“Kurang ajar kamu, Gito! Dinda akan jadi milikku. Dia hanya menyukai permainanku.”
Amarah si tinggi empat meter ini seketika berubah jadi empasan angin kencang menerpa tubuh Gito. Pria ini seketika jatuh terjengkang di lantai.
“Mas, ada apa?”
“Entah, Sayang. Tiba-tiba ada angin kenceng. Kamu terasa?”
Dinda menggeleng sambil mengulurkan tangan membantu suaminya berdiri. Setelah berhasil berdiri, Gito memindai sekeliling dan tak ada apa pun yang berdampak angin barusan selain dirinya. Tampak Dinda berdiri tak tersentuh oleh angin. Dinda merogoh anak kunci dari tas lalu mulai membuka pintu. Saat di dalam, wanita semlohai ini mengunci kembali.
Gito yang sudah tak tahan menahan hasrat seketika membopong tubuh istrinya masuk kamar. Dinda dengan erat memegang tubuh Gito. Sang suami semakin memuncak hasratnya.
Bibir mereka bersentuhan saat wajah mereka merapat. Gito terbawa rasa, mengecup bibir ranum Dinda, sang istri membalasnya mengecap-ngecap bibir Gito. Gairah Gito makin membara, apalagi saat menggeliat baju terusan Dinda bagian dada yang berbelahan rendah, tak sengaja terbuka.
Dada Dinda yang menyembul sebagian bergesekan dengan dada Gito, makin membuat sang suami bernafsu. Tangan Gito meremasnya, Dinda mendesah lirih, makin memberi rangsangan libido sang suami. Tangan Gito mulai mencari-cari bagian sensitif tubuh istrinya.
Gito yang sudah terbawa nafsu, menyingkap gaun bagian bawah Dinda, menarik turun celana dalam, hingga terlihat bagian sensitif sang istri.
Tak sabar Gito membuka semua pakaian dan menelungkup di atas tubuh indah yang terbaring di ranjang. Gito mendekatkan bibirnya dan Dinda membalas melumat.
“Sayang,” suara Gito parau.
“Iya, Mas.” Suara desahan istrinya semakin membuat Gito bergairah. Ia ingin segera menuntaskan segala hasrat.
Napsu mereka naik ke ubun-ubun. Gito pun kembali melumat bibir merah Dinda, perlahan menyusuri leher lalu ke daerah dada yang sedikit terbuka, mengecup, menghisap, meninggalkan jejak merah di sana.
Syahwat sudah tak terkendali, Gito dan Dinda sama-sama bergairah dan siap melakukan petualangan liar.
Dinda menjerit lirih dan ...,”ah, Mas?! Ada apa ini?”
Gito merasa bersalah,” gak tau, Sayang. Ada apa, ya?”
“Hahahaha ... syukuri!” Suara ejekan ini terdengar samar-samar oleh Gito, tapi jelas di telinga Dinda.
Dinda yang kecewa segera mencari daster lalu keluar kamar langsung masuk toilet. Sedangkan Gito segera memakai celananya kembali lalu menyusul sang istri.
“Sayang! Nanti dicoba lagi. Mungkin Mas capek, habis begadang semalam. Maaf, ya.”
‘Tok tok tok!’
Dinda yang sedang berguyur air tak mengindahkan ketukan pintu.
“Bodoooo!”
Hanya terdengar suara guyuran air. Gito segera pergi ke kamar mencari ponsel. Ia menghubungi seseorang. Dari dalam toilet, tiba-tiba ada suara desahan dan jerit tertahan Dinda. Gito tak mendengarnya karena dirinya sedang sibuk menelepon seseorang.
“Ada jamunya sekarang? Saya ambil. Terima kasih.”
Pria ini kemudian mengakhiri pembicaraan telepon. Ia bersiap-siap menghampiri sang istri kembali. Tepat, saat Dinda keluar dari kamar mandi dengan senyum tersungging di bibir.
“Sayang, ikut Mas, yuk. Ambil jamu.”
“Jamu apa, Mas?”
“Entar kamu juga akan tahu. Udah selesai ngambeknya?”
“Ah, Mas. Kesel banget tau’.
Gito pun merangkul sang istri dengan rasa sayang. Dinda adalah cinta pertamanya, begitu pula dengan Dinda. Cinta pertama mereka bawa sampai ke pelaminan.
Sementara di sudut ruangan, ada senyum kemenangan dari sosok berwajah tampan khas Timur Tengah bertinggi empat meter.
“Untuk kesekian kali kamu kalah, Gito.”
Angin dingin beraroma kasturi berembus menerpa wajah Gito lalu lenyap.
“Kamu dengar yang barusan, Sayang? Kayak suara radio. Kok sebut nama Mas? Dan angin barusan, sama kayak kita di warung soto.”
“Aku gak dengar, tuh, Mas.”
“Bisa jadi tetangga menghidupkan tivi terlalu kenceng. Ayo, siap-siap sana!”
Dinda segera melangkah masuk kamar. Gito mengambil duduk di ruang tengah sambil menunggu Dinda berhias. Hati Gito sedang bahagia karena di saat dibutuhkan, ada penjual jamu yang mempunyai stok pasak bumi.
Teman-temannya telah merekomendasikan jamu tersebut dari awal pernikahan. Hanya saat itu, Gito merasa belum memerlukannya karena stamina tubuh masih terjaga. Entah mengapa, kali ini alat tempurnya sudah keok saat bertanding.
Hal yang di luar dugaan, mengingat dirinya dalam keadaan fit dan tak sedang sakit yang bisa mengakibatkan loyo. Kejadian barusan, benar-benar membuat otak Gito berpikir keras. Ia tak mau berpikiran negatif dan masih berusaha mencari jalan keluar dari masalah hari ini.
“Ayo, Mas! Entar sekalian belanja. Aku mau masak pecel lele kesukaan Mas.”
“Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang! Mas tadi khawatir kamu masih marah dengan Mas.”
“Gak papa, Mas. Dinda maklum. Pasti karena kecapekan.”
“Iya, Sayang. Makasih atas pengertiannya.”
Gito mengecup kening istrinya dengan lembut. Mereka berjalan keluar rumah. Dinda lalu mengunci pintu. Wanita ini tampak berseri-seri. Senyum manis tersungging sejak keluar dari toilet. Gito merasa senang, istrinya hanya marah padanya sesaat saja. Tak seperti biasanya, bisa ngambek berhati-hati. Istriku makin pengertian, pikir Gito.
Mereka kini telah berboncengan menuju warung jamu yang berada di pasar. Dinda merasa bersalah telah berkhianat dengan suaminya. Dalam toilet barusan sosok misterius tersebut telah berani menampakkan diri. Seorang pria berparas tampan khas Timur Tengah lebih tinggi dari Gito.
Suaranya lembut di telinga, persis yang ia dengar sebelumnya. Aroma khas kasturi di sekujur tubuhnya membuat gairah Dinda tersulut. Bulu-bulu tangan dan di dada pria tampan ini, membuat Dinda mabuk kepayang hingga tak bisa berpikir nalar.
Dalam toilet pula, sang pria mengakui telah menggauli Dinda sebelumnya. Bukannya marah, wanita ini justru bahagia. Jerat mantra sihir sosok jin telah berhasil menjerat Dinda.
Kini pria yang sama telah kembali ke semula, bertinggi menjulang setinggi rumah kosong. Ia mengamati pasutri yang sedang berboncengan di depannya. Tanpa menampakkan diri pada Dinda. Ia tak mau terlihat aneh di mata kekasih hatinya. Ia harus terlihat sempurna sebagai manusia di mata Dinda.
Sang wanita yang telah terjerat cinta makhluk kasat mata telah tenggelam dalam hasrat sesat. Kini, di pelupuk mata dan pendengarannya, hanya sosok tampan rupawan dengan suara parau menggoda.
Sosok perkasa yang berhasil mengikat mata batin dan menjerumuskan dalam desahan liar yang menyesatkan. Hati Dinda telah terbagi antara cinta Gito yang tulus dan nafsu liar bersama sosok khas Timur Tengah.
Wanita ini bimbang dan tak ingin memilih. Ia inginkan keduanya karena bisa saling melengkapi hidupnya. Semua yang ambisinya ada di kedua sosok beda dunia ini. Tak ada pemikiran segara logika lagi baginya.
Aku menginginkan kamu untuk temani malam yang sepi, batin Dinda. Hal ini didengar jelas oleh sosok beraroma kasturi.
“Kau tak perlu memilih. Aku bahagia bisa memilikinya,” ucap sosok Timur Tengah di telinga wanita ini.
Dalam toilet pria Timur Tengah mengakui telah menggauli Dinda sebelumnya. Bukannya marah, wanita ini justru bahagia. Jerat mantra sihir sosok jin telah berhasil membius Dinda.Kini pria yang sama telah kembali ke bentuk semula, bertinggi menjulang setinggi rumah kosong. Ia mengamati pasutri yang sedang berboncengan melintas di depannya. Tanpa menampakkan diri pada Dinda. Ia tak mau terlihat aneh di mata kekasih hatinya. Ia harus terlihat sempurna sebagai manusia di mata Dinda.“Tetap bersamaku, Sayang,” ucapnya terkirim lewat angin berembus sepoi-sepoi menghampiri pendengaran Dinda.Iya, Sayang, balas Dinda dalam hati tersampaikan lembut menggoda di telinga sosok empat meter. Senyum pun menghias di kedua pipi sosok berjambang lebat.“Sayang, kayaknya benar ucapan kamu. Mas harus segera ajukan penempatan baru. Kasian kamu dan juga tubuhku jadi loyo.”“Apa aku bilang, Mas,” sahut Dinda sembari memeluk sang suami.Gito sangat menikmati pelukan sang istri, tapi Dinda sudah tak bisa sepenu
“Mbak, maaf. Memang berapa bulan dalam perut? Masih muda, hamil gak papa. Habis melahirkan bisa KB.”Dinda yang mendengar ucapan sang penjual jamu terisak kembali. Gito segera mengantisipasi agar pertanyaan ibu jamu tak berlanjut.“Dia gak mungkin hamil. Baru seminggu kemarin haid.”“Lah, kenapa minum kapsul nifas?”“Biar tak ada gumpalan darah haid. Takut kanker. Kami permisi, Bu,” ucap Gito sambil memeluk sang istri segera menghampiri motor.Ibu penjual jamu memandangi kepergiaan mereka dengan rasa heran. Perasaan tadi istrinya bilang takut hamil, tapi kok haid? Apa aku salah dengar, ya?▪▪¤•°¤▪▪Dalam pasarDinda sengaja sendirian masuk pasar. Padahal tadi Gito ingin menemani istrinya berbelanja. Namun, tak diperbolehkan oleh sang istri karena Dinda tahu betul, Gito tak sabaran di dalam pasar. Bisa dipastikan, ia akan menyuruh sang istri membeli tanpa proses tawar menawar dan buru-buru mengajak keluar dari pasar.Bisa dipastikan akan berakhir dengan penyesalan karena tak teliti pad
"Iya, Bu. Kami pamit pulang dulu. Terima kasih atas bantuannya semua,”ucap Gito sambil membantu Dinda berdiri. Mereka menyalami ibu pedagang ayam dan yang lain lalu beranjak keluar pasar.“Dinda Sayang, kamu tak boleh lepas dariku.”Terdengar suara bisikan di telinga Dinda. Aroma kasturi menguar di sekeliling pasutri tersebut.Hmm, bau yang sama, batin Gito sambil membaca doa.Pria ini menggandeng sang istri dengan langkah terburu-buru ke tempat parkir. Saat mereka telah di atas motor dan akan keluar dari tempat parkir, mendadak didatangin anak kecil.Ia berpakaian kumal dengan badan kurus kering membawa dua buah polybag berisi tanaman berdaun bulat. Anak berusia sekitar dua belas tahun ini tersenyum ke arah mereka.“Assalammu'alaikum!”“Wa'alaikumussalam, Dek.”“Tolong dibeli seikhlasnya. Insyaallah untuk pengusir jin. Sari daunnya dibuat mandi dan diminum setelah dibacakan surat rukiah.”“Pohon kelor, ya?” tanya Dinda sambil memetik salah satu daunnya.“Bukan, Mbak. Ini pohon Bidar
“Kamu pakai baju yang ada di dalam peti.”"Baju dalam peti mas?"“Ya, Sayang. Semua yang terindah hanya untuk wanita tercantikku.”Dinda segera membuka peti itu dan matanya akan melompat keluar, begitu tahu isi di dalamnya.“Ini punyaku semua? Benarkah?”“Iya, Sayangku. Pakailah!”Sosok tampan ini tersenyum memperlihatkan deretan gigi putih. Akhirnya, sang pujaan hati bisa dibawa ke dunianya. Tak sia-sia, perjuangannya selama beberapa hari membius rasa sang pujaan.Mata Dinda berbinar-binar melihat dalam peti terdapat aneka gaun indah berhias untaian permata, berbagai model perhiasan emas bertakhta intan berlian, sandal flip-flop, The Aribian shore dan juga tiara bertakhta berlian. Dinda mendongak ke arah jin Timur Tengah yang sedang berdiri tak jauh dari pembaringan.“Aku panggil kamu apa?”“Namaku Mustafa Kemal. Panggil saja Mustafa,” ucap jin itu sembari menghampiri dan duduk menghadap Dinda yang masih berselimut.“Mustafa?” “Ya, Jamila!”“Namaku Dinda, bukan Jamila.”“Jamila itu
"Aku akan menemuimu setiap saat. Kau pun bisa memanggil namaku setiap kau ingin. Tak perlu berkata apa pun tentang kepergianmu. Biar dayang yang menjelaskan semua.”Setelah berkata Mustafa pun menghilang. Dayang mengambil peti lalu melipatnya jadi kecil dan disimpan dalam genggaman Dinda.“Silakan dibuka saat Tuan Putri sampai rumah. Tanpa manusia lain tahu.”Dinda tersenyum lalu mengangguk. Dayang ini kemudian memeluk tubuh Dinda dan seketika menghilang.▪▪¤•°•¤▪▪Gito bangun tidur mencari sang istri. Ia mencari ke seluruh ruangan tak ada, bahkan telah mencari ke sekeliling rumah. Pria berambut cepak ini pun telah bertanya ke tetangga sekitar, tak ada yang tahu tentang keberadaan Dinda.Dinda belum juga pulang sampai larut malam, akhirnya Gito menelepon teman-teman akrab sang istri. Mereka tak ada yang mengetahui keberadaan Dinda. Semalaman, Gito terjaga, menunggu kedatangan sang istri. Sempat tertidur sebentar dan terbangun saat azan Subuh berkumandang.“Ya Allah! Aku mohon lindungi
“Kau tak bisa membuatku terus menerus cemburu seperti ini. Akan kupastikan kau hidup di duniaku selamanya,” bisik lirih Mustafa di telinga Dinda.“Jangaaan!” teriak Dinda tanpa sadar.“Ada apa, Sayang?” tanya Gito yang kaget mendengar teriakan sang istri barusan. “Eng-gak ... maksudku. Tami, jangan bosan ke sini, ya,”ucap Dinda berusaha berkelit yang membuahkan hasil satu kecupan pipi oleh Mustafa.Dasar usil, kata Dinda dalam hati yang sukses meledakkan tawa Mustafa, tapi tak mampu didengar oleh Gito.“Bulu kuduk Mas jadi makin berdiri gini, ya,” celetuk Gito sambil meraba tengkuk dan kedua lengan.Dinda pura-pura tak mendengar omongan suaminya. Ia memperhatikan Tami yang menghidupkan motor.“Assalammu'alaikum,” ucap Tami berpamitan sambil menghadap ke arah tuan rumah.“Walaikummusalam,” balas kedua tuan rumah bebarengan. Tami melambaikan tangan lalu memutar motor ke arah jalan dan menghilang, berbaur dengan pengendara lain. Tak berapa lama Mustafa ikut lenyap, tapi aroma kasturi m
“Segini banyaknya dan gede-gede, masih seger lagi. Baunya laut banget. Serius ini dari Tami?” tanya Dinda sambil tegak lalu menghadap pria berbaju basah dan bersorot mata tajam.Wanita bertubuh indah ini menatap ke sorot mata yang beberapa hari telah familiar baginya. Ia tersenyum, seakan-akan minta jawab secara tak langsung, apakah benar yang dirasakan.“Terima kasih banyak, ya, Pak. Banyak banget ini. Tolong bilang ke Tami, makin sayang aku ke dia. Soulmate banget, deh.”Gito yang mendengar perkataan sang istri langsung menoleh.“Sayang, gak boleh berlebihan gitu. Doain segala kebaikan untuknya.”“Ya, Mas, Maaf. Maklum, masih suka terbawa jaman masih single.”Gito tersenyum mendengar omongan istri imutnya ini. Ia menyadari sang istri kadang masih terbawa sifat kanak-kanaknya. Dari awal mereka menjalin hubungan kasih selama setahun sebelum akhirnya menikah, Dinda memang terkesan manja. Apalagi perbedaan umur yang lumayan jauh di antara mereka, yaitu sepuluh tahun. Berasa layaknya pa
Angin dingin beraroma kasturi menguar menyengat memenuhi ruangan. Aroma menyengat kasturi semakin tajam menusuk rongga hidung pasutri ini hingga menyesakkan dada keduanya. Tiba-tiba asap putih terhampar menutupi pandangan Gito maupun Dinda.“Audzubillah Himinas Syaiton Nurokim. La Haula Wala Quwwata Illa Billah.”Suara Gito bergema seantero ruangan hingga mampu membuat asap yang mengepul lalu menipis pelan-pelan. Tak lama kemudian, terdengar suara dentuman sangat keras layaknya dinding ambrol dan membuat lubang di lantai. Namun, saat pandangan pasutri tersebut semakin jelas, tak tampak kerusakan apa pun dalam ruangan. “Suara apaan tadi?” Gito gegas melangkah ke dua kamar tidur yang bersebelahan lalu menuju dapur, tak ada apa pun. Pria berambut cepak ini pergi ke ruang tamu melihat keluar dari kaca jendela depan, hasilnya pun nihil.Mustafa? Kamu terluka? tanya Dinda dalam hati yang berharap sang pujaan hati sudi menjawab. Gito kembali dengan menggeleng lalu memandangi sang istri ya