"Lho, Le ... sore-sore kok ke rumah? Ada apa?" tanya Bu Rodiyah menyambut kedatangan putra tunggalnya itu menjelang maghrib diantar Lik Mukidi.
Dalam hatinya, Agus sendiri bingung harus mengatakan apa kepada ibunya. Ini hal yang memalukan, dia diusir mertuanya dan disuruh bercerai dari istrinya tanpa bisa melawan sedikit pun.
"Ehh ... nganu, Bu ...," ucap Agus terpatah-patah berusaha merangkai kata-kata di kepalanya yang semrawut saat ini.
Dia pun duduk di rincak (kursi bambu panjang) bersebelahan dengan Bu Rodiyah. Setelah membulatkan tekadnya seraya menghela napas Agus pun menceritakan duduk permasalahannya dengan mertuanya, Ki Agung Artosuwiryo.
"Oalah, Le ... Ibu hanya bisa berharap kamu ndak perlu pegatan sama Ratih. Kalian berdua 'kan sama-sama masih cinta tho? Semoga Ki Agung hanya panas ati dan besok sudah baik lagi sama kamu, Gus," ujar Bu Rodiyah mengelus punggung putranya dengan penuh kasih.
Namun, Agus tidak yakin dengan apa yang dipikirkan oleh ibunya. "Bu, sepertinya Ki Agung serius dengan ucapannya. Ratih mau dikawinkan lagi sama Arman. Kalau belum ada calon suami pengganti Agus, mungkin aku ndak mikir serius. Ini beda ceritanya, Bu," jawab Agus menopang dahinya dengan telapak tangannya.
Dari arah pintu depan, Pak Slamet Binangun, ayah Agus pulang dari bepergian. Dia mendekati Agus dan ibunya sembari berkata, "Le, kok tumben ke rumah sore-sore? Ayo mandi, ada rapat dusun di balai desa. Kamu 'kan pengurus karang taruna tho, bareng Bapak ikut rapat."
Agus pun tidak berkata banyak hanya mengiyakan ajakan bapaknya itu lalu bergegas mandi dengan langkah gontai.
Sementara Pak Slamet menanyakan kepada istrinya perihal putranya yang tiba-tiba pulang ke rumah sendirian. Dia pun terkejut, tetapi dia mengerti kalau besannya itu sedari anaknya menikah dengan putrinya memang tidak menyukai Agus.
"Ya sudahlah, Bu. Kalau memang harus pegatan biar Agus tinggal bersama kita di rumah lagi. Sebenarnya Bapak juga tidak menyalahkan Agus. Anak kita itu rajin lho di sawahnya Ki Agung. Malah kasihan ... sudah kerja keras kayak romusha, masih tidak dihargai sama mertuanya," ujar Pak Slamet mengelus dada.
Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, Agus keluar ke ruang tengah tempat bapak dan ibunya sedang duduk berdua.
"Pak, Agus sudah siap. Mau berangkat kapan?"
"Makan dulu sebentar, Gus. Ibu sudah masakkan tadi sebelum maghrib," ajak Bu Rodiyah menggandeng tangan putranya ke meja makan.
Mereka bertiga pun makan bersama dan mengobrol biasa tanpa menyinggung masalah Agus yang disuruh bercerai oleh mertuanya itu.
Seusai makan malam, Pak Slamet pun berboncengan dengan Agus menuju ke balai desa untuk rapat dusun.
"Assalamualaikum!" sapa Pak Slamet yang dijawab berjamaah oleh para peserta rapat.
Pak Slamet dan Agus pun duduk di bangku yang masih kosong, berseberangan dengan Ki Agung Artosuwiryo yang juga datang ke rapat dusun. Mereka saling menatap dalam diam seolah ada jarak di antara mereka.
"Assalamualaikum. Baik, Bapak-bapak semuanya. Terima kasih sudah hadir di rapat Dusun Tapan malam ini. Saya selaku Kadus di sini ingin menyampaikan kalau dusun kita tercinta ini mendapat bantuan pembangunan dari pemerintah pusat untuk perbaikan jalan desa dan sistem pengairan sawah. Nah ... jumlahnya lumayan banyak, ada 500 juta dana dari pusat. Malam ini, kita akan merapatkan susunan panitia pembangunan dan pengelolaan dana yang cukup besar ini," tutur Pak Andi Limantoro, kepala Dusun Tapan.
Warga dusun pun berdiskusi dan mulai menyampaikan usulan mereka satu per satu siapa yang cocok menjadi ketua panitia pembangunan dusun itu. Nama Agus yang santer diusulkan karena selain dia ketua karang taruna yang aktif perannya di Dusun Tapan, dia juga menantu orang penting di sana.
Tiba-tiba di tengah rapat yang berjalan damai itu Ki Agung Artosuwiryo berseru, "Jangan Agus! Dia malah nanti korupsi. Mulai hari ini si Agus sudah bukan menantu saya, tadi sore sudah talak tiga sama Ratih, putri saya!"
Seisi balai desa sontak terperangah lalu senyap hingga bunyi koin terjatuh pun terdengar.
"Ki Agung, apa benar sudah dipertimbangkan masak-masak? Ratih kalau jadi janda padahal masih muda 'kan kasihan, Ki ...," ujar Pak Slamet berusaha menasihati besannya itu.
"HEHH SLAMET OJO KURANG AJAR KOEN!" (Hehh Slamet jangan kurang ajar kamu!) teriak Ki Agung menunjuk-nunjuk ayah Agus sambil melotot tidak terima dinasihati oleh besannya yang miskin itu.
"Agus itu hanya makan tidur ikut mertua, dia mana pernah menafkahi putriku, Ratih! Mending pegatan saja! Hei para warga Dusun Tapan, kalau Agus jadi ketua panitia pembangunan, awas duitnya dibawa kabur. Laki-laki miskin itu tidak punya duit pasti matanya ijo kalau lihat duit banyak!" ujar Ki Agung Artosuwiryo menuduhkan hal yang belum pasti terjadi ke menantunya itu.
Para warga justru merasa prihatin dan kasihan mendengar tuduhan Ki Agung pada Agus yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya.
Selama ini memang Agus selalu menerima semua sindiran mertuanya itu dengan lapang dada. Hanya saja semakin dibiarkan justru bukannya membaik malahan dirinya semakin tertindas.
"Le, ayo kita pulang saja daripada malu di sini," ajak Pak Slamet mengelus dada sedikit merasa sakit hati dengan segala ucapan besannya di depan umum tentang putranya itu.
Agus hanya menganggukkan kepalanya lalu berpamitan dengan para warga termasuk pak kadus. Dia tersenyum pahit seraya melangkah keluar dari balai desa menahan rasa bergejolak dalam dadanya. Air matanya sudah menggenang di pelupuk matanya. Dia menstarter sepeda motor lalu memboncengkan ayahnya pulang ke rumah.
"Sabar ya, Gus. Bapak prihatin sama nasib kamu. Morotuwo-mu itu ndak bener, Bapak paham perasaanmu," hibur Pak Slamet menepuk-nepuk bahu putranya dari belakang.
"Pak, Agus malu ketemu warga kampung sini lagi ... muka Agus mau ditaruh dimana. Memang selama ini, Agus masih belum bisa memberi Ratih uang belanja. Tapi, Agus kerja keras buat bapaknya Ratih selama ini di sawah. Semoga Bapak tidak menyalahkan Agus seperti Ki Agung," jawab Agus berlinang air mata.
"Ndak, Gus. Bapak paham posisimu. Sudah nanti kita bahas gimana baiknya di rumah. Apa kamu mau merantau saja ke ibukota? Banyak orang kampung kita yang sukses di sana. Berangkat kere pulang jadi orang kaya," usul Pak Slamet.
Agus pun menimbang-nimbang dalam hatinya perkataan ayahnya itu. Memang di Dusun Tapan ada yang urbanisasi ke Jakarta dan setelah beberapa tahun pulang ke Dusun Tapan membawa banyak harta benda. Dia pun menghela napas dan bertekad untuk mencoba peruntungannya dengan merantau ke Jakarta.
"Pak, Agus mau merantau saja ke Jakarta. Siapa tahu rezekinya Agus memang ada di kota. Nomornya Lik Supriyadi masih ada tho, Pak? Mungkin Agus bisa hubungi untuk minta pekerjaan ke Lik Supriyadi di Jakarta. Jadi buruh kasar dulu ndakpapa," ujar Agus dengan bersemangat.
"Bapak senang, Gus. Nanti kita bicarakan lagi dengan ibumu di rumah," sahut Pak Slamet.
Sepeda motor itu sudah dekat menuju rumah mereka.
Sesampainya di rumah, Pak Slamet mengajak istrinya untuk mengobrol tentang rencana putra tunggal mereka merantau ke ibu kota."Bu, sini ... Bu ...," panggil Pak Slamet ke ruang tengah.Bu Rodiyah muncul dari dalam kamar tidur dengan daster. Dia sebetulnya sudah bersiap-siap tidur karena memang sudah larut malam."Ada apa, Pak?" sahut Bu Rodiyah seraya duduk di sebelah suaminya itu.Pak Slamet mengusap wajahnya yang berkumis tebal itu sembari menghela napas. "Tadi di rapat dusun, mertuanya Agus bikin ulah. Ki Agung tidak setuju Agus jadi ketua panitia pembangunan dusun. Anak kita malah dituduh mau korupsi karena miskin, ndak punya duit. Begini lho, kalau Agus merantau ke Jakarta, gimana? Apa Ibu setuju?" ujarnya.Mendengar penuturan suaminya barusan, Bu Rodiyah hanya bisa nyebut dan mengelus dadanya. Dia pun berkata, "Gus, kalau hatimu sudah mantep, Ibu ridho ... kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Ibu pasti dukung.""Agus senang den
Seusai membayar makanannya, Agus pun melangkah meninggalkan warung makan itu untuk mencari kendaraan untuk mengantarkannya ke alamat Lik Supriyadi.Rencananya dia akan bekerja sebagai karyawan di salah satu gerai bakso dan mie ayam milik Lik Supriyadi untuk sementara sambil mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.Tanpa dia duga, seorang pria brewokan berkaca mata hitam menyerobot tas ranselnya lalu membawa kabur tas yang berisi baju dan uang dari ibunya."JAMBRET! JAMBRET!" teriak Agus meminta tolong untuk menghentikan pria brewokan tadi sembari mengejarnya.Namun, sayang sekali tas ranselnya dibawa kabur naik sepeda motor oleh komplotan penjambret itu hingga Agus kehilangan jejak dimana tas ranselnya itu. Hatinya mencelos, dia bingung harus bagaimana, semua barangnya ada di tas ransel yang dijambret itu.Beberapa orang yang bersimpati pada Agus pun mendekatinya. "Rumahnya dimana, Mas? Apa mau saya antar ke polsek buat bikin laporan?"
Anita Permatasari menghentikan mobilnya di depan lobi IGD lalu turun dari sedan Camry hitam itu. Dia segera berlari masuk ke meja pendaftaran pasien IGD."Sus, tolong ada pria tertabrak mobil. Dia di dalam mobil saya dan sekarang masih pingsan," ujar Anita dengan panik.Segera paramedis mendorong bed pasien beroda mendekati sisi penumpang mobil Camry hitam itu untuk menjemput pasien yang tak sadarkan diri itu. Paramedis itu berdua menggotong pemuda bertubuh besar itu lalu membaringkannya ke atas bed pasien beroda.Anita mengamati pria yang dia tabrak tadi masih memejamkan matanya di atas bed pasien didorong masuk ke salah satu bilik IGD oleh paramedis. Hatinya ketar-ketir menunggu pemeriksaan dokter sambil mondar-mandir di depan bilik IGD yang ditutup gorden itu.'Aduh, Mas Radit pasti ngamuk ini kalau sampai pria tadi kenapa-kenapa!' batin Anita gelisah."Ibu Anita, bisa masuk ke sini sebentar?" panggil dokter jaga IGD itu setelah membaca nama ide
Setelah menjalani perawatan 24 jam di rumah sakit. Agus pun dijemput pulang oleh Anita, bos barunya. Seharusnya dia yang menyetir karena pekerjaannya yang baru adalah menjadi sopir wanita cantik itu. Namun, Anita tidak mengizinkannya karena memang kondisi Agus belum pulih total.Usai membayar seluruh biaya perawatan dan obat resep yang harus ditebus di farmasi rumah sakit, Anita mendorong Agus di kursi roda menuju ke depan lobi dimana mobilnya terparkir di situ. Dia memang meminta izin pada sekuriti rumah sakit untuk memarkir sebentar mobilnya di situ dengan alasan menjemput pasien yang pulang rawat inap.Dengan penuh perhatian, wanita muda itu membantu Agus pindah dari kursi roda ke kursi samping pengemudi sedan Camry hitam yang dia kendarai."Mas Agus, apa kita langsung ke rumahku atau kemana dulu ini?" tanya Anita sambil melajukan perlahan mobilnya di jalan raya kota Jakarta yang padat kendaraan."Kalau boleh ... saya mau pamit dulu dengan teman sekampung saya di perumahan daerah b
Setelah beristirahat selama 5 hari penuh tanpa banyak beraktivitas, akhirnya pagi ini Agus mulai pekerjaannya sebagai karyawan Anita Permatasari. Dia mencuci mobil sedan Camry hitam yang biasa dipakai oleh wanita itu di depan garasi.Sebuah mobil Fortuner hitam dengan plat merah memasuki halaman rumah megah itu dan berhenti di halaman depan teras. Seorang pria muda berusia awal 30 an tahun berperawakan tinggi gagah berjalan ke arah garasi dan sekilas memandangi wajah Agus tanpa tersenyum.Pria itu langsung masuk ke dalam rumah seolah dia adalah pemilik rumah megah itu sendiri. Dalam hatinya, Agus menduga itu adalah Raditya Poncobuwono, suami majikannya. 'Lumayan ganteng,' batinnya menilai suami Anita.Agus meneruskan pekerjaannya mengelap kaca mobil sedan itu dengan kain kanebo hingga mengkilap tertimpa sinar matahari.Seorang pria menepuk punggungnya dari belakang, dia pun menoleh. "Kamu baru ya di sini, Mas?" tanya pria berkumis tebal berperawakan agak pendek dan kurus itu kepada A
Seusai mengambil jatah suami di rumah, Radit pun segera berangkat ke kantor Gubernur. Dia mengepalai Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tingkat ibu kota. Pekerjaannya memang sibuk setiap hari hingga sore dan kadang juga ada jam lembur di luar jam kantor bila terpaksa.Pagi ini ada kedatangan anak magang baru dari kampus yang akan bekerja di kantor yang dikepalai oleh Radit. "Permisi, Pak Radit. Selamat pagi," sapa salah seorang mahasiswi magang Kampus Taruna Gunadharma itu.Radit memandangi wajah manis mahasiswi-mahasiswi di hadapan meja kerjanya itu satu per satu, ada 5 orang di daftar absensi. Dia mengerutkan keningnya karena kurang satu yang menghadapnya. "Ini yang 'seekor' kemana? Hari pertama berani bolos?" cecarnya judes.Yulitha yang menjadi koordinator gelombang magang kampus itu pun menjawab, "Ke--kena macet di jalan, Pak. Mungkin sebentar lagi sampai. Mohon bersabar, Pak.""Wah, ini yang disuruh sabar kepala dinas ... kamu nggak salah?!" tuntut Radit dengan nada naik 1 ok
Anita melirik jam tangan Alexander Christie yang melingkari pergelangan tangannya yang ramping. Sepertinya hari sudah mulai siang, dia ada janji dengan pimpinan redaksi majalah Femina yang akan menggunakan butik miliknya sebagai wardrobe pemotretan edisi bulan ini.Dia pun berjalan ke belakang rumahnya dimana mess karyawan berada karena Anita ingin meminta Agus mengantarnya ke kantor redaksi majalah Femina di Jakarta Selatan. Dengan langkah kaki ringan yang anggun, Anita mendekati paviliun yang asri itu.Namun, sontak matanya membulat terperangah ketika melihat pemandangan tubuh pria yang hanya mengenakan celana pendek kain di teras mess karyawan. Otot-otot dada dan perut pria itu terpahat sempurna berlekuk dalam, berkulit sawo matang seperti roti sobek cokelat yang biasa Anita sering makan untuk camilan.Sementara si pria yang tak lain adalah Agus sedang berjemur sambil duduk bersandar santai di kursi kayu dengan posisi kaki mengangkang lebar. Dia memejamkan matanya dengan nyaman mer
Tanpa perlu disuruh, Agus membantu Anita membawakan gantungan baju yang cukup banyak. Total ada 10 baju yang dibawa oleh Agus di tangannya. "Berat nggak, Mas? Apa aku bantu bawain sebagian ya?" ucap Anita sungkan karena Agus membawakan semua baju-baju untuk pemotretan model majalah Femina itu sendirian."Nggak usah, Mbak. Saya bisa kok ...," jawab Agus sembari melempar senyum tipisnya.Mereka berjalan berdampingan menuju ke parkiran basement mall lalu naik ke mobil sedan Camry hitam itu.Siang itu cuaca begitu cerah tanpa awan mendung sedikitpun. Anita menyalakan radio mobilnya mencari siaran stasiun yang memutar lagu yang sedang populer. Akhirnya dia berhenti memindah saluran radio setelah mendapat lagu My Universe yang dinyanyikan Coldplay dan BTS."Mbak Anita suka lagu barat yang heboh begini ya?" tanya Agus sambil menyetir ke arah Kota Bunga di Cianjur, Jawa Barat.Anita menoleh ke sebelahnya lalu menjawab, "Nggak juga, Mas. Sukanya yang asik aja, lagu Indonesia juga suka kok kay