrew. Keseruannya diselingi canda tawa, dan ditemani cemilan membuat ia begitu riang. Michelle yang masih polos tak tahu apa yang sedang dikerjakan ibunya dengan lelaki lain di dalam kamar.

*

"Mas, maaf lama menunggu," ucap Reina seraya berjalan ke arah Andrew yang setia menunggu kedatangannya.

"Tak apa, sini duduk!" pinta Andrew menepuk permukaan kasur di sampingnya.

Reina duduk di samping Andrew, tatapannya tertuju kearah televisi layar datar berukuran besar. Di sana masih memutar video panas, dari DVD yang sedari Andrew tonton.

"Hah, pantas saja," ucap Reina tanpa menatap Andrew.

"Kenapa sayang?" tanya Andrew merangkul pundak Reina.

"Jadi, gara-gara video itu, kamu memintaku untuk datang kesini?"

"Hm … bisa jadi sayang. Entahlah, aku tidak bisa jauh darimu, apalagi kalau aku melihat video seperti itu, aku semakin merindukanmu,"

"Mas, kamu tuh ada-ada aja. Tahu gak sih Mas, aku tuh lelah, pengen istirahat," sergah Reina dengan suara manja. Andrew memutar tubuh Reina hingga keduanya duduk berhadapan.

"Istirahat disini saja!" Andrew mengecup pipi Reina dengan lembut, "Sayang, aku begitu mencintaimu. Andai aku bisa memilikimu, apa kamu bersedia meninggalkan Roy?!" tanya Andrew langsung pada intinya, kemudian menyelipkan rambut Reina di balik telinganya.

Reina menunduk kemudian menggeleng pelan, "Aku ingin Mas, tapi, aku tak punya keberanian untuk meminta pisah dari dia,"

"Aku akan menunggumu, sampai kau mau meninggalkan Roy!"

"Apa kau sungguh-sungguh? Jika aku meninggalkan Roy kamu mau menikahimu?" 

Baru kali ini Andrew berkata seperti itu, biasanya lelaki itu selalu mengatakan hal yang tidak enak di hati Reina, jika perempuan itu meminta kesungguhan.

"Tentu, sayang."

Andrew membawa Reina kedalam pelukannya, menghabiskan waktu berdua di kamar, entah berapa lama Reina menemani lelaki berstatus duda tersebut.

*

"Bibi, mama kok lama, aku ingin pulang" protes Michelle yang mulai jenuh menunggu mamanya.

"Sayang, kita main game lagi yuk!" ajak Bi Tuti. 

Gadis itu menggeleng, seraya mengerucutkan bibirnya, "Gak … aku bosan, Bi. Aku pengen ke wahana bermain," rengeknya.

"Sabar ya, non! Kita jajan, keluar yuk! Kita ke minimarket!" ajak Bi Tuti lagi memegang bahu gadis kecil itu untuk merayu.

"Ya, udah, terserah Bibi," angguk Michelle terpaksa.

Gadis kecil itu keluar dari gedung apartemen ditemani perempuan berbaju seragam pelayanan tersebut, menuju minimarket yang ada lantai dasar. Setelah puas membeli makanan dan es krim, Michelle kembali ke apartemen dengan satu plastik penuh dengan jajanan.

"Mama …." Michelle berseru melihat mamanya yang baru keluar dari kamar Andrew dengan wajah kelelahan.

"Hai sayang," ucap Reina merentangkan kedua tangannya kemudian memeluk sang putri, ada rasa perih menggelenyar di  dalam hatinya. 

'Maafkan mama, Nak. Maafkan mamamu ini, sudah menjadi perempuan hina,' batin Reina.

'Tuhan, jangan biarkan putriku seperti aku, menjadi wanita kotor,' lanjutnya menitikan air mata. Reina tahu yang sudah dilakukannya memang sangat salah, meskipun butuh uang tak seharusnya ia menjajakan diri pada lelaki lain. Namun, ia tak bisa keluar dari lingkaran hitam tersebut, tak mudah baginya untuk meninggalkan Andrew, bukan hanya takut pada Andrew dengan konsekuensinya jika Reina meninggalkan lelaki itu, maka Lelaki itu tak segan membuat hidup Reina hancur.

"Bi, makasih ya. Sudah jagain Michelle," ucap Reina, berdiri berhadapan dengan Bi Tuti, perempuan itu mengangguk.

"Tak apa Bu, saya juga senang main sama Michelle, anaknya baik, dan tidak rewel," ujarnya.

"Ini, buat Bibi." Reina menyelipkan dua lembar uang berwarna merah ke tangan Bi Tuti, pelayan itu ingin menolak, tapi, ia merasa tak enak hati.

"Untuk apa ini, Bu?" tanyanya ragu.

"Ucapan terima kasih, karena sudah menjaga putri saya."

Bu Tuti mengulum senyum meski di hatinya berat untuk menerima uang dari Reina.

"Terima kasih, Bu." Perempuan itu memasukkan uang ke dalam saku bajunya.

Sosok lelaki tampan dan gagah keluar dari kamar menghampiri Reina, ia mendekat lalu menggenggam tangannya.

"Hai, sayang," sapa Andrew, "Kau bersiap untuk pulang?" lanjutnya mengerling nakal pada Reina. Michelle si gadis polos itu hanya menatap bingung melihat tangan ibunya di dalam genggaman dan di cium oleh Andrew.

"Iya, Mas. Ini hampir petang, aku belum belanja, nanti suamiku tanya kalau aku gak bawa apapun, seperti yang aku katakan padanya,"

"Ya sudah, kalau begitu. Tapi, jika kamu butuh sesuatu, jangan sungkan!" pungkas Andrew.

Setelah berpamitan Reina dan putrinya berlalu dari rumah Andrew, ia mampir dulu ke mall belanja kebutuhan sehari-hari yang memang sudah habis tak ada lagi stok di rumah. Reina menggunakan uang pemberian Andrew untuk kebutuhannya, bukanlah pemberian dari sang suami yang memang sangat pelit dan perhitungan.

Baru saja Reina melangkah masuk kedalam rumah ia dikejutkan dengan suara Roy.

"Reina, kamu habis dari mana? Menjelang malam baru pulang,"

"Mas, aku." Reina menggenggam tangan Michelle dengan erat mengumpulkan keberanian untuk bicara, sedangkan Michelle bersembunyi di balik tubuh ibunya, gadis kecil itu memang sangat takut pada sang ayah.

"Kan aku sudah katakan, aku belanja mas. Ini buktinya," sanggah Reina seraya menunjukan dua kantong plastik belanjaan yang ia tenteng.

Roy mengerutkan keningnya, menatap tajam pada istrinya, "Kamu, punya uang dari mana, hah?"

"Ya, sisa dari gajiku mas,"

"Awas, kalau bohong!"

"Nggak Mas, aku bersumpah ini uangku sendiri."

Roy mendengus, lalu masuk ke dalam rumah, tanpa bicara panjang lebar. Reina menghela napas panjang karena Roy tak banyak bertanya kali ini, seperti sebelum-sebelumnya jika Reina pulang dari mana pun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status