Share

Mertua, Awal Pembawa Petaka
Mertua, Awal Pembawa Petaka
Penulis: Andrianisilvia

Perselingkuhan Yang Terbongkar

Mertua, Awal Pembawa Petaka

Perselingkuhan yang terbongkar

Bab 1

Dahiku mengernyit saat melihat pesan masuk dari Risma–teman kuliahku–soalnya tidak biasanya ia mengirimkan pesan, Risma selalu menelpon atau langsung video call jika ada sesuatu.

[Selamat, ya, atas kehamilan lo. Nanti lah, balik dari Malaysia gue baru ke rumah lo.]

Tidak mengerti dengan maksud perkataan Risma, atau mungkin ia salah mengirimkan pesan? Aku masih menunggu unduhan foto yang dikirim oleh Risma. Mata ini seketika membelalak melihat tangkapan layar dari status W******p ibu mertua yang dikirimkan Risma. Di foto itu terlihat jelas wajah Mas Lukman–suamiku–yang menempelkan telinganya di perut buncit seorang wanita. Wajah lelaki yang sudah empat tahun menjadi suamiku itu terlihat bahagia dengan senyum yang merekah.

[Alhamdulillah acara tujuh bulanan lancar. Minta doanya dari semua agar persalinan menantuku di lancarkan.]

Mata ini langsung memanas setelah membaca bubuhan caption di bawah foto. Ibu mertua hanya memiliki dua anak, Mas Lukman dan adik perempuannya yang masih kuliah. Tidak ingin menduga-duga aku langsung mengirimkan pesan balasan pada Risma, menanyakan perihal ini padanya.

[Lo, dapet dari mana foto ini, Ris?] Terkirim.

[Ibu Mertua lo ‘kan temen arisannya Nyokap gue. Masa lo lupa!] Pesan balasan dari Risma.

Saat mencari di pembaruan status, tidak ada kutemukan status ibu mertua. Bahkan tidak pernah sekalipun aku melihat status W******p ibu mertua. Apa ibu mertua sengaja menyembunyikan statusnya dari kontak milikku? Mencoba langsung menghubungi Mas Lukman tapi tidak diangkat, menghubungi ibu mertua juga tidak bisa. Tidak habis akal, aku mencari kontak satpam komplek yang kukenal. Telepon itu langsung tersambung.

“Pak, ini saya Kanaya. Apa benar di rumah Ibu mertua saya ada acara?” tanyaku to the point.

“Loh … bukannya itu acaranya Ibu Kanaya, ya? acara tujuh bulanan,” jawabnya dari seberang telepon.

Rasanya dunia ini runtuh seketika, lututku lemas tidak bisa menopang bobot tubuhku sendiri.

'Apa benar suamiku telah menikah lagi dengan wanita lain? Apa Mas Lukman melakukan ini karena aku tidak kunjung hamil? Sedangkal itukah rasa cinta dan sayangmu padaku, Mas?'

Jika saja jarak dari Kalimantan ke Surabaya bisa kutempuh beberapa menit, sudah pasti aku langsung mendatangi rumah ibu mertua untuk memastikannya sendiri. Sayang, pekerjaan menahanku di tempat ini. Hampir satu bulan aku jauh dari suami dan keluargaku.

'Ya Allah … cobaan apalagi ini? Tidak cukupkah Engkau mengambil kedua orangtuaku?'

***

Menarik nafas dalam dan mengeluarkannya perlahan, mencoba untuk tenang meskipun sebenarnya hati ini luluh lantak. Menenangkan diri sendiri, hanya itu yang bisa dilakukan saat ini. Menyeret langkah untuk masuk ke dalam ruangan, tempat dimana atasanku berada. Memberikan semua berkas yang harus ditandatangani, bekerja sebagai seorang asisten pribadi tidaklah mudah, apalagi asisten seorang CEO. Harus mengikuti kemanapun beliau pergi.

"Kalau kamu masih pasang wajah asem itu, jangan salahkan saya kalau gaji kamu bulan ini dipotong!" ujarnya dengan tegas.

"Jangan dong, Bu Margaretha yang baik hati. Cicilan mobil saya gimana nanti." Aku memelas di hadapan wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda di usianya yang menginjak kepala lima.

Saat diluar kantor mungkin orang tidak akan mengira jika aku dan Bu Margaretha adalah bawahan dan atasan. Kami sangat dekat, Bu Margaretha sebenarnya tidak seperti yang orang bilang. Mereka mengatakan jika Bu Margaretha sangat tegas dan kejam. Tapi nyatanya tidak seperti itu, mungkin iya kalau dilihat sekilas dari wajah. Sepuluh tahun aku mengabdi menjadi asisten pribadinya, mengikuti kemanapun beliau pergi. Bahkan ke luar negeri sekalipun. Itu kenapa aku jarang berada di rumah.

"Apa jadwal saya selanjutnya?" Bu Margaretha bertanya kembali, jemarinya dengan lincah menandatangani satu per satu berkas di atas meja.

"Tidak ada, Bu. Besok jam 9 pagi baru ada meeting dengan investor," jawabku.

Mencoba menetralkan perasaan dan bekerja secara profesional. Tidak ingin membuat beliau kecewa karena aku melibatkan personal di waktu kerja. Jam 8 malam aku kembali ke hotel tempatku menginap. Menahan diri untuk tidak menghubungi Mas Lukman, biarkan saja mereka menghabiskan sisa waktu mereka sebelum kepulanganku. Raca cinta, tulus dan kasih sayang yang kuberikan. Apa pantas aku mendapatkan pengkhianatan sebagai balasannya? Aku menertawakan diri sendiri atas apa yang terjadi.

Pepatah memang benar, lelaki diuji saat ia memiliki segalanya. Baru saja Mas Lukman berada di puncak kesuksesannya. Ia tidak tahu jika apa yang ia perbuat padaku akan berdampak pada karirnya. Lusa baru aku bisa pulang, itupun kalau Bu Margaretha tidak memintaku untuk menemaninya berlibur ke kampung halamannya di Sumatera. Tidak terasa cairan bening itu mengalir membasahi pipi, hati ini seperti diremas kuat saat kilasan itu melintas di benak.

***

Menatap nanar rumah gaya Eropa yang terlihat sepi, dalam rumah besar ini hanya dihuni aku dan Mas Lukman. Bukan hanya Mas Lukman, aku saja sangat menginginkan kehadiran buah hati. Tapi apa daya, aku hanya manusia. Tidak semua yang kuinginkan bisa kudapatkan. Menyeret koper yang baru saja diturunkan oleh supir dari dalam bagasi. Melangkah dengan berat ke arah pintu. Merogoh kunci yang tersimpan di dalam tas, baru saja tanganku memegang kunci. Pintu sudah terbuka menampakkan Mas Lukman. Wajahnya terlihat kaget.

"Loh … Sayang, kok pulang gak bilang-bilang sih? Mas 'kan bisa jemput di bandara," serunya.

"Aku mau kasih kejutan buat kamu, Mas," jawabku semanis mungkin.

Mencium tangannya dengan takzim lalu masuk ke dalam rumah. Netra ini menyapu seluruh sudut, tapi tidak melihat kejanggalan. Apa Mas Lukman hanya sendiri di rumah? Kemana istrinya yang sedang hamil itu?

"Mas, Ibu gak kesini? Biasanya kalau hari libur Ibu suka main kesini." Aku menatap Mas Lukman yang menyimpan koper di dekat lemari.

"Mungkin lagi jalan-jalan sama Lana."

Dahiku langsung mengernyit. "Lana udah libur kuliah 'kah? Minggu kemarin dia telpon aku, bilang katanya libur kuliah gak bisa pulang."

Mas Lukman menjadi salah tingkah mendengar penuturanku. Lana–adik iparku, kuliah di Jakarta. Pulang ke Surabaya saat ada libur panjang saja. Kemarin ia memang sempat menghubungiku, mengatakan tidak bisa pulang. Tidak ingin mendengar dusta dari mulutnya, aku memilih untuk ke kamar mandi. Membersihkan diri sembari menunggu makanan yang tadi kupesan datang.

***

Menjatuhkan bobot tubuh di sebelah Mas Lukman yang terlihat fokus dengan laptop di depannya.

"Mas, coba lihat ini deh!" seruku membuat lelaki berlesung pipi itu langsung menoleh.

"Lihat apa?" tanyanya. 

Ia mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku. Netra sendunya menatap pas ke dalam netraku. Senyum tipis tercetak di wajah manisnya, yang biasa sukses membuatku terpana. Tapi sekarang tidak! Aku malah merasa jijik melihatnya.

"Apa ini?!" tanyaku. Memperlihatkan layar ponsel dengan foto tangkapan layar yang dikirimkan Risma waktu itu.

Matanya terbelalak, ia kembali menatap ke arahku. "Sayang … i–ini …."

Aku masih terdiam, menunggu ia menyelesaikan perkataannya yang kini terhenti. Aku ingin tahu, apakah ia akan mengakuinya atau tidak.

"Maafkan aku … aku melakukan itu karena ingin punya anak. Aku akan berpisah dengannya setelah melahirkan anakku, kita akan merawatnya sama-sama nanti."

Aku tersenyum sinis mendengar semua pengakuannya, gampang sekali ia bicara seperti itu. Aku tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya.

"Kamu pikir aku tidak ingin punya anak, Mas?! Aku juga ingin! Wanita mana yang tidak ingin punya anak?! Kamu menjadi saksi, bagaimana aku menjalankan semua prosedur dari dokter untuk program hamil. Bahkan … sampai rela meminum ramuan yang sangat pahit itu setiap hari. Rutin olahraga di sela kesibukanku. Semua cara sudah dilakukan, medis maupun non medis. Kamu anggap apa perjuanganku itu?Jika memang kamu mau punya anak, kita bisa bicara baik-baik, Mas. Kita bisa melakukan program bayi tabung, itu pilihan terakhir. Kenapa kamu malah mencari wanita lain untuk mengandung darah dagingmu?!" balasku dengan sengit, menatap tajam ke arahnya.

Dada ini naik turun setelah mengeluarkan semua amarah yang sempat terpendam. Mas Lukman menunduk, tidak berani menatap ke arahku.

"Mas akui, Mas memang salah. Maafkan Mas, Sayang! Lagi pula, kalau program bayi tabung. Mas gak punya biaya un–" Tangan itu langsung kutepis sebelum menyentuh pundakku.

"Biaya? Mas, uang tabungan kita kalau disatukan itu cukup untuk program bayi tabung. Ah … sudahlah! Percuma ngomong sama kamu, selalu merasa benar, gak ada gunanya!" ujarku memotong perkataannya.

"Bawa wanita itu ke hadapanku, besok!" Aku melirik Mas Lukman yang masih bungkam. Melangkah menuju kamar meninggalkannya.

Bersambung ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Buang kelaut aja, percuma bertahan akan lebih sakit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status