Share

AKU AKAN IKUTI KAMU, DINDA

Gito segera beranjak mengunci pintu. Mereka pun berangkat ke dokter dengan berboncengan. Sementara itu dari celah pintu rumah kosong yang keropos tampak bola mata besar mengintai pasangan barusan.

“Aaahhh!” Geraman penuh amarah terdengar dari dalam.

‘Praakk!’

‘Pyaaaarrr!’

Tiba-tiba kaca jendela depan rumah kosong itu pecah berkeping-keping. Puing-puing kaca berserakan di lantai teras.

Dua anak sekolah yang melintas di depan rumah itu seketika menoleh ke arah suara. Mereka melihat sosok tinggi besar di balik jendela yang pecah.

“Ha-hantuuu!”

Mereka segera lari terbirit-birit hingga menarik perhatian beberapa ibu yang sedang berbelanja di warung, tak jauh dari rumah kosong. Hari sudah siang, mana mungkin ada hantu, kata ibu-ibu saling bersahutan. Namun, kedua anak tersebut sudah lari ketakutan tak mendengar lagi ocehan para ibu.

“Mari Bu Am kita liat ke sana,” kata ibu pemilik warung kepada Bu Aminah yang kebetulan rumahnya berada di sebelah rumah kosong.

“Ayo, Bu. Aneh! Mana ada hantu. Matahari aja udah terbit,” balas Bu Aminah kepada Bu Hesti, pemilik warung.

Kemudian kedua ibu itu berjalan gegas menuju rumah kosong. Akhirnya, ibu-ibu yang lain mengikuti mereka. Setelah langkah mereka sampai di depan rumah kosong, tampak jendela depan bolong dengan pecahan kaca berserakan di teras.

“Halah, bisa jadi anak-anak itu yang lempar batu ke kaca jendela. Memang berniat menakut-nakuti kita,” ucap Bu Hesti sembari menyebik.

“Iya, Bu. Dasar anak-anak,” balas Bu Aminah sambil mengamati rumah kosong sesaat. Kedua wanita ini pun berniat kembali ke warung. Mereka berpapasan dengan para ibu lain yang penasaran juga.

“Gak ada hantu. Kelakuan anak-anak, Bu. Mereka yang pecahin kaca, teriak-teriak hantu. Biar kita pada jantungan,” ucap Bu Hesti sambil mengajak para pelanggan warungnya kembali.

▪▪▪¤•°•¤▪▪▪

Dalam perjalanan ke dokter, Dinda beberapa kali merintih. Pangkal pahanya terasa makin panas dan nyeri.

“Sayang, ditahan sakitnya. Kita mampir warung, sarapan dulu,” ucap Gito sambil memperhatikan ekspresi sang istri dari kaca spion.

“Iya, Mas. Aku mau kompres ini dengan es batu.”

Kompres dengan es batu? Ada apa dengan itu? tanya Gito dalam hati. Dalam hatinya, Bisa jadi karena masih dua bulan jadi pengantin. Tubuh istrinya baru beradaptasi. Dinda harus segera sembuh. Kasihan.

“Sabar, ya. Tuh, bentar lagi sampe,” ucap Gito sambil memacu motor agak kencang.

“Auch, sa-kit, Mas,” rintih Dinda sambil menggigit pelan bahu kanan suaminya. Guncangan motor saat melintasi jalan tak rata, membuat area Miss.V makin berdenyut.

Akhirnya, motor sampai juga di depan sebuah warung makan. Gito meluruskan standar lalu turun dan merangkul Dinda.

“Turun pelan-pelan, Sayang.”

“Aku langsung ke toilet. Kamu bawain es batu, ya. Sakit tapi bahagia aku,” ucap Dinda sambil menghadiahi sang suami sebuah kecupan di bibir.

“Tempat umum. Malu, Sayang.”

“Istri sendiri juga,” balas Dinda sambil memeluk pinggang Gito.

Mereka berjalan perlahan memasuki warung. Suasana di dalam warung masih lengang. Hanya ada beberapa pembeli yang duduk di kursi.

“Bu, numpang ke toilet bentar, ya,” ucap Dinda kepada pemilik warung yang sedang melayani pembeli. Wanita ini mengangguk ramah.

Dinda tertatih-tatih menuju toilet, sedangkan Gito segera memesan makanan dan minuman hangat.

“Sama es batu masukin plastik, Bu. Saya minta sekarang, bisa?”

“Biar diambilkan pembantu saya,” jawab pemilik warung lalu memanggil anak buahnya.

Tak lama kemudian, seorang wanita muda membawa seplastik es batu dan diikutkan kepada Gito.

“Terima kasih, Mbak.”

“Iya, Mas.”

“Bu, tolong, pesanan saya ditaruh meja belakang sendiri. Saya antar es ke istri dulu.”

Gito segera melangkah ke arah toilet. Sampai depan toilet, ia pun mengetuk.

“Sayang, ini es batunya.”

Pintu segera terbuka, tangan Dinda meraih plastik yang diulurkan oleh Gito.

“Aku tunggu di depan.”

“Ya, Mas. Makasih.”

Gito melangkah ke arah meja paling belakang. Rupanya, menu yang dipesan telah tersedia di atas meja. Sementara Dinda yang di dalam toilet menggantungkan plastik berisi es di handle pintu. Setelah menaikkan bawahannya ke bahu, kedua tangan Dinda secara hati-hati menurunkan celana dalam.

Kini tampak olehnya, area sensitif yang bengkak kemerahan bagai habis kena panggang. Dinda mengambil plastik berisi es lalu mengompres pelan-pelan. Begitu tertempel dinginnya es, area tersebut terasa nyaman.

“Ah, kamu nakal sih, Mas. Kau buat aku melayang. Sampe bengkak gini, “ ucap Dinda lirih sambil kedua bibirnya tak henti berdecak menikmati sensasi rasa nyaman es batu.

Tanpa disadari olehnya sepasang tangan besar ikut menggerayangi tubuh Dinda. Sebuah tangan mengelus-ngelus bagian bawah Dinda hingga ke tengah. Tangan kekar ini mampu menembus plastik es.

Sementara tangan yang lain meraba bagian dada Dinda bergantian dari kanan ke kiri, menembus baju yang dipakai wanita muda ini.

“Ah, hangatnya masih terasa,” ucap Dinda sambil mendesah.

Wanita ini tak menyadari kehadiran sesosok makhluk yang semalam membuatnya menjerit dan mendesah berkali-kali hingga terisap tenaganya.

Makhluk ini memang lihai membuat Dinda melayang. Beberapa kecupan dan lumatannya mampu membuat Dinda mendesah tertahan dan puas.

“Terima kasih, Sayang. Nanti malam kita lagi.”

Sekilas terdengar suara bagai semilir angin dan Dinda terkejut. Wanita ini baru menyadari bahwa area sensitif telah basah. Ia jadi tersipu malu sendiri. Dengan hati-hati, ia jongkok di kloset untuk membasuh bekas cairan barusan.

“Banyak juga lendirnya. Kok gak terasa sakit lagi, ya? Kok gak bengkak?”

Dinda mengeringkannya dengan tisu lalu memandangi bagian sensitif tersebut. Ia terkagum-kagum lendir yang telah keluar barusan membuatnya sembuh. Suhu badannya pun mulai menurun.

Aku merasa ada seseorang bersamaku. Bau kasturi semalam. Aneh, batinnya.

Kini celana dalam dan bawahan telah dirapikan. Plastik es batu dibuang ke tempat sampah. Kedua tangan Dinda dibersihkan dengan sabun cair yang selalu ia bawa kala bepergian. Kemudian kedua tangan dibilas dengan air. Dinda telah siap keluar dari toilet. Tak kalah terkejut lagi, pangkal pahanya sudah tak terasa nyeri lagi. Ia bisa berjalan seperti biasa. Ajaib!

“Sayang, udah gak sakit lagi?” tanya Gito begitu melihat sang istri menghampiri meja dengan berjalan normal.

“Sudah, Mas. Habis dikompres sembuh.”

Dinda duduk di depan Gito dan indera penciumannya masih menghidu aroma kasturi. Terasa di dekatnya dan hatinya semakin nyaman karenanya. Dinda tersenyum.

“Sayang? Sa-yaaaang ....”

Gito menyentuh jemari Dinda lalu menciumnya pelan.

“E-e ... A-apa Mas?”

“Kok senyum-senyum sendiri? Apa yang lucu?” tanya Gito sambil menggenggam erat jemari istrinya.

“Jangan tinggalin aku kerja lama-lama, Mas.”

“Wei, tumben nih. Ada apa, Sayang?”

“Gak papa, kan. Kalo aku pengen lebih dimanja?”

“Ya deh. Coba Mas ajuin penempatan kerja yang tak ada 3 shif.  Jadi maksimal jam 5 sore udah ada di rumah.”

“Setuju banget, Mas. Ah, bahagia kalo malam ditemani Mas sampe pagi.”

Mereka tak menyadari ada sepasang mata merah tak kasat mata sedang menahan amarah melihat kemesraan barusan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Purwo Agung
hemmmmmmmmmmm hemmmmm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status