Share

Sebuah Awal Baru

Anita Permatasari menghentikan mobilnya di depan lobi IGD lalu turun dari sedan Camry hitam itu. Dia segera berlari masuk ke meja pendaftaran pasien IGD.

"Sus, tolong ada pria tertabrak mobil. Dia di dalam mobil saya dan sekarang masih pingsan," ujar Anita dengan panik.

Segera paramedis mendorong bed pasien beroda mendekati sisi penumpang mobil Camry hitam itu untuk menjemput pasien yang tak sadarkan diri itu. Paramedis itu berdua menggotong pemuda bertubuh besar itu lalu membaringkannya ke atas bed pasien beroda.

Anita mengamati pria yang dia tabrak tadi masih memejamkan matanya di atas bed pasien didorong masuk ke salah satu bilik IGD oleh paramedis. Hatinya ketar-ketir menunggu pemeriksaan dokter sambil mondar-mandir di depan bilik IGD yang ditutup gorden itu.

'Aduh, Mas Radit pasti ngamuk ini kalau sampai pria tadi kenapa-kenapa!' batin Anita gelisah.

"Ibu Anita, bisa masuk ke sini sebentar?" panggil dokter jaga IGD itu setelah membaca nama identitas pengirim pasien di berkas pasien IGD.

Wanita itu tergopoh-gopoh masuk ke bilik IGD. "Iya, Dok. Bagaimana kondisi Mas itu?" tanya Anita meremas-remas jemari tangannya sendiri dengan gelisah.

"Sepertinya kami harus melakukan test MRI untuk melihat kondisi cedera di kepala dan tulangnya juga. Apa Anda keluarganya? Kami butuh tanda tangan untuk izin dan membayar biaya administrasi test MRI itu," ujar Dokter Jamil Harahap.

"Saya akan tanggung semua biayanya, Dok. Jangan kuatir, yang penting Mas ini selamat. Kebetulan saya tidak kenal sanak keluarganya, kami hanya ketemu di jalan tadi," jawab Anita berbohong, padahal dialah yang justru menabrak pria itu.

Dokter Jamil tidak merasa curiga, dia hanya butuh izin dan pelunasan biaya pengobatan pasien saja. "Kalau begitu tolong segera diurus semuanya di bagian administrasi meja pendaftaran pasien, Bu Anita," ujarnya.

"Baik, Dok," sahut Anita lalu bergegas menyelesaikan semua proses administrasi agar masalah ini cepat selesai. Dia kebingungan karena pria yang dia tabrak tak kunjung sadar juga.

Setelah semua persyaratan administrasi rumah sakit dipenuhi, Agus pun didorong menuju ke Lab. MRI untuk menjalani pengecekan sekujur tubuhnya.

Tubuh Agus dimasukkan ke dalam mesin MRI yang berbentuk seperti tabung dalam posisi horisontal untuk dianalisa gangguannya.

Setelah hampir 30 menit, hasil MRI pun keluar. Ternyata Agus mengalami gegar otak dan memar di bagian kaki kanan kiri saja akibat benturan dengan benda keras. Dokter Jamil menyampaikan hasil pemeriksaan MRI itu kepada Anita. 

Tentu saja wanita itu paham benturan dengan benda keras yang dimaksud oleh Dokter Jamil itu apa, tabrakan mobilnya tadi. Sekalipun dia sudah menginjak rem mobilnya dalam-dalam tadi sebelum menabrak pria itu, tapi pasti masih kencang rasanya karena suara benturannya pun terdengar keras hingga ke dalam mobilnya.

Seusai pemeriksaan di Lab. MRI, Agus pun dipindahkan ke ruang perawatan sembari menunggu dia siuman. Selang infus dipasang oleh perawat di nadi tangannya. Sementara Anita terpaksa duduk dengan sabar menemani pria yang tadi dia tabrak itu di kursi samping ranjang pasien.

Sesekali dia mengamati wajah pria yang terbaring di ranjang pasien itu. 'Ganteng juga si mas ini, badannya gede banget mirip petinju aja,' batinnya. 

Wajah Agus memang terbilang rupawan, sekalipun dia hanya berasal dari kampung, tetapi hidungnya mancung dengan tulang wajah yang tegas. Sepasang alis serta bulu matanya lebat dan berwarna hitam pekat. Bibirnya agak tebal merah delima. Sedangkan, tubuhnya tinggi besar dengan otot-otot menyembul tanpa lemak.

Sambil menghabiskan waktu yang membosankan di ruang perawatan pasien itu, Anita mengirimkan pesan permintaan maaf kepada teman-temannya di grup chat alumni Trisakti angkatan 2019. 

Dulu selepas wisuda fakultas ekonomi, dia langsung menikah dengan suaminya yang sekarang menjadi pejabat di kantor pemerintahan. Jadi untuk mengisi waktu luangnya, dia tidak berkarier di kantor, Anita hanya membuka sebuah butik baju dan asesoris wanita di sebuah mal di Jakarta Pusat.

Tiba-tiba Agus bergerak-gerak di atas ranjang pasien dan mulai membuka kelopak matanya perlahan karena lampu kamar itu silau. Dengan segera Anita berlari keluar kamar menuju ke meja perawat jaga untuk meminta dokter agar memeriksa Agus yang sudah sadar.

Perawat jaga itu segera menghubungi Dokter Jamil Harahap untuk datang ke kamar perawatan di lantai 2 itu. Kemudian dia bergegas bersama Anita kembali ke kamar tempat Agus dirawat.

"Gimana, Mas Dony? Sudah sadar?" ucap perawat itu kepada Agus.

Tentu saja Agus bingung, siapa Dony itu, sementara pria di ruangan itu hanya dia. "Eehh ... ma--maaf, Dony siapa ya, Sus? Saya Agus," ujarnya.

Anita sontak menutup mulutnya dengan telapak tangannya untuk menahan tawanya, 'Dony' itu nama pemberiannya karena tidak tahu nama si mas yang dia tabrak. 

"Maaf, Sus. Nama mas ini Agus, kami memang baru berkenalan tadi, jadi ... saya salah ingat," kelit Anita dengan cerdas sambil tersenyum penuh arti menatap Agus.

Tangan Agus memijat pelipisnya dan mengaduh ketika menyentuh luka yang ada di situ. Dia pun berusaha mengingat-ingat kejadian sebelumnya sambil memandangi wajah wanita muda yang senyum-senyum melirik kepadanya sambil berbicara dengan perawat.

'Ahh ... sepertinya si mbak ini yang ngebut naik sedan nubruk aku tadi di jalan,' batin Agus menduga-duga setelah teringat kejadian apesnya pagi tadi saat akan menyebrang jalan raya.

Akhirnya Dokter Jamil pun sampai di kamar perawatan Agus. Dia mendekati ranjang pasien lalu bertanya, "Gimana Mas, mana yang terasa sakit?"

"Kepala saya pusing seperti muter-muter, Dok. Ini kepala saya bocor ya? Perih bener ... kaki juga pegel banget," jawab Agus sesuai apa yang dia rasakan, badannya sakit semua.

Anita merasa sangat bersalah mendengar ucapan Agus barusan. Dia bertekad akan memberi ganti rugi secara materi berapapun agar pria itu tidak memperpanjang kecelakaan tadi ke jalur hukum.

"Mas mengalami gegar otak ringan, tenang saja karena tidak berbahaya. Nanti minum obat dan banyak istirahat dulu. Kalau kakinya memang memar cukup parah, untungnya tulangnya aman, tidak ada retak atau patah. Mungkin bisa diolesi salep Thrombofob rutin selama 10 hari untuk mengobati memarnya. Ada beberapa resep obat yang harus ditebus di farmasi. Kalau mau pulang ke rumah sudah boleh, tapi saran saya untuk jaga-jaga bisa observasi 24 jam dulu," tutur Dokter Jamil dengan profesional sesuai hasil uji MRI yang dia analisa.

Dengan cemas Agus memikirkan biaya rumah sakit, dia pun terdiam belum bisa memutuskan harus bagaimana.

Namun, Anita segera menjawab, "Baik, Dokter Jamil. Lebih baik sesuai saran Anda, Mas Agus diobservasi dulu di sini 24 jam. Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, Bu Anita," sahut Dokter Jamil.

Kemudian dokter dan perawat itu pun meninggalkan kamar perawatan Agus hingga tersisa dua orang itu saja.

"Maaf, kalau boleh tahu ... Anda ini siapa ya?" tanya Agus dengan sopan memandangi wanita muda yang belum pernah dia temui sebelumnya.

Anita segera mengulurkan tangannya kepada Agus seraya menjawab, "Perkenalkan Mas Agus, namaku Anita. Beribu maaf, yang menabrak Mas tadi di jalan itu aku. Tolong jangan dilaporkan ke polisi, kujamin semua ganti rugi secara materi akan Mas Agus dapatkan."

Mendengar penuturan Anita, pria itu ber-ooh lalu terdiam. Agus memang jenis pria yang 'nrimo' sejak dulu, tidak pernah menuntut ini itu ke orang lain. 

"Mas, rumahnya dimana? Besok kalau sudah boleh pulang dari rumah sakit kuantarkan ke rumah," ujar Anita dengan perhatian sembari duduk di kursi sebelah ranjang pasien.

"Rumahnya jauh, Mbak. Ada di Bojonegoro, Jawa Timur. Saya baru sampai kemarin di Jakarta, numpang di rumah tetangga kampung yang punya usaha di Tanah Abang," jawab Agus dengan sedikit malu.

'Wah orang kampung dong! Jangan-jangan dia lagi cari kerjaan,' batin Anita.

"Eehh ... Mas, kalau nyetir mobil apa bisa? Punya SIM A?" tanya Anita penasaran. Dia sedang membutuhkan sopir pribadi karena Mang Dirga, sopir pribadinya berhenti bekerja, pria itu pulang kampung ke Sumedang untuk menikah.

"Bisa, Mbak, saya ada SIM A masih aktif. Apa Mbak Anita sedang membutuhkan sopir?" jawabnya penuh harap.

"Iya nih, Mas Agus. Mungkin Mas minat jadi sopir pribadiku, nanti kugaji 3 juta sebulan. Gimana?" ujar Anita.

"Saya mau, Mbak. Kapan bisa mulai kerja?" jawab Agus bersemangat.

Anita pun tertawa geli melihat semangat Agus. Dia pun berkata, "Yang penting sembuh dulu ya, Mas. Besok pindah ke mess karyawan aja di rumahku biar bisa ngantar aku kapan aja dibutuhkan."

"Siap, Mbak. Makasih ya kerjaannya," sahut Agus dengan senyum cerah di wajahnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sastrowagino saputro
semua Tuhan yg atur
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status