Bukan aku tak menghargai ibu mertua, tapi semua ada batasnya. Apa yang ia katakan itulah yang dikembalikan. Jika sekarang ia bersikap baik lantaran ada maunya, tak perlu basa basi dan cukup jawab intinya saja tanpa paksaan."Rina, tunggu." Inur memanggil hingga langkahku terhenti."Ya, Mbak.""Tolong jangan perpanjang masalah, Ibu sedang sakit dan butuh bantuan. Hanya kita berdua mantu di rumah ini, kenapa tak saling berbagi?"Astaga, enak sekali berkata seolah hatiku terbuat dari batu. Mereka menghinaku. Bukan sekali atau dua kali, bahkan sering. Ucapan mereka mencemooh jika aku gil* hingga sekarang masih menusuk hati."Kita? Maaf ya, di rumah ini hanya kamu mantu yang seatap dengan Ibu, jadi jika ada masalah ya itu bukan urusanku. Lagian aku sudah berbagi kok, lumaya
"Mas! Mas!" teriakku panik. Lalu ikut membantu bapak memegang kaki mas Bayu.Ya Tuhan, kenapa mas Bayu berbuat senekat ini. Setahuku, ia bukan lelaki yang mudah putus asa. Terbukti saat ia kehilangan satu kaki, kesedihan tidak lama dan selalu percaya jika takdir Tuhan yang terbaik. Tapi kenapa sekarang seperti ini?"Rina, cepat lepaskan tali dari leher Bayu," titah bapak tak melepas kaki suamiku."I-iya, Pak," jawabku lalu meraih kursi."Astagfirullah'alaziim, Bayu?" Ibu sudah berdiri di ambang pintu dapur, terkejut melihat."Biar kubantu, Kak." Yana pun datang dan segera mengambil pisau dapur.Naik kursi, aku berusaha menggapai tali yang menjerat leher mas Bayu. Wajahnya pucat dan tadi tangannya tegang kehilangan nafas.
Ya, aku yakin pemuda bernama Kelfin ini adalah yang ada di foto status facebook Stela. Barusan kulihat dan ingatanku masih segar. Tapi, kenapa ia bersama Yana?"Mbak Rina, kenalkan ini temanku atau anak dari bos aku." Yana menepuk pundakku hingga aku tersentak."Oh! Iya," jawabku gugup. Lalu kusambut uluran tangan Kelfin."Aku Kelfin, Kak Rina," ucapnya ramah."Oh, silahkan duduk, Kelfin.""Tidak usah, Kak, lain kali saja. Aku terburu-buru karena mau ngantarkan Mama ke dokter," tolaknya."Oh gitu. Lain kali duduk dan minum kopi dulu, ya," ujarku sekedar basa basi."Pasti, Kak. Permisi." Kutanggapi mengangguk kecil sambil tersenyum."Aku b
Uang lima ribu dari mas Jaka, kulempar ke wajahnya. Jika kami tak diakui sebagai saudara, tak masalah. Tapi ia menghina kami. Tentu aku tak bisa diam, toh hidupku tak tergantung dia. Jika diam dihina bukan solusinya. Ia mempermalukan kami, justru aku balik mempermalukannya. Apa yang ia tanam itulah yang kupetik dan dikembalikan."Ka-kamu?" Matanya membulat seiring ucapan gugup. Tepatnya mungkin tak percaya jika aku berani melempar wajahnya dengan uang lima ribu itu. Seketika wajahnya merah seperti malu atau amarah."Kenapa? Malu mengakui Suamiku adik kandungmu?""Hah? Jadi adikmu, Bro?" ucap temannya seakan terkejut."Parah lu, Bro ....""Tapi kok?"Semua temannya berucap seakan tak percaya dengan yang kukatakan. Atau lebih tepatnya sanga
Pov BayuStela adikku. Saat ia tumbuh dewasa, ia bukan lagi adik kecil yang kubimbing saat menyeberang jalan. Bermain di halaman rumah, berlari. Saat ia terjatuh, aku yang menggendongnya meskipun akhirnya akulah yang dimarahi ibu karena tak bisa menjaganya. Namun, sekarang ia malu mengakui diriku kakaknya, ada rasa sedih dan kehilangan. Adik yang kusayang, adik yang kumanja akan tega berbuat ini. Dan itupun di saat aku tak bisa memberi lagi. Dan rasa hormat itu sudah lama hilang seiring hilangnya satu kakiku."Masuk aja, Mas. Itu Yana lagi kerja di dalam," ucap Kelfin menujuk ke arah laundry."Oh iya, Kelfin. Maaf mengganggu Yana kerja.""Nggak apa-apa, Mas." Lalu ia melihat ke arah Rina. "Singgah dulu, Kak Rina.""Lain kali aja, Kelfin. Lagian kami mau jalan jualan," sahut
Pov BayuMuka Stela makin tegang saat Rina menyebut jika kami sudah punya nomor ponselnya. Mungkinkah istriku akan membuka kedok Stela. Biarlah Rina bicara selagi itu benar."Oh, iya, Fin, lagian aku sudah minta nomor Mas ini barusan. Yok kita masuk." Stela menimpali seakan takut kami memberitahu kebenaranya."Oh gitu. Tapi ngapain terburu, Stel? Katanya mau pesan rendang lagi." Kelfin menunjuk uang di tangan Stela."Oh, mm iya sih." Stela tergagap. Sangat terlihat ia panik."Mm ini uangnya, Mbak. Antarin aja rendang itu buat Ibuku." Stela meletakkan uang dua puluh ribu di atas becak motor, lalu menarik tangan Kelfin ingin masuk ke rumah. Tepatnya ia menghindari agar tak ketahuan."Iya, Stela. Santai aja, kok terburu sih?" Kelfin tak kuas
Menunggu di atas becak motor kelamaan. Mas Bayu pakai acara berdiri di balik dinding pagar seperti enggan untuk masuk. Aneh, kok mas Bayu begitu? Jika kubiarkan, Raka juga semakin lama ditinggal dengan ibu. Kuputuskan untuk mendekati mas Bayu."Nah, itu Mpok tau, itu yang kumaksud." Terdengar ibu mertua bicara. Tak tahu dengan siapa karena aku masih berdiri di belakang mas Bayu."Oooh, berarti Rina di sini yang nggak beres. Masak udah ditolong mertua bantu biaya makan tapi balasannya pelit."Astaga, itu kan suara mpok Yuyun, tetangga langganan ibu mertua. Jadi mereka membicarakan aku. Aku yakin ibu mertua bicara buruk tentang aku hingga mpok Yuyun menanggapi miring."Sebenarnya aku juga malu, Mpok. Bayu cac*t dan nggak ada yang bisa dibanggakan. Ia bisa apa dengan kakinya. Mana ada orang mau nerima Bayu kerja k
Hari ini hanya mas Bayu yang jualan keliling. Aku di rumah tetap buka warung nasi Padang. Mengurus Raka sambil jualan, jika sedang sepi disempatkan menulis karena lebih fokus malam hari. Bagiku menulis sebuah hoby baru. Tak terbayangkan bisa menghasilkan uang dan bahkan merubah hidupku. Alhamdulillah."Yakin pergi jualan sendiri, Mas?" tanyaku saat meletakan barang dagangan ke becak motor."Yakinlah, Rin. Biar kaki satu aku bisa melakukannya kok.""Bukan gitu, aku hanya nggak enak lihat kamu menatap seragam teman sekantormu dulu."Teringat raut sedih wajah mas Bayu menatap baju kerja Adi, teman sekantornya dulu. Aku tahu ia sedih pada akhirnya seragam itu terpaksa dilepaskan. Padahal saat itu mas Bayu sedang giat bekerja dan kami pun sudah berencana ingin kredit rumah."Iya,