Share

Surat Perjanjian

Mertua, Awal Pembawa Petaka

Surat perjanjian

Bab 4

Sebelum pulang, aku mengajak Mas Lukman untuk makan malam di sebuah restoran ternama yang harga satu menu saja bisa menguras dompet. Aku akan membuat ular itu terbakar. Semua makanan tersaji di atas meja, membuatku menelan air liur, Bu tidak sabar untuk mencicipinya. Tapi sebelum itu aku meminta salah satu pelayan untuk mengambil fotoku dan Mas Lukman.

“Mas, pinjem hape kamu, dong!”

Tanpa bertanya, ia memberikan ponselnya padaku. Mengunduh foto tadi di semua laman sosial media milik Mas Lukman agar ular itu melihatnya. Tidak lupa aku membubuhkan caption,

[Dinner romantis bersama istriku tercinta.]

“Habis makan, temenin aku belanja, ya,” pintaku.

Mas Lukman membalasnya dengan anggukan. Belum berselang satu menit, notif pesan masuk dari ponsel Mas Lukman. Beruntung ponsel itu masih di tanganku, langsung saja aku menonaktifkannya agar tidak mengganggu.

***

Menjalani rutinitas pagi seperti biasanya, berolahraga mengelilingi komplek, hari ini tanggal merah. Aku akan mengajak Mas Lukman untuk pergi keluar, tidak akan aku biarkan ular itu menguasai Mas Lukman sedetik pun. Sengaja aku tidak memasak, tadi malam saja sepulang belanja Mas Lukman langsung tidur, ia bahkan tidak mengganti pakaiannya mungkin karena terlalu kelelahan.

Dress diatas lutut berwarna peach menjadi pilihanku, memoles wajah dengan riasan tipis dan membiarkan rambut ini tergerai indah.

“Mas, aku tunggu di bawah, ya!” teriakku pada Mas Lukman yang masih berada di kamar mandi.

Aku duduk dengan santai di sofa dan menikmati milkshake mangga yang baru saja kubuat. Mendengar derap kaki yang menuruni tangga membuatku langsung menoleh. Bersamaan dengan Mas Lukman yang menuruni anak tangga terakhir, Indah keluar dari kamarnya. Ia menempati kamar bawah yang berada dekat tangga. Ia menatap tidak suka ke arahku. Aku berdiri dan mendekati suamiku lalu mengalungkan tangan ini di lehernya.

“Kamu cantik banget, Sayang.” Mas Lukman memuji, melayangkan kecupan hangat di keningku. Terlihat jelas, mata wanita itu terbuka lebar. Mas Lukman yang berdiri membelakangi Indah, tidak menyadari keberadaan wanita itu.

“Iya dong. Apalagi ditambah pake kalung yang semalem Mas beliin buat aku.” Sengaja aku mengeraskan suara, agar Indah bisa mendengar dengan jelas. Ia masih berdiri mematung di depan kamarnya.

“Tapi ini mahal loh, Mas. Delapan ratus juta, apa gak sayang uangnya?” lanjutku.

“Nggaklah, Sayang. Apapun buat kamu, yang penting kamu seneng.”

Ingin rasanya aku tertawa saat melihat wajah Indah yang sudah seperti kepiting rebus itu. Mungkin amarahnya belum reda setelah melihat postingan di laman sosial Mas Lukman tadi malam. Pagi ini aku sukses membuatnya semakin panas.

“Emang kamu masih sayang sama aku, Mas?” Tanganku menyentuh lembut rahang Mas Lukman yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

“Kok nanyanya gitu sih? Jelas sayang lah. Mas janji gak bakalan menyakiti kamu lagi, kalau sampai itu terjadi. Kamu bisa ambil semua yang Mas miliki. Denger, ya. Cuman kamu wanita satu satunya yang Mas cinta, Mas menikahi Indah cuman karena ingin memiliki anak, gak lebih. Mas gak punya perasaan apa-apa sama dia.” Mas Lukman berkata dengan begitu santainya.

Aku mencoba menahan senyum karena melihat dari sudut mata Indah mengepalkan tangannya dan berbalik kembali ke kamarnya sambil membanting pintu dengan keras.

Bruk!

Mas Lukman langsung menoleh, aku mencekal tangannya yang akan berjalan menuju sumber suara.

“Itu mungkin suara dari gudang, Mas. Jumi lagi beres-beres disana.”

Ini baru permulaan, lihat nanti. Apa kau bisa bertahan untuk tetap disini, Indah! Tidak akan kubiarkan rumah tangga yang kubangun dengan mengeluarkan tetesan air mata ini hancur hanya karena kehadiran orang ketiga.

"Mas, tunggu bentar, ya. Ada yang ketinggalan," seruku pada Mas Lukman yang sudah masuk ke dalam mobil.

Aku kembali masuk dan mendekati Jumi yang terlihat sedang menyiram tanaman.

"Jum!"

Ia tersentak kaget mendengar suaraku. "Ibu, bikin Jumi kaget aja. Kenapa, Bu?"

Aku akan menyuruh Jumi untuk mengawasi Indah, meskipun semua cctv sudah terpasang di penjuru rumah. Karena tidak mungkin Jumi terus mengawasinya jika di rumah, Jumi memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum aku pulang. Hasil rekaman cctv itu akan langsung terhubung ke ponselku. Hanya jaga-jaga, siapa tahu ia berniat melakukan sesuatu diluar nalar. Karena dimataku otak wanita itu kurang satu ons.

***

Hari ini Mas Lukman benar-benar niat untuk membahagiakanku, mengikuti semua keinginanku apapun itu. Kita memulainya dengan sarapan bubur ayam di tempat yang sering aku dan Mas Lukman datangi jika sedang olahraga keluar. Sebuah danau buatan yang tidak jauh dari komplek perumahan yang kami tempati, danau yang terlihat sangat indah. Di pinggiran pantai terdapat banyak pohon rindang dan kursi di bawahnya.

"Mas, beliin itu dong!" Aku menunjuk seorang lelaki renta yang berjualan permen kapas. 

Tanpa berkata, Mas Lukman berjalan mendekati penjual permen kapas itu. "Ini satunya berapa, Pak?" tanya Mas Lukman. 

Samar aku bisa mendengar suaranya, ia mengeluarkan isi dompetnya yang hanya berisi tiga lembar uang merah. Mas Lukman memberikan semua uang itu, dan meminta sang penjual untuk membagikan secara gratis pada anak-anak yang bermain di sana. Kamu memang selalu membuatku terpesona, Mas. Kebaikan dan kelembutanmu selalu sukses membuat hatiku meleleh. Tapi ada apa dengan takdir ini, takdir membawa Indah berada di tengah-tengah hubungan kami. Aku mencoba membahagiakan diri dan melupakan semua masalah yang ada. Mencoba untuk sementara menghilangkan fakta jika lelaki di depanku ini sudah menghianatiku. Manusia memang tidak ada yang sempurna, manusia itu pendosa. Begitupun aku, apa salah jika aku memaafkan Mas Lukman dan membangun kembali rumah tangga kami? Memperbaiki semuanya.

Pagi sampai sore, kami keliling di pusat perbelanjaan. Tidak ada niatku untuk belanja apapun karena memang aku tidak ingin. Malam hari, makan nasi goreng pinggir jalan. Aku bukan orang yang suka dengan kemewahan dan menghamburkan uang. Taman yang berada tidak jauh dari tempat makan malam, menjadi pilihan untuk bersantai sejenak sebelum kembali pulang. Suasana yang sangat ramai dan banyak anak-anak bersama orang tuanya bermain dengan begitu cerianya membuatku jadi betah berlama-lama. Berdoa, semoga suatu saat Allah akan menitipkan seorang malaikat kecil dalam rahim ini.

"Mas, dua bulan lagi Indah melahirkan. Dia akan melahirkan anak kamu, apa setelah anak itu lahir rasa sayang kamu kepadaku akan berubah?" Aku mendongak menatapnya. Ingin melihat ekspresi wajahnya. Aku masih betah bersandar di dada bidangnya yang kokoh.

"Apapun yang terjadi tidak akan mengurangi rasa sayang Mas sama kamu." Ia berbalik menatapku, sudut bibirnya tertarik membentuk bulan sabit. Lengan kekarnya mempererat pelukan ini.

Ia mulai menceritakan semuanya padaku, tanpa aku minta. Menceritakan dimana awal mula ia memutuskan untuk menikahi Indah, ternyata ibu mertua yang berada dibalik semua ini. Ibu mertua memaksa Mas Lukman dengan alasan takut jika hidup ibu mertua tidak lama lagi dan belum bisa menimang cucu. Bukankah alasan itu sangat klise? Meskipun ingin menyangkal, aku tetap mendengarkan penjelasannya sampai selesai. Ia mengatakan jika Indah adalah seorang selebgram, yang kesehariannya di sosial media selalu diikuti oleh ibu mertua. Mulai dari gaya hidup sampai apa yang Indah pakai, ibu mertua ingin memilikinya. Mas Lukman bertemu dengan Indah pertama kalinya, satu tahun lalu saat aku ke luar negeri untuk menemani Bu Margaretha perjalanan bisnis.

Entah apa yang telah dikatakan ibu mertua pada Indah, hingga wanita itu bersedia menikah dengan Mas Lukman yang notabene sudah beristri. Mas Lukman dipaksa menikah, jika tidak ibu mertua akan mengancam bunuh diri. Ibu mertua sudah berkoar-koar mengatakan pada teman sosialitanya jika ia akan mendapatkan menantu baru seorang selebgram terkenal. Jelas ia akan malu jika semua yang dikatakannya dianggap dusta oleh semua orang.

"Terus, bagaimana ceritanya kamu sampai bisa menghamili maduku itu? Kamu pasti menikmati malam pertama kalian 'kan?" tanyaku sengit.

Mas Lukman menatap dalam netra ini. "Bahkan saat Mas terpaksa harus melakukan itu, hanya kamu yang ada di pikiran Mas, Sayang."

Aku tersenyum mengejek. Entahlah, aku tidak tahu harus percaya atau tidak.

"Berapa kali kamu melakukannya?" tanyaku lagi, Mas Lukman terlihat berpikir, ia menggaruk tengkuknya.

"Entahlah ... yang jelas Mas hanya melakukannya beberapa kali sebelum akhirnya dia hamil. Setelah dia hamil, Mas gak pernah menyentuhnya lagi."

Hati ini langsung teriris, membayangkan bagaimana suamiku memadu kasih dengan wanita lain. Sekuat tenaga menahan agar bendungan air mata tidak merembes dan membanjiri pipi. Seringan itu ucapanmu keluar, apa kamu tidak memikirkan perasaan istrimu ini, Mas?

"Apa kamu akan menceraikan Indah setelah anak itu lahir?"

"Tentu, kita sudah membuat surat perjanjian." terang Mas Lukman.

Keningku mengernyit. "Surat perjanjian apa yang kamu maksud, Mas?"

"Aku sudah memprediksi jika semua ini akhirnya akan terungkap juga, aku membuat perjanjian dengan Indah. Kita akan berpisah setelah anak itu lahir, Indah akan menyerahkan anak itu untuk kita rawat. Maafkan aku karena telah menyakitimu, tidak jujur mengenai semua ini." jelasnya.

"Apa hanya itu saja?" Aku menatapnya penuh tanya.

"Dia memintaku untuk mencukupi semua kebutuhannya selama dia menjadi istriku, itu kenapa gajiku tidak sepenuhnya masuk ke rekening kamu, Sayang."

Mas Lukman melepasku dari pelukannya, ia berjalan menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat kita duduk. Ia kembali membawa sebuah amplop yang aku tidak tahu isinya apa. Ia menyerahkannya padaku. Aku benar-benar tidak percaya setelah membaca semua isi surat yang dikeluarkan dari dalam amplop itu. Mas Lukman bahkan sampai melakukan ini.

Bersambung ….

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Suteja Ningsih
ceritanya bgus aku suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status