Share

Ingin Kasih Sayang.

Reina membawa belanjaannya ke dapur dan meletakkan plastik berisi kebutuhan pokok di atas meja makan. Ia membuka lemari pendingin dan menata semua sayuran ke vegetable room dan menyimpan; ayam juga ikan serta daging di chiller room, untuk persediaan satu Minggu ke depan.

Ponsel yang berada dalam saku celana Reyna bergetar tanda panggilan masuk dari seseorang.

Gegas Reina mengusap layar pada benda pipih tersebut dan menjauh, ia masuk ke dalam kamar mandi, takut sewaktu-waktu Roy masuk dan mendengar percakapannya dengan seseorang di seberang sana.

"Halo, Mas. Ada apa?" tanya Reina dengan suara tertahan. Ada rasa kekhawatiran dalam hatinya ketika berbicara dengan Andrew, karena lelaki itu tak bisa ditebak, terkadang ia meminta bertemu di waktu yang tidak tepat dan terkadang memaksa.

"Hai, sayang. Kamu lagi apa?" tanya Andrew basa-basi. "Apa kamu sudah pulang ke rumah?"

"Baru, aja sampe." Reina menjawab. "Mas, badanku capek banget, sakit semua, sehabis dari apartemen mu tadi. Dan aku langsung berbelanja sesuai janjiku pada Mas Roy, agar dia tak banyak bertanya,"

"Kamu, lagi sibuk gak, sayang?"

"Ya, sedikit sibuk. Aku lagi beresin belanjaan, sayang. Em, sepertinya aku butuh istirahat yang cukup," kata Reina mengeluh, ia sengaja agar Andrew merasa iba dan tak mengajak bertemu lagi untuk malam ini dan besok. Ya, malam ini Reina masih kerja masuk jam 11 shift tiga dan pulang jam 7 pagi.

"Istirahat lah! Maaf ya, Mas udah bikin kamu letih," kata Andrew lagi.

"Iya Mas, tak apa, lagipula aku senang melakukannya. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, aku mau istirahat." Reina memutar kepalanya seraya memijat leher yang terasa kaku. "Oh, iya. Ada apa, Mas telepon, kan tadi baru saja ketemu. Apa, ada yang perlu aku bantu?" tanya Reina penuh kehati-hatian.

"Gak ada, Mas cuma mau ucapkan kata. Terima kasih, atas cintamu dan atas apa yang sudah kamu berikan pada Mas. Atas semua kebahagiaan yang Mas rasakan saat ini, itu karenamu, sayang." Andrew menjeda ucapannya. "Aku ingin memilikimu!"

"Aku juga berterima kasih padamu, karena kamu sudah membahagiakan aku, Mas. Sikapmu yang selalu lembut membuat aku nyaman berada disampingmu, dan kamu selalu bisa memahami perasaanku," balas Reina. "Tapi, maaf. Yang kau ucapkan barusan aku belum bisa memenuhinya, butuh waktu lama, dan butuh proses,"

"Ya, Mas mengerti. Rey, Mas akan selalu membuatmu bahagia. Mas sangat bersyukur karena bisa mengenalmu, dan memilikimu. Meski hanya tubuh dan hatimu yang bisa Mas miliki. Namun, diri ini merasa beruntung dan sangat bangga karena mendapatkan cintamu. Kita sering melewati waktu bersama, walaupun aku tak bisa memiliki dirimu seutuhnya, aku tetap bahagia," kata Andrew dari seberang telepon. "Tak ada kata-kata yang bisa aku ungkapkan selain kata cinta dan terima kasih."

Senyum Reina mengembang sempurna, ada rasa hangat menjalar ke dalam hatinya mendengar kata cinta dari lelaki yang selama ini memenuhi kebutuhan hidupnya. Dugaan Reina ternyata salah awalnya ia sangat takut jika Andrew akan memintanya lagi untuk datang dan menemaninya malam ini. Namun, lelaki itu malah berucap begitu manis.

"Sama-sama, Mas. Justru aku yang berterima kasih padamu, kamu sudah membantuku dari kesulitan, dan kamu juga begitu baik pada ibu juga anakku," kata Reina.

"Tak apa, itu tak sebanding dengan apay telah kau berikan padaku." Andrew menjeda ucapannya. "Rey, besok malam Minggu aku ada acara jamuan dengan relasi bisnis, apa kamu mau ikut sekedar menemaniku?" tanya Andrew. Reina menyugar rambutnya yang panjang.

"Em …." Reina diam sembari menimbang-nimbang. "Lihat situasi, ya Mas. Kalau situasinya memungkinkan, sebisa mungkin aku akan datang untuk menemanimu,"

"Iya, tapi Mas ingin sekali jika kamu bisa, untuk menemani dan menjadi pendamping di acara itu."

Andrew benar-benar berbeda dari Roy. Meskipun terkadang sikapnya terlalu posesif, tapi dia begitu mencintai Reina. Wanita 24 tahun itu menarik napas panjang. Besok malam Minggu. Ia berpikir sejenak. Oh, iya. Aku masih kerja setengah hari, masuk jam lima sore. Gumam Reina. Bagaimana ini?

Tak mungkin dia meminta izin atau cuti pada mandornya karena bulan ini saja dia sudah dua hari absen dan mangkir dari pekerjaannya.

Kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan rumah yang sempat tertunda. 

"Mama, aku laper," tiba-tiba Michelle menubruk dan memeluk sang ibunda dari belakang. Reina yang sedang menyimpan telur pun dibuat kaget dan hampir menjatuhkan benda bulat tersebut.

"Michi … jangan bikin Mama kaget, dong!" kata Reina, sedikit meninggikan suaranya.

"Maafkan Michi, Mama." Gadis itu menunduk menyesali. Reina berjongkok mensejajarkan diri dengan sang putri mengangsurkan kedua tangannya ke pundak gadis kecil itu.

"Maafin Mama, sayang. Mama tak sengaja, membentak kamu,"

"Iya, Michi yang salah, kok." Michelle menunduk dalam, Reina menarik dan memeluk erat tubuh mungil putrinya penuh kasih.

"Ya, sayang Mama udah maafin." Reina menyesal telah membentak Michelle, ia belai rambut panjang sang putri penuh cinta. Sadar telah membuat Michelle sedih, tak tega rasanya dan begitu menyesal karena tak ada yang menyayangi gadis itu selain dirinya yang menyayangi putrinya. Michelle bahkan tak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah, apalagi Nenek dan kakeknya.

"Ma, papa kok marah-marah terus?" tanya Michelle. Karena tadi ia sempat dibentak oleh Roy sebelum ia menghampiri ibunya, gadis mungil itu tak sengaja menyenggol ponsel sang ayah yang sedang asik dengan dunianya sendiri.

"Mungkin, papa capek, Nak. Makanya jangan ganggu papa!"

"Michi, gak pernah gangguin papa. Tadi Michi gak sengaja senggol HP papa," bela Michi dengan raut sedih.

"Ya udah, sayang. Tak usah dipikirkan! kita makan dulu ya! kamu mau makan apa? mau pesan makanan, apa mau mama masakin, aja?"

"Pesan aja. Mama pasti capek, Mama kan tadi abis kerja cari uang," kata Michelle polos. Ia tak tahu pekerjaan apa yang dimaksud, yang jelas ibunya bekerja dengan Andrew dan mendapat bayaran. Hanya itu saja yang Michelle tahu.

"Jangan bicarakan soal ini, nanti papa tanya, dan papa bisa marahin, Mama!" Reina memperingati agar putrinya tidak membahas yang terjadi tadi siang hingga sore di rumah Andrew. Michelle mengangguk mengerti.

"Sebentar ya, sayang. Mama pesan dulu. Kamu mau makan apa?" Reina duduk di kursi berdampingan dengan putrinya.

"Sate," 

"Baiklah ... sekarang kamu duduk. Sambil menunggu pesanan, kita makan yoghurt dulu!"

Gadis berusia lima tahun itu tersenyum, kemudian ia tampak sedih kembali. Reina merasa penasaran dengan perubahan sikap gadis mungilnya.

"Kamu kenapa, Nak?"

"Ma, kenapa papa gak pernah sayang sama aku!" Michelle menundukkan wajahnya. Reina tersenyum untuk menghibur putrinya sambil mengusap bahu sang putri.

 Gadis mungil itu merasa iri melihat anak lain yang seumuran dengannya, mereka sering menghabiskan waktu bersama dengan kedua orang tuanya, dan tadi di sekolahnya teman satu kelas dia mengadakan acara ulang tahun bersama di sana. Nampak binar kebahagiaan dari teman Michelle, yang keadaannya begitu terbalik dengannya.  

"Papa, sangat sayang sama kamu, Michi," hibur Reina, tak tega melihat anaknya lebih bersedih.

"Kalau papa, sayang sama aku. Kok papa gak pernah antar aku sekolah seperti teman-temanku, papa juga gak pernah peluk aku, mah?" Michelle merajuk, seolah ingin mendapat kasih sayang sang ayah yang belum pernah ia rasakan sejak kecil. Roy begitu cuek pada Michelle.

"Em, papamu sibuk, Nak." Reina mengusap rambut putrinya untuk menenangkan.

Wajah Michelle semakin merengut, yang dikatakan ibunya tidaklah sama dengan yang ia lihat, bahkan ayahnya jika hari libur tak pernah sedikitpun memberikan perhatian padanya.

Terlintas di benak Reina untuk menghibur sang putri kesayangannya. 

"Michi ... buka mulutmu, sayang! ada pesawat mau masuk terowongan." Reina mencoba mencairkan suasana hati Michelle yang dilanda kesedihan. Ia mengangkat sendok tinggi-tinggi yang berisi yogurt mengarahkan ke mulut kecil sang putri. 

Senyum tampak kembali terbit dari bibir Michelle.

"Ma, Om baik gak kayak papa," kata Michelle. "Kapan kita main ke rumah, Om baik lagi?" ucapan Michelle membuat Reina menggigit bibir. Melihat Roy yang sudah berdiri tak jauh dari mereka. Entah sejak kapan pria itu berada di situ.

Ya Tuhan, apa Mas Roy mendengar ucapan Michelle barusan? Reina bermonolog, hatinya cemas, takut Roy mendengar dan mempertanyakan apa yang sudah diucapkan putrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status