Share

Part 3 Belanja

Kali ini aku membantah karena sudah punya kekuatan berdiri sendiri. Meskipun belum seberapa bagi sebagian orang, tapi bagiku bisa menyelamatkan hidup dari hinaan. Akan kucari kontrakkan sambil buka warung nasi Padang. Belum rumah makan Padang karena uangku belum cukup untuk mengontrak ruko.

Alhamdulillah ... Alhamdulillah, tak henti-hentinya mengucap syukur atas rezeki ini. Usaha yang menghasilkan. Hinaan mereka cambuk bagiku agar terus kuat dan tak berhenti berusaha dan belajar menulis cerbung. 

"Hari masih pagi, jangan bercanda karena aku tak level bercanda denganmu, Rin." Mbak Inur sempat juga menyelipkan hinaan dari setiap kata-kata yang dilontarkan padaku.

"Atau jangan-jangan sakit sarafnya kumat dan ia benaran gi*a, ha ha ha." 

Aku diam sambil tersenyum manis menatap mereka. Sepasang suami istri menghina dan itu masih kata-kata cacian dari kemarin. Terdiamku karena ingin melihat apa saja yang akan diucapkan lagi. Ekspresi tertawa cemooh mereka akan selalu kuingat.

"Jangan gitu dong, Mas. Kalau dia gila trus yang jagain anak kita siapa?" Mbak Inur merangkul pundak suaminya.

"Ada apa sih? Pagi tertawa besar, suara hujan aja kalah." Tiba-tiba ibu mertua keluar dari kamar. Senyumku mendadak hilang melihat raut mukanya. 

"Ini, Bu, Rina sok nggak butuh uangku," jawab mbak Inur. Aku yakin akan ada kelanjutan menghina. Kali ini mereka bukan berdua saja.

"Hah? Menghayal punya duit banyak lagi dia?" Ibu melirik sinis padaku.

"Hah? Ada yang kambuh?" Tuh kan, kini Stela juga ikut-ikutan menghina. 

"Iya, Stel. Kakak iparmu yang terkaya ini nolak ngurusin bayiku dengan imbalan lima belas ribu. Maunya dua puluh juta kali, ha ha ha." Mas Jaka belum berhenti. Tertawa keras seperti tadi hingga yang lain pun ikut tertawa.

Sebaiknya aku pergi ke ATM. Ingin rasanya hari ini cari kontrakkan, atau lebih baik aku balik ke rumah ibu. Tapi hari hujan dan tak mungkin bawa Raka. Mau titip ke mas Bayu harus alasan apa? Aku belum ingin berkata jujur dari mana dapat uang. Ingin membuktikan saja hingga mereka penasaran.

"Rin, bantu aku angkat sekarung cabe," pinta mas Bayu berteriak di luar pintu.

Biasanya setiap pagi kami angkat sekarung cabe ke luar warung. Karena warung tak terlalu luas, makanya barang-barang jualan ibu ditumpuk ke dalam saat warung mau ditutup. Esoknya buka warung, sebagian barang jualan dikeluarkan lagi.

"Nggak usah repot, Mas. Nanti kamu terjatuh lagi. Biar nanti kuangkat sendiri." 

Padahal aku tak ada niat mengangkatnya. Hanya ucapan sementara agar tak terjadi keributan karena aku membantah. Sabar dulu hingga waktunya.

"Hey, Bay! Istrimu nggak lagi sakit kan? Pagi-pagi berlagak seperti orang kaya. Menghayal sih boleh karna nggak bayar, hanya menghayalnya nggak nyadar nasib."

"Apa sih, Mbak? Rina bukan seperti itu loh," sanggah mas Bayu ke mbak Inur.

"Belain terus istri tak berguna," sindir ibu.

"Seharusnya cari istri seperti aku ini, Bay. Pintar dandan, nggak seperti istrimu yang tiap hari pakai daster lusuh. Lagian Inur juga tamat S1."

Mas bayu masuk. " Rina, ada masalah apa lagi?" tanyanya bernada baik.

"Aku ...."

"Istrimu nolak uang lima belas ribu rupah jagain anakku. Mungkin ia lebih suka kamu jadi pengemis, Bay," jawab mas Jaka memotong ucapanku.

"Jangan gitu ngomongnya, Mas. Mungkin Rina punya alasan lain. Jangan tersinggung dulu." 

"Alasan apa lagi? Lah kalian berdua hanya di rumah aja, dapat uang dari mana? Untung kukasih kerjaan jagain anakku."

"Udah ker* milih lagi. Itu namanya tak tau diunt*ng!" Stela berucap seolah ia seorang tuan putri di rumah ini. Apakah ia lupa kebaikan suamiku dulunya?

'Silahkan puaskan dulu menghina kami, kutampung hingga nanti kumuntahkan,' bathinku.

"Tolong jaga omonganmu, Stela!" Muka mas Bayu merah seperti berusaha menahan amarah. Lagi, keadaan membuatnya tak bisa berkutik.

Keluarga macam apa mereka. Bukankah mas Bayu anak kedua di rumah ini? Tapi jika ia anak tiri, mungkin aku bisa maklum. Tak adakah rasa kasihan ibunya? Satu anak tersisih karena miskin dan cacat.

"Wow, udah bisa ngomong banyak kamu, Mas? Aku mah bicara apa adanya. Lagian jika nggak mampu jangan berlagak. Itu aja koook."

"Trus sadar diri tinggal di rumah ini," sambung Stela berdiri berkacak pinggang.

"Sudah sudah! Bayu tetap kakakmu, Stel. Biar cuma satu kaki tetap aja ada gunanya. Sekurang-kurangnya bantuin Ibu bersihkan warung, cuci motorku atau apalah. Lagian si Rina juga ada fungsingnya, ia bisa masak enak, trus apa kamu mau nyuci baju sendiri?" 

"Ogah! Tanganku bisa kasar kalo nyuci."

Secara garis besar, mas Jaka memperjelas tugas kami seperti babu di rumah ini. Oke, sebelum aku pergi dari rumah ini. Akan kuperlihatkan cara membantah menantu yang hanya tamat SMP dengan sebutan menantu gil*. Karena bersikap diam terus menyiksaku.

"Biar anakmu titip padaku, Mas," ujar mas Bayu ke mas Jaka.

"Tidak bisa, Mas!" bantahku. "Aku juga perlu keluar, hari hujan dan aku titip Raka."

"Hah?" Serempak mereka melongo menatapku.

"Ha ha ha, sakit gil*nya belum sembuh, ha ha ha." Mas Jaka tertawa besar.

"Iya, pagi-pagi menghayal ada urusan penting seperti wanita karir aja, ha ha ha." Mbak Inur pun tertawa menanggapi seakan tak percaya.

"Oh Tuhaaan, malangnya aku punya mantu yang rada m*ring, ha ha ha." 

"Ha ha ha, udah ah! Aku malas dengar orang yang belum sembuh. Bagusan aku ke kampus." Lalu Stela berlalu.

"Rina! Ayok sini." Mas Bayu mengajakku ke kamar. Pasti mau membicarakan ini. 

"Tuh, urus istrimu, Bay," ucap mas Jaka sambil mengambil mantel hujan di meja.

"Sudah, Mas. Ayo berangkat kerja, nanti telat ngurusin Rina menghayal tingkat tinggi," kata mbak Inur sambil mengiringi suaminya ke pintu.

Aku mengikuti langkah mas Bayu ke kamar. Pagi ini perutku disuguhi sarapan hinaan keluarga suamiku. Masih ditahan dengan dada sesak. Ya, sebentar lagi akan diperlihatkan seperti apa 'menantu gil*' ini. 

"Tolonglah, Rin. Jangan bikin banyak masalah. Kondisiku seperti ini. Jika kita membantah, kita mau tinggal di mana?" Mas Bayu mulai duduk di tepi ranjang.

"Mas, aku ingin pulang ke rumah orang tuaku. Lagian aku hanya berdua bersaudara. Aku yakin Ibu Bapak menyetujuinya."

"Tapi, Rin. Kita dapat biaya makan dari mana? Kita sama-sama tau keadaan orang tuamu."

Semenjak mas Bayu berhenti kerja, aku pun tak bisa mengirimkan uang ke orang tuaku. Hingga kini mereka menyambung hidup dari memungut botol-botol bekas atau kardus bekas di tong sampah dan jalanan. Sementara Yana --adikku masih menunggu kelulusan SMA tahun ini. Bahkan ia juga kerja di laundry sepulang sekolah. Kami sudah biasa hidup kekurangan. Namun ibu bapak tak pernah mengajarkan berhenti berusaha. Kata bapak, lebih baik memulung sampah dari pada mengemis.

"Pasti ada jalan asal kita usaha, mungkin kucoba buka warung kecil-kecilan, Mas."

"Biaya dari mana, Rin? Aku tak punya uang sepersen pun. Mungkin nunggu Mas Jaka pulang kerja dan aku dapat upah sepuluh ribu dari nyuci motornya. Seharusnya kamu nggak nolak jagain anaknya, toh kita dapat upah lima belas ribu."

Haruskah kujujur pada suamiku jika aku punya uang? Tapi ....

"Mas, aku bisa minta tolong jagain Raka? Aku diajak Yana hari ini kerja harian di laundry." Terpaksa berbohong. 

Aku akan jujur jika sudah berada di rumah orang tuaku lalu kami buka warung. Jika ngontrak mungkin mengeluarkan biaya banyak. Uang itu buat buka usaha nantinya. Aku tak boleh menghabiskan sebanyak itu karena kedepannya belum tahu.

"Alhamdulillah ada kerjaan, coba nanti tanyakan jika aku juga bisa kerja di rumah bos Yana. Bilang aja aku juga bisa nyetrika baju meskipun kaki hanya satu. Biar nanti aku yang kerja dan kamu cukup ngurus Raka."

Mas Bayu masih bersemangat bekerja dengan kondisinya kini. Aku tahu ia suami yang bertanggung jawab. Itulah kenapa aku tak sanggup minta cerai jika alasannya ia tak bisa bekerja cari uang.

"Iya, Mas. Oh ya, nggak usah jagain anak Mbak Inur."

"Tapi, Rin, aku nggak enak nolaknya kamu tau sendiri ...."

"Sudahlah, Mas! Biar aku yang bilang. Aku capek dihina terus. Kita tinggal di rumah ibumu tapi seperti babu. Pokoknya siap-siap kita pulang ke rumah Ibuku." Kupertegas ucapan.

"Terserah kamu, Rin. Mungkin tinggal di rumah ibumu akan lebih dihargai. Tapi jika kamu izinkan, biarlah aku berdiri di lampu merah karena hanya itu yang bisa kulakukan saat ini."

"Tidak, Mas! Kita masih bisa berusaha. Jika aku mau sudah dari dulu kubiarkan kamu mengemis. Tapi aku yakin masih ada jalan."

Segera kuganti baju yang lebih baik. Ponsel dimasukan ke kantong kresek kecil, baru menyimpannya di saku celana kulot yang kupakai, agar tak basah karena hujan.

"Loh, kamu mau ke mana Rin? Trus yang jagain anakku siapa?" Tiba-tiba mbak Inur mendapatiku sedang mengambil payung di dapur. 

"Jaga sendiri lah, kan sudah kubilang aku juga ada keperluan," jawabku berlalu dari dapur.

"Loh! Urusanku lebih penting, lagian kamu kuupah jagain anakku kok."

Ia sudah dandan dan siap-siap mau pergi. Sepatu hak tingginya saja sudah dipakai. Heran deh, mau ke rumah teman tapi dandanan seperti pergi kondangan. Atau karena aku tak biasa dandan seperti itu jika ia terlihat menor di mataku.

"Hey mantu terkaya! Mau ke mana? Kum*t lagi s*rafmu?" Ibu mertua melototiku.

Nenek lampir kok juga ikutan bertanya? Memperlama langkahku saja.

Aku tak peduli. Pertanyaan mereka kuabaikan. Kubuka payung lalu menerobos hujan meninggalkan rumah.

"Rina! Aku juga sudah ada janjian! Rina!" 

"Rina!"

Teriakan mbak Inur masih terdengar. Kupalingkan ke belakang, ia dan ibu mertua berdiri di tetas melihatku pergi.

***

Segera kutarik uang via Atm. Seadanya saja.  Untuk beli cemilan, nasi bungkus padang dan jus dua gelas. Tak lupa belanja baju serta tas baru. Kali ini juga kubeli dua buah cincin, tentu emas 24 karat dong. Dua cincin itu melingkar cantik di jari manis dan jari tengah tangan kananku. 

"Oke, waktunya pulang," gumamku sambil menyetop taksi.

Hujan sudah reda. Matahari menampakkan diri. Sambil perjalanan pulang, kusempatkan mengetik satu atau dua paragraf cerbung. Setelah menerima uang dari hasil menulis, semangatku makin bertambah. Alhamdulillah, tak hentinya mengucap syukur.

Akhirnya taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah, tepatnya depan warung ibu mertua. Hari sudah siang dan warung pun terlihat sepi. Hanya ibu mertua yang duduk di warung sambil melihat ke arah taksi. Lalu mulai aku keluar.

Prak! 

Kututup pintu mobil, lalu taksi meninggalkanku. Kakiku melangkah ingin masuk rumah sambil menenteng kantong belanjaan. Terlihat ibu mertua mangap, tentu ia terkejut melihatku pulang naik taksi. Aku sih cuek saja seolah tak melihatnya di dalam warung.

Aku pun masuk ke rumah. Terlihat dari kaca jendela, ibu juga melangkah mendekat.

"Assalamu'alaikum, Mas! Mas Bayu!" 

"Hey Rina! Kamu nggak punya kuping apa? Gara-gara kamu aku batal pergi, dan ...." Mbak Inur tidak melanjutkan kata-katanya, matanya terfokus melihat kantong belanjaan yang sengaja kuletakkan di meja tamu. 

"Kok kamu belanja banyak?" tanya ibu tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.

Kubalikan badan. Kini mbak Inur dan ibu mertua sudah berdiri di depanku. Aku pun pura-pura memperbaiki jilbab yang menempel di kepala, agar tangan kananku terlihat memakai dua buah cincin emas.

"I-itu cincin emas benaran?" tanya ibu tergagap, menunjuk jariku. Mata mereka membulat sempurna.

Bersambung ....

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nabila Salsabilla Najwa
bagus banget ceritanya
goodnovel comment avatar
Hafidz Nursalam04
nnjjkkkkkkkkkjn
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Keluarga suamimu bener2 sampah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status