Share

Pelakor Licik tapi Istri Sah Lebih Cerdik

Mertua, Awal Pembawa Petaka

Pelakor licik Istri sah lebih cerdik

Bab 2

Aku menatap bergantian dua sejoli di hadapanku. Dari awal masuk wanita itu menunduk, tidak berani menatapku.

"Kau tahu siapa aku?" tanyaku pada wanita yang tidak kutahu namanya itu.

Ia hanya mengangguk kecil. Aku memperhatikannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ku akui wanita ini memang memiliki paras untuk memikat seorang lelaki. Bahkan lelaki lajang sekalipun, tapi kenapa ia memilih lelaki beristri?

"Apa alasanmu bersedia dipinang oleh lelaki beristri?" Aku kembali bertanya dan menatapnya dengan lekat. Sedangkan Mas Lukman hanya diam tidak berani buka suara.

"Aku … aku, mencintai Mas Lukman," jawabnya.

Aku langsung tertawa seketika, membuat mereka sontak melihat ke arahku. "Apa kau tidak memikirkan perasaanku sebelum menerima pinangan Mas Lukman?"

"Aku tahu perasaan Mbak seperti apa, Mbak pasti sakit hati menerima semua ini. Tapi, kami saling mencintai, Mbak. Tolong jangan pisahkan kami." Ia mengiba.

Aku mencoba menahan tubuhnya yang akan berlutut di kakiku. Aku tidak suka melihat orang memohon dan berlutut kepadaku. Wanita itu bilang ia dan Mas Lukman saling mencintai? Kenapa berbeda sekali dengan pengakuan Mas Lukman. Aku masih mencari tahu kebenarannya yang mana. Tadi malam aku sempat bertanya tentang perasaan Mas Lukman pada wanita ini. Mas Lukman mengatakan ia tidak mencintai wanita yang kini mengandung anaknya. Ia hanya menginginkan anaknya saja. Bukankah terdengar kejam? Habis manis sepah dibuang.

"Tidak! Kau tidak akan pernah tahu apa yang kurasakan sebelum kau mengalaminya sendiri. Apa perlu aku menyuruh Mas Lukman menikah lagi, agar kau juga ikut merasakan apa yang kurasakan?!" teriakku.

Mata wanita itu terbelalak, ia menoleh menatap Mas Lukman.

"Sayang–"

"Aku belum memintamu untuk bicara, sabar sedikit!" Aku memotong perkataan Mas Lukman.

Aku meraih cangkir berisi teh hijau dan menyesapnya pelan. Aku tidak ingin menghadapi mereka dengan penuh emosi.

"Jumi!" Aku berteriak memanggil asisten rumah tangga yang dulu pernah bekerja padaku. Ia sempat berhenti satu tahun karena hamil besar dan melahirkan.

"Iya, Bu." Ia berdiri di hadapanku.

"Saya sama Mas Lukman mau pergi ke kantor, tolong kamu jaga dia. Eh … siapa namamu?" Aku menunjuknya menggunakan dagu.

"Indah."

Namamu Indah tapi hatimu busuk! Aku hanya membatin sambil mengumpat dalam hati.

"Kalau Ibu Mertua datang, jangan buka pagarnya. Mengerti?!" tegasku. Jumi mengangguk tanda mengerti.

"Ayo, Mas. Jangan sampai kamu telat, seorang pimpinan itu harus disiplin!" seruku sambil berjalan melewati Indah yang masih berdiri mematung.

Pulang dari kantor baru akan aku lanjutkan semua ini. Sengaja aku berangkat satu mobil bersama Mas Lukman. Aku yang akan membawa mobil ini dan menjemputnya saat pulang kerja. Selama perjalanan, tidak ada satupun dari kita yang membuka percakapan.

***

Pekerjaan yang menumpuk membuatku tidak sempat untuk istirahat. Bahkan makan siang pun aku lakukan di ruang kerja. Notifikasi pesan masuk dari aplikasi hijau milikku.

[Sayang, kartu kredit sama kartu debit punya Mas kamu bawa, ya?]

Aku tersenyum simpul saat membaca pesan masuk dari Mas Lukman.

[Iya, kita harus meminimalisir pengeluaran. Aku pengen ikut program bayi tabung! Aku cuman gak mau kamu terlalu menghamburkan uang.]

Sebelum Mas Lukman bangun, aku memang mengambil semua kartu dan uang di dompetnya. Hanya menyisakan dua lembar uang seratus ribu. Sebenarnya Mas Lukman bukanlah tipikal suami pelit. Semua gaji yang ia terima akan otomatis masuk ke rekeningku. Biasanya ia hanya menyisakan untuk pegangan saja. Tapi memang dasarnya diriku terlalu naif, tidak curiga saat Mas Lukman memutuskan untuk tidak mengirimkan uang gajinya ke rekeningku karena ia ingin merambah bisnis baru. Bisnis yang sampai saat ini saja aku tidak pernah tahu.

Dari lima puluh juta yang biasa diterima, Mas Lukman memangkasnya menjadi sepuluh juta. Awalnya aku tidak mempermasalahkan karena memang ikut juga bekerja. Tidak memiliki tanggung jawab lain karena orang tuaku sudah meninggal dan aku tidak memiliki adik. Malangnya nasibku, bahkan tidak pernah melihat kakek ataupun nenekku. Kedua orang tuaku menikah tanpa restu, karena mereka berbeda keyakinan. Mata ini mulai berembun kala mengingat mereka kembali.

Kamu memang sendiri, Kanaya. Tapi jangan sampai karena kesendirian ini kamu diinjak-injak! Hanya bisa membatin sembari menyuapkan makanan yang entah kenapa rasanya kini menjadi hambar. Lelah bekerja seharian, tubuh ini rasanya remuk. Dulu Mas Lukman pernah memintaku untuk tidak bekerja, tapi aku menolak. Tidak ingin meratapi kesendirian karena merindukan kehadiran seorang anak.

Saat sampai di rumah, aku bisa mendengar suara televisi dari ruang tengah. Ternyata wanita itu sedang duduk santai bersama cemilan di pangkuannya. Enak sekali hidupnya itu, seperti tidak ada beban setelah menikah dengan suami beristri Belum sampai pintu rumah tertutup, ponselku berdering. Nama Mas Lukman terpampang disana. Tanpa pikir panjang aku langsung menerima panggilan itu.

"Kenapa, Mas?" 

"Sayang, kamu lupa? Katanya pulang kantor mau jemput Mas. Dari tadi Mas udah nungguin loh," serunya dari seberang telepon.

"Aku lupa, Mas. Ya udah, kamu naik taxi aja. Aku males kalau harus jemput kesana, capek!"

Tanpa menunggu jawabannya, langsung aku menutup telepon itu dan beralih menatap Indah.

"Jangan lupa cemilannya dihabiskan! Bereskan juga remahan yang berserakan di karpet, orang numpang harus tahu diri!" Aku berseru sambil berjalan saat melewati Indah tanpa menatap wanita itu.

Samar-samar aku bisa mendengar ia mengumpat, aku tidak peduli. Dia pikir aku akan membiarkannya menikmati semua yang ada di rumahku? Tentu tidak.

***

Baru saja mata ini akan terpejam, suara notifikasi pesan masuk dari ponselku membuat diri ini dengan terpaksa harus bangkit kembali. Meraih benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Mengernyit heran saat melihat nama Jumi yang tertera di sana, lekas aku langsung membuka pesan yang berisi video itu.

“Mas, aku mau dibeliin rumah, dong. Aku gak mau tinggal disini, istri kamu itu tega banget nyuruh aku yang lagi hamil gini buat beres-beres, dia pikir aku ini pembantu apa? Aku juga ‘kan istri kamu, Mas. Kalau terjadi apa-apa sama anak kita gimana? Yang paling aku takutin itu dia bakalan celakain aku sama anak kita!” Indah terlihat merajuk di depan Mas Lukman.

Aku tersenyum mengejek saat melihat Indah yang tengah merangkul lengan Mas Lukman dalam video itu. Licik juga wanita itu! Kita lihat saja, siapa yang akan Mas Lukman pilih. Aku, atau wanita bernama Indah tapi berhati busuk itu! Aku masih menatap layar datar. Melihat Mas Lukman yang menepis kasar tangan Indah yang melingkar di lengan suamiku.

“Cukup! Kamu gak usah jelek-jelekin, Kanaya. Istriku gak sepicik itu, kamu tahu?!” 

Mas Lukman membentak Indah lalu berjalan menaiki anak tangga. Dengan cepat, aku mematikan ponsel dan menyimpan kembali di tempatnya dan pura-pura tertidur. Sebelum Mas Lukman datang.

Bersambung ….

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fahmi
Istriku ga sepicik itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status