Share

Bab 0004

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Nadia diperbolehkan untuk pulang meskipun kakinya belum sembuh sepenuhnya, bahkan untuk berjalan pun dia masih membutuhkan alat bantu jalan. Nadia duduk di tepi brankar, pandangannya kosong menerawang jauh. Nadia bingung akan pulang kemana, jika pulang ke kontrakan kenangan bersama Rama terus menghantui, tapi jika pulang ke rumah orang tuanya ada Nabila kakaknya yang tak lain adalah istri Rama. Nadia menarik nafas dalam-dalam, lalu dia mengetik sebuah pesan dengan ponselnya.

Pintu ruangan terbuka, Permadi muncul dari balik pintu memasuki ruang rawat Nadia. Ayah dan anak tersebut saling berpandangan, tampak ada rasa canggung yang membuat suasana menjadi kaku.

"Kau sudah siap?" tanya Permadi sambil mendekati putrinya.

"Untuk?" Nadia yang justru balik bertanya membuat Permadi merasa ada tembok penghalang di antara mereka berdua.

"Mari pulang!" Permadi segera membereskan barang-barang Nadia, sedangkan sang anak hanya menyaksikan apa yang dilakukan oleh sang ayah.

"Habis berapa? Kalau sudah sehat akan kuganti."

Permadi menghentikan kegiatannya, ditatapnya sang anak yang seakan tidak mempedulikan keberadaannya. Ucapan yang baru saja anaknya ucapkan membuatnya merasa menjadi ayah yang tidak berguna.

"Semua sudah diurus oleh orang yang menabrakmu." Permadi melanjutkan kegiatannya.

Nadia mengangguk-anggukan kepalanya, baru dia sadari kalau dia berada di ruang VIP. Nadia kira keluarganya akan rela mengeluarkan uang lebih karena merasa bersalah padanya, tapi ternyata dugaannya salah. Pelayanan dan perawatan terbaik yang ia terima merupakan bentuk pertanggungjawaban dari orang yang telah terlibat kecelakaan dengannya.

"Ayo kita pulang!"

"Aku sedang menunggu Hanna, dia sudah mencarikan kontrakan untukku."

"Pulang bersama bapak, kita pulang ke rumah, Nak." Permadi segera menyentuh ponsel Nadia, dipandanginya wajah anaknya.

"Aku ke kontrakan saja."

"Anakku Dia ..." Permadi mencoba meraih tangan Nadia.

"Sebentar lagi Hanna datang."

"Dia, kita pulang ke rumah Nak, kau belum sehat benar. Lihat keadaanmu! Siapa yang akan membantumu jika kau membutuhkan sesuatu."

"Nanti akan terbiasa pak."

"Pulang sama bapak ya?" Permadi merayu Nadia sampai air matanya menetes.

"Aku ingin belajar mandiri, Pak." Jawaban yang menusuk bagi Permadi, karena alasan agar mandiri, Nadia mengikuti Rama kontrak di rumah petak, sedangkan Rama justru lebih sering menghabiskan waktu di rumahnya bersama Nabila.

"Kamu masih sakit, pulang sama Bapak, ya? Biar Bapak bisa merawatmu, nanti kalau kau sudah sehat, bapak tidak akan menghalangimu lagi."

Pintu ruang rawat Nadia terbuka, seorang gadis berlari menghampiri Nadia dan memeluknya erat. Gadis itu adalah Hanna sahabat Nadia, yang menjadi teman berkeluh kesah selama ini.

"Maaf, aku belum dapat kontrakan buat Kamu, tapi kita bisa tinggal bersama dikontrakanku."

"Kau dengar sendiri Dia, Hanna belum dapat kontrakan buat Kamu. Pulang sama Bapak, ya?"

Hanna menoleh ke sumber suara, dia baru menyadari keberadaan Permadi. Tampak penyesalan pada sorot mata Hanna saat menatap Nadia.

***

Mobil Permadi memasuki pekarangan rumah, Yunita dan Nabila keluar untuk menyambut kedatangannya. Yunita tampak tidak senang saat melihat Nadia di dalam mobil, bahkan saat Permadi terlihat sangat kerepotan membantu Nadia turun. Berbeda dengan Nabila yang segera menghampiri Nadia untuk membantunya. Dengan senyum manisnya Nabila meraih tangan Nadia untuk membantunya berjalan.

"Terima kasih, aku bisa sendiri." Nadia menolak bantuan dari Nabila kakaknya.

Nabila tampak kecewa karena Nadia menolak bantuan yang ia berikan, bahkan sikap Nadia terkesan tidak mempedulikannya. Permadi mengusap pelan punggung Nabila, berusaha menenangkan Nabila yang terlihat bersedih.

"Sabar ya!" ucap Permadi menenangkan Nabila.

Nadia yang mendengarnya menjadi heran, mengapa seakan-akan dia yang jahat di sini. Nadia hanya mengelengkan kepalanya pelan seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Permadi ayahnya. Tentu saja Permadi lebih membela Nabila, karena dia merestui pernikahan Nabila dengan Rama bahkan dia juga wali nikah Nabila. Jika Nabila dikatakan bersalah maka Permadi pun juga pasti bersalah.

Langkah Nadia terhenti di depan tangga, dia menatap ke atas letak kamarnya saat masih gadis. Bagaimana dia bisa naik dengan keadaan kakinya yang masih sakit.

"Kami sudah menyiapkan kamar tamu untuk Kamu sebelum kakimu pulih." Nabila sudah menyusul di belakang Nadia.

"Terima kasih," jawab Nadia singkat lalu bergegas menuju kamar tamu.

Saat melewati ruang keluarga, Nadia melihat beberapa contoh undangan dan brosur paket pernikahan berserakan di atas meja. Nadia berhenti sebentar menatap meja yang terlihat berantakan.

"Maaf, berantakan." Nabila segera merapikan contoh undangan dan brosur-brosur tersebut.

Nadia seolah tak peduli dengan apa yang baru saja dilihatnya, dengan susah payah Nadia menuju ke kamar tamu.

***

Hidup berada di tengah keluarga ternyata tak membuat Nadia bahagia. Bagaimana tidak, dia harus menyaksikan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang terasa timpang untuk dirinya dan untuk Nabila. Belum lagi Nadia juga harus menyaksikan kemesraan Rama dan Nabila. Nadia menekan semua rasa cemburu yang membuncah, cemburu sebagai anak yang merasa diperlakukan pilih kasih, dan cemburu sebagai wanita yang pernah dinikahi oleh Rama.

Nadia bertanya-tanya alasan Permadi memaksanya pulang ke rumah. Jika hanya untuk menyakitinya dengan mempertontonkan kebahagiaan Nabila, tetapi bukankah Nadia juga anak Permadi? Sedangkan Rama, apa alasan dia mengkhianatinya, mengapa harus dengan Nabila kakaknya? Pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab tersebut hanya membuat Nadia semakin terluka.

Nadia harus bangkit untuk menjalani hidupnya. Meskipun sakit hatinya sudah terlalu dalam, luka di raganya harus segera disembuhkan agar dia bisa segera meninggalkan rumah orang tuanya tersebut. Hanya dengan meninggalkan rumah orang tuanya, satu-satunya harapan untuk bisa menata hidupnya kembali.

***

Dipandanginya luka di kaki yang sudah mulai mengering meskipun masih terasa nyeri jika digerakkan. Nadia anggap sudah sembuh, dan dia harus mulai hidup barunya. Di rumah ini dia merasa sendiri, tetapi Nadia masih merasa beruntung karena memiliki Hanna sebagai sahabatnya.

Nadia dan Hanna bersahabat sejak awal kuliah, Hanna yang berasal dari luar kota tinggal bersama Nadia saat masa pengenalan kampus dan belum mendapatkan tempat kost. Nadia sering membantu Hanna saat orang tua Hanna belum mentransfer uang. Karena tak ingin terus merepotkan Nadia, akhirnya Nadia dan Hanna mulai berjualan online bersama untuk menambah uang jajan mereka, dan usaha ini berlanjut hingga sekarang.

Hari ini Nadia akan mengambil beberapa barangnya yang masih ada di kontrakannya waktu masih menjadi istri Rama. Nadia yang sudah rapi duduk di teras rumah menunggu kedatangan Hanna. Tak harus menunggu lama Hanna datang memasuki pekarangan rumah dengan sepeda motornya.

Setelah saling melempar senyuman, dua sahabat itu saling berbalas salam. Mendengar ada orang yang datang Permadi keluar, dilihatnya Nadia dan Hanna sudah siap akan pergi.

"Mau kemana Dia?" tanya Permadi pada putrinya. "Nak Hanna tidak diajak sarapan dulu?"

"Terima kasih Om, tadi sudah sarapan." Hanna menjawab dengan sopan.

"Nak Hanna, kaki Dia masih sakit, masih harus banyak istirahat."

"Cuma mau ambil laptop di kontrakan, sama ambil dagangan yang masih tersimpan disana," jawab Nadia memberi penjelasan pada Permadi.

"Biar bapak ambilkan, kamu di rumah saja." Tampak kecemasan di wajah Permadi.

Nadia dan Hanna saling berpandangan, saat seorang ayah menunjukan rasa khawatir pada anaknya adalah hal yang wajar. Apalagi Nadia baru saja mengalami kecelakaan, untuk berjalan pun masih terpincang-pincang. Tetapi bagi Nadia dan Hanna luka di raga ini bisa diabaikan agar jiwa Nadia tidak semakin merana.

"Saya akan berhati-hati Om, doakan saja tidak ada halangan apapun! Dan nanti saya bisa mengantar Dia pulang dengan selamat." Hanna mencoba menyakinkan Permadi. "Lagi pula kasihan Dia di rumah terus, Dia juga butuh udara segar, refreshing Om."

"Kami berangkat dulu Pak." Nadia meraih tangan Permadi dan mencium punggung tangan sang ayah. Meskipun terpincang-pincang Nadia segera meninggalkan Permadi seakan tak memberi kesempatan pada Permadi untuk berpikir yang bisa membuat obrolan semakin lama dan ujungnya melarang dia pergi.

***

Knop pintu sebuah rumah petak sederhana berputar lalu pintu pun terbuka, Nadia dan Hanna yang berdiri di balik pintu bergegas masuk. Sehabis mengalami kecelakaan Nadia baru kali ini datang ke kontrakannya. Dilihatnya keadaan rumah tampak bersih dan rapi, bahkan saat Nadia memasuki ruang tidur, sprei dan bantal pun masih tertata rapi.

Nadia melangkah perlahan memasuki ruang yang penuh kenangan, masa-masa dirinya masih bersama dengan Rama. Tak ingin larut dalam kenangan yang akan membuatnya bersedih lagi, Nadia segera mengambil laptopnya dan satu map yang berisi ijasahnya, lalu segera meninggalkan kamar tersebut.

"Hanya laptop dan ijasah barang berhargaku, besok mulai cari lowongan dan buat lamaran kerja." Nadia menunjukan barang yang baru saja dia ambil dari dalam kamar.

"Tapi kita tetap dagang kan?"

"Pasti, bahkan kalau sudah kerja pun kita harus tetap dagang, buat penghasilan tambahan."

Hanna tersenyum sambil mengangkat dua jempol ke arah Nadia, dia bahagia sahabatnya telah bersemangat kembali.

Ponsel Hanna yang berada di dalam tas berdering, saat ia mengambil tas tanpa sengaja menjatuhkan remote TV yang berada di nakas. Hanna mengambil remote tersebut dan bermaksut mengembalikan ke tempat semula. Tanpa sengaja Hanna melihat tiga surat dari pengadilan agama. Rasa penasaran Hanna membuatnya mengambil surat tersebut.

"Dia," lirih Hanna memanggil temannya, tampak dia mengambil nafas dalam-dalam sambil menyerahkan surat tersebut pada Nadia. "Untukmu."

Nadia menerima surat tersebut lalu membukanya, tiga buah surat panggilan sidang perceraian untuk Nadia, dan surat terakhir menyatakan panggilan sidang ke tiga hari ini.

"Aku antar, sedikit ngebut nggak akan telat." Ajakan Hanna hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Nadia. "Kau tahu jika kau tidak datang hari ini?"

"Ya, aku tahu sekarang, ternyata ini alasan bapak melarang kita datang kemari, bapak tidak cemas pada keselamatanku, bapak lebih mencemaskan jika aku mendatangi sidang hari ini." Nadia merapikan surat-surat dari pengadilan agama tersebut. "Mereka menginginkan sidang perceraian ini segera diputuskan, dengan aku nggak datang hakim akan memutuskan verstek." Air mata Nadia menetes membasahi surat-surat yang ada di tangannya. "Aku tidak menyesali hasil putusan sidang yang akan kuterima, tapi muslihat mereka yang lebih menyakitkan."

Hanna menghampiri Nadia dan memeluk sahabatnya itu. "Menangislah jika membuatmu lega!" Hanna menepuk-nepuk punggung Nadia, berharap Nadia bisa lebih tenang. "Nggak usah sedih, aku traktir bakso dan Kamu boleh ambil sambel sebanyak yang Kamu mau."

Nadia melepas pelukan Hanna, lalu ia menyeka air mata. Nadia mengangguk pelan dan mereka tersenyum bersama. Hanna membantu Nadia berdiri untuk meninggalkan rumah kontrakan itu.

Comments (11)
goodnovel comment avatar
Henny Djayadi
terima kasih atas kritik dan sarannya, semoga bisa jadi bekal untuk memperbaiki karya berikutnya
goodnovel comment avatar
Gondronk Muhtadin
bebas lepas
goodnovel comment avatar
Achmad Arif
lumayan buat isi waktu senggang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status