Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Mas, aku loyo banget. Tidur duluan, ya, "ucap Dinda.“Iya, Sayang. Mas mau buru-buru balik kerja,” ucap Gito kepada sang istri sambil mengecup kening wanita yang tampak pucat pasi di pembaringan.“Kamu malam ini benar-benar dahsyat, Mas. Tenagaku habis-habisan. Kamu minum obat kuat?”“Enggak, Sayang. Mas, pergi dulu, ya.”“Kiss bibir, dong!”Gito pun menuruti kemauan Dinda. Sesaat kemudian, sang istri telah tertidur pulas dengan bibir tersenyum manis.▪▪▪¤○°○¤▪▪▪Jam 07.30 WIB“Assalammu'alaikum!” Suara Gito membangunkan isterinya. Pria ini merasa keheranan karena lampu teras masih hidup dan tirai jendela masih tertutup.‘Tok tok tok!’“Assalammu'alaikum, Sayaaaang!”Gito berjalan memutar ke samping rumah lalu mengetuk jendela kamar yang masih tertutup.‘Tok tok tok!’
Gito segera beranjak mengunci pintu. Mereka pun berangkat ke dokter dengan berboncengan. Sementara itu dari celah pintu rumah kosong yang keropos tampak bola mata besar mengintai pasangan barusan.“Aaahhh!” Geraman penuh amarah terdengar dari dalam.‘Praakk!’‘Pyaaaarrr!’Tiba-tiba kaca jendela depan rumah kosong itu pecah berkeping-keping. Puing-puing kaca berserakan di lantai teras.Dua anak sekolah yang melintas di depan rumah itu seketika menoleh ke arah suara. Mereka melihat sosok tinggi besar di balik jendela yang pecah.“Ha-hantuuu!”Mereka segera lari terbirit-birit hingga menarik perhatian beberapa ibu yang sedang berbelanja di warung, tak jauh dari rumah kosong. Hari sudah siang, mana mungkin ada hantu, kata ibu-ibu saling bersahutan. Namun, kedua anak tersebut sudah lari ketakutan tak mendengar lagi ocehan para ibu.“Mari Bu Am kita liat ke sana,” kata ibu p
“Jangan tinggalin aku kerja lama-lama, Mas.”“Wei, tumben nih. Ada apa, Sayang?”“Gak papa, kan. Kalo aku pengen lebih dimanja?”“Ya deh. Coba Mas ajuin penempatan kerja yang tak ada 3 shif. Jadi maksimal jam 5 sore udah ada di rumah.”“Setuju banget, Mas. Ah, bahagia kalo malam ditemani Mas sampe pagi.”Mereka tak menyadari ada sepasang mata merah tak kasat mata sedang menahan amarah melihat kemesraan barusan.“Aku yang kau butuhkan, Sayang. Bukan dia!” bisiknya ke telinga Dinda.Sensasi dingin dan bulu kuduk meremang dirasakan oleh Dinda seketika.“Mas, yang ngomong barusan?”“Ngomong apa, Sayang? Mas lagi makan. Enak banget sotonya. Cobain!”Gito menyuapkan sesendok nasi soto ke mulut Dinda. Wanita ini segera menguyahnya. Warung soto ini memang paling terkenal nikmat di kota mereka. Biasanya Dinda paling antusi