Share

Aduh, Apes!

Seusai membayar makanannya, Agus pun melangkah meninggalkan warung makan itu untuk mencari kendaraan untuk mengantarkannya ke alamat Lik Supriyadi. 

Rencananya dia akan bekerja sebagai karyawan di salah satu gerai bakso dan mie ayam milik Lik Supriyadi untuk sementara sambil mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan.

Tanpa dia duga, seorang pria brewokan berkaca mata hitam menyerobot tas ranselnya lalu membawa kabur tas yang berisi baju dan uang dari ibunya.

"JAMBRET! JAMBRET!"  teriak Agus meminta tolong untuk menghentikan pria brewokan tadi sembari mengejarnya.

Namun, sayang sekali tas ranselnya dibawa kabur naik sepeda motor oleh komplotan penjambret itu hingga Agus kehilangan jejak dimana tas ranselnya itu. Hatinya mencelos, dia bingung harus bagaimana, semua barangnya ada di tas ransel yang dijambret itu.

Beberapa orang yang bersimpati pada Agus pun mendekatinya. "Rumahnya dimana, Mas? Apa mau saya antar ke polsek buat bikin laporan?" ujar salah seorang pemuda di terminal itu.

"Rumah saya di Bojonegoro, Mas. Niatnya mau merantau ke Jakarta, saya baru saja sampai di sini ... ndak tahunya malah apes begini," jawab Agus risau.

"Walah ... turut prihatin ya, Mas. Apa ada sanak saudara di sini? Mungkin bisa saya antarkan ... gratis, ndak perlu ngongkosin," ujar pemuda lain yang mengerumuninya, berbaik hati.

"Makasih, Mas. Saya ada kenalan yang tinggal di belakang polsek Tanah Abang. Kalau boleh minta diantar ke sana, saya terima kasih sekali," jawab Agus lega sekalipun semua barang bawaannya telah raib.

Pemuda berkaca mata itu pun membonceng Agus ke alamat yang dia sebutkan. Mereka melewati gang-gang hingga sampai di sebuah rumah yang asri dan terbilang cukup megah di tengah kampung.

"Mas, ini sudah sampai di alamat yang Mas cari," ujar Toni, pemuda yang mengantarkan Agus mematikan mesin sepeda motornya di depan rumah itu.

"Oohh ... iya. Terima kasih banyak, Mas Toni. Maaf saya tidak bisa membalas apa-apa soalnya kejambretan tadi," ujar Agus sungkan.

"Sudah, Mas. Aku senang bisa menolong Mas Agus yang sedang kesusahan. Semoga survive di kota Jakarta ini, Mas. Pamit ya," jawab Toni lalu mengendarai kembali sepeda motornya meninggalkan Agus yang masih ragu-ragu di depan pintu gerbang rumah itu.

Akhirnya, Agus pun memencet bel rumah yang ada di tembok pintu gerbang setinggi 1,5 meter bercat hijau itu. 

Seorang pria berusia awal 40an tahun keluar dari teras rumah itu. "Eehh ... Agus tho iki?!" serunya.

"Iya, Lik Supriyadi. Iki Agus," jawab Agus lega.

"Ayo masuk dulu, Gus," ujar Lik Supriyadi membukakan pintu gerbang kecil untuk Agus masuk.

"Bapak Ibu sehat tho?" tanya Lik Supriyadi basa basi.

"Sehat, Lik. Aku yang apes tadi kejambretan di terminal," ujar Agus menceritakan kemalangannya.

"Walah! Memang di Jakarta, keras, Gus! Orang-orang di ibukota itu banyak yang kejam demi bertahan hidup. Lain kali yang lebih hati-hati ya," pesan Lik Supriyadi lalu mengantar Agus ke kamar tamu yang telah dia sediakan.

"Ini kamarmu, Gus. Besok bisa coba ke warung buat bantu-bantu anak buahku. Kalau sudah dapat gawean sing genah, (pekerjaan yang baik) kamu boleh pindah," ujar Lik Supriyadi sembari membuka lemari baju yang terisi beberapa potong baju biasa. "Bajunya dipakai saja, Gus, seadanya ...," lanjutnya.

"Suwon, Lik!" (Terima kasih, Lik!) jawab Agus.

Lik Supriyadi pun meninggalkan Agus di kamar tamu untuk beristirahat. 

Pagi hari berikutnya, Agus berangkat ke warung bakso oleh Lik Supriyadi dan dikenalkan ke anak buahnya yang menjaga warung bakso itu.

"Ini Agus, adikku dari kampung. Tolong diajari kerjaan di warung ya, Antok, Badrun, Edi," pesan Lik Supriyadi sebelum meninggalkan Agus di warung bakso cabang utama miliknya yang ada di  daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Agus pun bersalaman dengan ketiga karyawan warung bakso itu. Mereka pun segera memulai kesibukan pekerjaannya masing-masing. Antok mengajari Agus cara menyiapkan semangkuk bakso mie khas warung itu.

"Wah ... bakat, Mas! Enak ini," puji Antok setelah mencicipi semangkuk bakso mie yang disiapkan oleh Agus yang dia beri contoh tadi.

Agus pun tertawa cengengesan mendapat pujian dari Antok. "Ahh bisa aja, kamu Tok!" balasnya.

"Tok, micin, gula sama garamnya habis!" seru Edi dari dalam dapur.

"Aku saja yang belikan, Tok. Dimana warungnya?" ujar Agus menawarkan bantuan.

"Mas Agus jalan ke utara 50 meter lalu nyebrang jalan, di situ ada warung kelontong komplit. Ini uangnya, Mas," ujar Antok seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan kepada Agus.

Agus pun berjalan kaki menuju ke warung kelontong yang dimaksud oleh Antok, dia menyelesaikan belanjanya dengan cepat lalu bergegas kembali ke warung bakso.

Namun, ketika dia akan menyebrang jalan raya itu sebuah mobil sedan Camry hitam melaju cepat dan ....

"Ciiiiiitttttt!" Suara rem yang diinjak dalam-dalam itu menggasak aspal jalan raya.

"BRUUKKK!" 

Mobil mewah berplat merah itu menubruk tubuh Agus hingga terkapar di jalan beraspal panas itu. Pelipisnya bocor terbentur permukaan kasar yang keras itu.

Warga di sekitar kejadian tabrakan itu mengetok-ngetok kaca mobil mewah itu menyuruh pengemudinya turun. "Turun! Turun! Jangan kabur, itu korbannya ditolong!" desak para warga.

Seorang wanita muda yang berkaca mata hitam berpenampilan modis dengan midi dress warna putih keluar dari mobil Camry hitam itu.

Beberapa warga terperangah melihat penampilan penabrak pemuda itu yang seperti artis. Namun, mereka tetap mendesak wanita itu untuk membawa Agus ke rumah sakit.

"Mbak, tanggungjawab dong! Kasihan itu Masnya berdarah-darah pingsan," tuntut warga yang melihat tabrakan tadi.

"Tenang ... tenang ... pasti saya tolong. Apa ada yang bisa bantu saya mengangkat mas yang pingsan itu?" jawab wanita cantik itu.

"Ayo saya angkatkan ke mobil, Mbak!" ujar salah seorang pemuda lalu mencoba membopong Agus, tapi ternyata badannya berat karena tinggi kekar.

"Woiii ... bantuin dong, berat si Mas ini!" teriaknya ke warga yang hanya menonton.

Dua orang bapak-bapak yang bertubuh agak besar membantu pemuda tadi mengangkat Agus yang masih pingsan. Gula dan garam yang dibeli Agus tadi tercecer di jalan beraspal. Mereka meninggalkan barang belanjaan Agus yang tak seberapa berharga itu.

Wanita muda itu pun berterima kasih pada warga yang membantunya mengangkat Agus. Kemudian dia mengendarai mobil sedan Camry hitam itu ke rumah sakit. Dari kursinya, wanita itu melirik pemuda yang pelipisnya berdarah segar itu yang terduduk tak sadarkan diri di kursi sampingnya.

"Duh ... semoga nggak kenapa-kenapa deh! Tadi lumayan kenceng aku nabraknya. Sial banget aku hari ini!" gumam wanita itu dengan cemas bercampur kesal. Seharusnya dia menghadiri acara gathering dengan teman alumni kampus Trisakti di Mal dan itu pun sudah terlambat.

"Mas ... Mas ...," panggil wanita itu sembari menggoyang-goyangkan bahu Agus yang masih kehilangan kesadarannya. 

Dia pun mendengkus kesal dan berdecak seraya melajukan lagi mobilnya usai berhenti di lampu merah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status