Share

Akal Bulus Mertua dan Pelakor

Mertua, Awal Pembawa Petaka

Akal bulus Mertua dan Pelakor

Bab 3

Suara pintu kamar terbuka, derap langkah kaki Mas Lukman semakin mendekat. Bisa kurasakan kecupan hangat mendarat di kening.

“Maafkan Mas yang sudah menyakiti kamu, Sayang,” bisiknya.

Apa Mas Lukman tahu jika aku pura-pura tidur, makanya ia berkata seperti itu untuk meluluhkan hatiku? Ah … entahlah! Aku benar-benar ingin istirahat sekarang, tidak ingin berdebat. Jam lima subuh, aku terjaga. Melawan rasa kantuk dan menyerat langkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu sekaligus mandi.

Ya Allah … maafkan aku yang sering lalai dengan semua perintah-Mu. Jujur, aku bukanlah orang yang taat beragama, sering meninggalkan shalat. Aku mengikuti kepercayaan ibuku, tidak ada paksaan dari keduanya. Ini murni keinginanku. Pernah berharap jika setelah menikah, suamiku akan menjadi imam yang baik, yang bisa membimbing diri ini. Semua masalah yang menjadi bebanku, kutumpahkan dalam sujud. Memohon pada Sang Pencipta untuk memberiku kekuatan menghadapi semua cobaan hidup. Melipat sajadah dan mukena yang tadi kupakai, menyimpan kembali ke tempatnya. Berjalan menghampiri Mas Lukman yang masih terlelap, mengguncangkan pelan tangan lelaki itu.

“Mas, bangun! Shalat subuh, dulu,” ujarku.

Setelah memastikan Mas Lukman terbangun, aku turun ke dapur untuk membuat sarapan. Meskipun masalah mendera, tapi tetap aku akan melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Entah kenapa, aku belum bisa mengambil keputusan apapun. Aku hanya berdoa, agar Allah memberikanku petunjuk agar aku tidak salah melangkah. Aku tahu, jika perceraian tidak dilarang oleh agama. Tapi, perceraian itu sangat dibenci oleh Allah.

“Bu, biar Jumi aja yang masak,” seru Jumi yang baru masuk ke dapur.

“Udah, gak usah. Tugas kamu ‘kan cuman beres-beres rumah aja, Jum! Kalau soal dapur itu urusan saya,” balasku.

Tangan ini memotong sayuran tapi pikiranku melayang. Mengingat masa-masa awal aku dan Mas Lukman menikah, lelaki yang sangat lembut dan romantis. Ia bahkan selalu membelaku saat ibu mertua mendesak diri ini yang tidak kunjung hamil, tapi kini kenyataan menamparku. Ternyata Mas Lukman tidak sesabar yang kupikirkan. Satu jam berlalu, semua masakanku sudah terhidang di meja makan. Berjalan ke kamar untuk mengganti baju, aku harus sampai di kantor jam tujuh pagi karena ada meeting besar. Melihat Mas Lukman yang sudah rapi dengan kemeja biru dongker, ia balik menatapku.

“Sayang, hari ini ... Indah ada jadwal kontrol ke dokter,” tuturnya dengan suara pelan, sepertinya ia ragu mengatakannya padaku, tapi karena terpaksa akhirnya perkataan itu keluar dari mulutnya.

“Terus? Apa hubungannya denganku?” Aku melayangkan pertanyaan padanya meskipun tangan ini sibuk memilih baju yang akan dikenakan. Menunggu lama sampai akhirnya Mas Lukman kembali bersuara.

“Kartu debit dan kartu kredit ‘kan kamu yang pegang, sayang. Indah pergi sama Ibu nanti.”

Aku menghela nafas berat, berjalan ke arah lemari untuk mengambil tas. Mengeluarkan sebuah kartu debit yang tidak ada isi di dalamnya. Menyerahkannya pada Mas Lukman.

“Nanti aku transfer uangnya ke situ,” seruku sebelum berlalu ke kamar mandi untuk mengganti pakaian.

***

Mas Lukman sudah duduk di meja makan, ia memainkan ponselnya. Mendongak saat aku sudah berada di hadapannya.

“Ayo, kita sarapan dulu. Nanti telat ke kantor lagi, jalanan pasti macet.”

Aku memanggil Jumi untuk ikut sarapan bersama. Mas Lukman tidak pernah keberatan untuk itu, karena sudah menganggap Jumi seperti keluarga. Baru saja Jumi duduk, Indah datang dengan mengenakan baju tidurnya.

“Eh … kamu pembantu, ngapain ikut makan sama majikan? Gak tahu diri banget!” Indah berseru menatap Jumi dengan tajam.

“Situ yang gak tahu diri, gak diajak makan kok langsung duduk.”

Aku menahan tawa melihat wajah Indah yang kini memerah mendengar perkataan Jumi yang pasti melukai egonya. Tidak salah aku membawanya kembali bekerja disini. Ia meninggalkan anaknya bersama sang ibu agar bisa bekerja, suaminya merantau. Jumi bekerja karena ingin membantu orang tuanya menyekolahkan adik-adiknya yang masih kecil. Aku melirik Mas Lukman yang terlihat tidak peduli, ia sibuk dengan makanannya.

***

Baru saja kaki ini melangkah keluar dari pintu, netraku menangkap sosok ibu mertua yang baru saja turun dari taxi.

“Menantu udah mau berangkat kerja, ya?” tanyanya basa-basi.

“Iya, Bu.” jawabku ramah.

Aku mendekati wanita paruh baya itu dan mencium tangannya dengan takzim. Tanpa mengatakan apa-apa lagi ia langsung masuk, tidak ada basa-basi sama sekali padaku untuk menjelaskan mengenai masalah rumah tanggaku ini? Aku curiga jika ibu mertua tidak memiliki hati, ia sebagai seorang wanita seharusnya bisa mengerti dan memposisikan diri bagaimana jika menjadi aku. Tidak bisakah Ibu menyayangiku seperti mertua diluaran sana yang menyayangi menantu mereka?

Dari awal menikah, ibu mertua memang tidak menyukaiku karena aku seorang anak yatim piatu, ia pernah mengatakan jika asal usulku tidak jelas. Tapi karena kegigihanku dan Mas Lukman, akhirnya ibu mertua luluh. Meskipun sikapnya kadang dingin padaku. Mengatur pernafasan agar cairan bening itu tidak meluncur bebas keluar dari mata ini. Aku akan mencari waktu yang pas untuk membicarakan ini semua, karena kondisiku yang sedang tidak stabil aku takut jika nanti mengambil keputusan yang salah.

***

Setelah meeting selesai, Bu Margaretha memintaku untuk menemaninya bersantai di rooftop yang memang didesain khusus atas permintaan beliau. Tempat yang akan beliau datangi saat ingin bersantai setelah menyelesaikan pekerjaan yang berat.

“Saya lihat, akhir-akhir ini kamu kurang fokus, Nay! Kalau kamu ada masalah, cerita sama saya. Ini bukan tempat kerja, jadi saya teman kamu,” tuturnya lalu menyesap tehnya, netranya menatap lurus ke depan.

Sebenarnya aku menganggap Bu Margaretha seperti ibuku sendiri, ia selalu bisa membuat hati ini lega setelah menceritakan semua masalah. Tidak seperti atasan lainnya yang hanya bisa memerintah dan menekan tanpa peduli dengan kondisi bawahannya yang mungkin memiliki masalah personal. Aku tahu, menceritakan masalah rumah tangga pada orang lain itu tidak benar. Tapi sungguh, aku butuh masukan dari orang yang lebih berpengalaman. 

Akhirnya memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Bu Margaretha, ia menatapku dengan iba. Membawaku ke dalam pelukannya, menepuk pelan pundakku yang bergetar karena tangisan.

“Ini kenapa saya minta kamu untuk tidak berhenti bekerja, jika ada masalah seperti ini kamu tidak bergantung pada suamimu. Kamu mandiri, bisa hidup, bisa makan walaupun tanpa uang darinya. Jadi wanita jangan lemah, jika masih bisa pertahankan rumah tangga kamu. Kalau tidak … lepaskan! Jangan menyakiti diri sendiri, kamu berhak bahagia, Nay!” pesan Bu Margaretha.

Jujur, aku masih ingin mempertahankan hubungan ini. Aku menikah dengan Mas Lukman bukan untuk bercerai. Ponselku berdering menandakan panggilan masuk, menampakan nama ibu mertua disana. Menghapus kasar bekas air mata di pipi. Dan langsung mengangkat panggilan masuk di depan Bu Margaretha, ia tahu bagaimana buruknya hubunganku dengan ibu mertua.

“Kenapa isi saldo rekening cuman dua juta doang? Itu gak cukup buat kontrol ke dokter sama USG, kamu kemanain semua uangnya Lukman?” seru ibu mertua dengan nada tinggi dari balik telepon.

Bu Margaretha menatap ke arahku. Sengaja aku menekan pengeras suara agar ia mendengar apa yang dikatakan ibu mertua.

“Dua juta itu cukup loh, Bu. Malah kebanyakan,” jawabku seadanya.

“Sok tahu banget kamu! Hamil aja gak pernah.”

Hati ini langsung ngilu mendengar perkataan ibu mertua yang mampu menyayat hati. Tidak ingin membuat hatiku semakin terluka dengan perkataannya, aku langsung memutus sambungan telepon itu.

“Udah ya, Bu. Aku mau lanjut kerja dulu,” tuturku sebelum memutuskan sambungan telepon.

“Sabar, semua masalah ada jalan keluarnya.” Bu Margaretha berujar dengan senyum tipis.

Meskipun beda keyakinan, beliau lebih bisa menghargai. Berselang beberapa menit, Jumi mengirimkan video padaku. Video yang menampakan ibu mertua dan Indah, meskipun hanya punggung mereka yang terlihat tapi suaranya terdengar jelas. Jumi memang aku suruh untuk mengikuti kemanapun mereka pergi.

“Gara-gara dia kita gak jadi belanja, padahal Ibu sudah pengen beli tas sama baju baru,” seru ibu mertua dengan menggerutu.

“Iya, Bu. Dia itu emang bener-bener nyebelin. Udah mandul, pelit, gak tahu diri lagi. Masa semua uang Mas Lukman mau dia kuasai sendiri!” Indah menimpali, membuat ibu mertua semakin terbakar emosi.

“Ya udah, daripada makin kesel. Kita pakai aja uangnya buat makan, kita cari makanan yang enak dan mahal, lumayanlah buat update di story i*,” saran ibu mertua.

Wanita itu tidak tahu, jika penghasilanku lebih besar daripada Mas Lukman. Selain bekerja sebagai asisten pribadi Bu Margaretha, aku juga berinvestasi di perusahaan ini. Jika dikumpulkan penghasilanku satu bulan mencapai miliaran. Mas Lukman tidak pernah ingin tahu mengenai penghasilanku, ia pernah mengatakan jika uang yang dihasilkan itu milikku sendiri. Bukan milik bersama. Andai saja aku bisa melihat wajah kesal mereka, pasti lebih memuaskan.

“Ular licik macam dia itu harus dimusnahkan, Nay!” desis Bu Margaretha.

Aku memang tidak akan tinggal diam, hanya menunggu tanggal mainnya saja. Membiarkan mereka tertawa bahagia di atas penderitaanku, tidak sabar menunggu saat dimana keadaan berbalik.

Bersambung ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Bagus nay, untung ada jumi yg setia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status