Share

DINDA TAK MAU HAMIL

Dalam toilet pria Timur Tengah mengakui telah menggauli Dinda sebelumnya. Bukannya marah, wanita ini justru bahagia. Jerat mantra sihir sosok jin telah berhasil membius Dinda.

Kini pria yang sama telah kembali ke bentuk semula, bertinggi menjulang setinggi rumah kosong. Ia mengamati pasutri yang sedang berboncengan melintas di depannya. Tanpa menampakkan diri pada Dinda. Ia tak mau terlihat aneh di mata kekasih hatinya. Ia harus terlihat sempurna sebagai manusia di mata Dinda.

“Tetap bersamaku, Sayang,” ucapnya terkirim lewat angin berembus sepoi-sepoi menghampiri pendengaran Dinda.

Iya, Sayang, balas Dinda dalam hati tersampaikan lembut menggoda di telinga sosok empat meter. Senyum pun menghias di kedua pipi sosok berjambang lebat.

“Sayang, kayaknya benar ucapan kamu. Mas harus segera ajukan penempatan baru. Kasian kamu dan juga tubuhku jadi loyo.”

“Apa aku bilang, Mas,” sahut Dinda sembari memeluk sang suami.

Gito sangat menikmati pelukan sang istri, tapi Dinda sudah tak bisa sepenuh hati lagi. Separuh hatinya telah diberikan kepada sosok Timur Tengah. Cintanya masih untuk Gito dan kini sudah terbagi tanpa sang suami mengetahuinya.

“Mas, kalo aku hamil, gak papa?”

“Istriku Sayang, aneh-aneh aja, kamu. Mas pengen banget segera punya anak. Makanya kita mau berobat tadi dan besok Mas libur, kita ke dokter untuk periksa,” ucap Gito sembari merapatkan pelukan Dinda dengan sebelah tangan.

“Terima kasih, Mas,” balas Dinda sembari meneteskan air mata.

Mas Gito begitu baik, ia sangat tulus mencintaiku. Kenapa aku tega berkhianat?

Kalo aku hamil olehnya, lalu gimana nasib anak kami?

Ia bukan manusia, sadar Dinda!

Hati nurani Dinda bergejolak. Wanita bertubuh sintal ini meneteskan air mata. Ia menyadari atas kebodohannya. Ia bertekad akan menghindari sosok tampan itu. Dinda sadar betul, sosok tersebut adalah makhluk tak kasat mata. Meski nafsunya terpuaskan oleh sosok itu, tapi batinnya tidak. Cinta kasih Gito sebagai sosok suami tak bisa disamakan dengan sosok yang baru ia tahu.

“Astaghfirullah hal adzim!”

Dinda beristighfar sambil memejamkan mata. Air mata menetes tiada henti membasahi punggung Gito. Sang suami yang merasakan basah di baju bagian belakang, segera menghentikan motor di pinggir jalan. Pria berbadan tegap dan berambut cepak ini segera berpaling ke belakang.

“Sayang, kenapa menangis? Barusan terlihat bahagia mau masak istimewa. Ada apa? Kita turun dulu, ya.”

Gito mengusap buliran bening di kedua mata dan pipi sang istri. Kemudian ia mengajak Dinda turun dari motor dan melangkah ke sebuah lapak kosong. Di sebuah bangku panjang, mereka duduk berdampingan. Gito menatap ke wajah sang istri.

“Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut kepada Dinda.

“Mas, jangan marah, ya.”

“Insyaallah, Mas gak akan marah. Asal kamu mau jujur kepada Mas.”

“Semalam aku berhubungan intim dengan Mas. Tapi pagi tadi Mas bilang tak bawa kunci. Padahal Mas semalam itu masuk seperti biasa, pake kunci. Maafkan aku, Mas. Aku gak bisa bedain.”

Setelah berucap, Dinda terisak-isak makin keras.

“Astaghfirullah hal adzim 3x. Kita harus segera ke Pak Kyai, Sayang. Kamu harus dirukiah. Alhamdulillah kamu mau cerita. Kita cari jalan keluar bersama.”

“Mas gak marah? Aku telah ternoda. Maafin aku, Mas!”

“Insyaallah Mas gak marah. Kamu gak tau. Nanti salat mohon ampun pada Allah.”

“Makasih, Mas.”

Gito mengangguk lalu memeluk tubuh istrinya erat. Apa yang ia khawatirkan, terjadi juga pada istrinya. Gito menyadari itu juga karena kelalaiannya juga. Ia meninggalkan istrinya seorang diri saat bekerja sif malam.

“Mas juga minta maaf Sayang. Harusnya minta tolong sodara buat temani kamu.”

Gito membelai rambut sang istri dengan lembut. Tak terasa air mata Gito ikut menetes. Ada rasa marah pada sosok yang telah berani menyerupai dirinya demi menggauli Dinda. Namun, ia segera beristighfar. Mohon ampun kepada Allah dan mencoba mengikhlaskan karena Allah.

“Habis belanja kita langsung ke Pak Kyai. Biar gak diganggu lagi.”

“Iya, Mas.”

“Tetap periksa ke dokter juga. Biar diketahui pasti, sakitmu karena apa. Ayo, Mas udah janjian dengan penjual jamu,” kata Gito sembari mengecup kening Dinda.

Gito membantu Dinda berdiri lalu menggandeng tangannya. Mereka berjalan menuju tempat motor terparkir. Gito naik motor terlebih dahulu lalu diikuti oleh Dinda. Wanita muda ini memeluk sang suami erat. Ia merasa bersyukur diberi jodoh seorang suami yang sabar dan sangat menyayanginya.

Hanya beberapa menit saja, mereka telah sampai di pasar. Motor oleh Gito diarahkan ke depan sebuah kios jamu. Ia memarkir motor tepat di depan kios. Dinda turun dari motor terlebih dulu, disusul olah sang suami.

“Kamu harus minum jamu juga. Biar tambah segar.”

“Iya, Mas.”

Mereka melangkah masuk kios lalu memesan dua gelas jamu. Pasutri ini mencari tempat duduk di dekat jendela. Tak beberapa lama, pesanan jamu telah diantarkan ke meja mereka.

“Ini jamu pasak bumi campur sehat lelaki buat Masnya,”ucap sang penjual sambil menaruh gelas jamu dan minuman penawar beserta dua butir permen di depan Gito.

“Terima kasih, Bu,” ucap Gito sambil mencicipi dan bergidik sebentar setelah merasakan jamu.

“Ini jamu bersih darah dan sehat wanita untuk Mbaknya.”

Penjual meletakkan segelas jamu dan penawar serta dua butir permen, tapi ada yang berbeda, ada sebutir kapsul terbungkus plastik ditaruh di tatakan cangkir penawar.

“Makasih, Bu.”

“Sama-sama. Silakan diminum.”

Penjual ini pun berlalu meninggalkan mereka. Dinda meminum jamunya sambil memencet hidung lalu meminum penawar. Setelah itu, ia menelan kapsul dibantu penawar sampai tandas.

“Itu kapsul apa, Sayang?” tanya Gito penuh keheranan.

“Kapsul bersih darah nifas,” ucap Dinda takut-takut.

“Buat apa? Kok tau ada kapsul gituan? Gak usah macam-macam. Bahaya buat rahim.”

“Aku tau ini dari Kakak waktu lahiran. Katanya buat bersihin nifas biar tak ada gumpalan darah di rahim.”

“Kamu kan gak melahirkan? Gak usah aneh-aneh!”

Gito pun segera memegang tangan Dinda lalu mengusap pelan-pelan.

“Mas tau. Kamu takut hamil, kan?”

Dinda seketika mengangguk lalu berurai air mata. Wanita ini terisak-isak dengan kepala tertunduk.

“Aku gak mau, ada janin yang aneh dalam perut,” ucapnya terbata-bata. Penyesalan yang dirasakan Dinda teramat dalam. Tangisannya makin menjadi dan Gito segera bangkit dari kursi lalu memeluk sang istri.

“Udah, malu di tempat umum nangis gini. Kita buruan pergi dari sini. Nanti Mas cerita sesuatu.”

Dinda mengangguk lalu mengusap air mata yang tergenang di kedua mata dengan tisu. Penjual jamu memandangi mereka dengan penasaran. Saat pasutri muda ini menghampiri untuk membayar pesanan jamu, ibu setengah baya ini segera bertanya, “Mbak, maaf. Memang berapa bulan dalam perut? Masih muda, hamil gak papa. Habis melahirkan bisa KB.”

Dinda yang mendengar ucapan sang penjual jamu terisak kembali. Gito segera mengantisipasi agar pertanyaan ibu jamu tak berlanjut.

“Dia gak mungkin hamil. Baru seminggu kemarin haid.”

“Lah, kenapa minum kapsul nifas?”

“Biar tak ada gumpalan darah haid. Takut kanker. Kami permisi, Bu,” ucap Gito sambil memeluk sang istri menuju menghampiri motor.

Ibu penjual jamu memandangi kepergiaan mereka dengan rasa heran. Perasaan tadi istrinya bilang takut hamil, tapi kok haid? Apa aku salah dengar, ya?

•••¤•°•¤•••

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nora Shila
,,????????
goodnovel comment avatar
Fransiscaroom
takut hamil anak jin..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status