Bab 7"Co … cwiit!" Suara itu membuat kami dengan kompak menoleh mendapat Jumi yang berdiri di sebelah Indah."Bikin Jumi iri aja nih, Ibu sama Bapak. Apalagi yang di sebelah pasti kebakaran jenggot," seru Jumi dengan tawanya yang renyah. Aku sebisa mungkin menahan tawa melihat wajah Indah sudah memerah, ia menatap tajam ke arah Jumi."Lo nyindir gue?" bentak Indah pada Jumi."Jumi 'kan bilang kebakaran jenggot, emang situ punya jenggot?" ledek Jumi.Tangan Indah refleks memegang dagunya. Tawa ini langsung pecah, Indah melayangkan tatapan tajamnya itu padaku. Terkadang aku melihat wanita itu otaknya agak sedikit kurang satu ons. Tidak sadar jika apa yang Jumi katakan hanya sebuah kiasan. Kehadirannya bisa sedikit menghibur walaupun sering kali membuat ubun-ubun ini terbakar. Indah menghentakkan kakinya, ia melangkah mendekat dan mendorongku mundur lalu bergelayut di lengan Mas Lukman."Mas, kok diem sih? Istrinya di zalimin kayak gini kamu gak belain," rajuknya.'Apa yang dikatakan? D
Bab 8Pintu kamar diketuk dari luar, aku menatap Mas Lukman yang juga menatapku. Siapa gerangan yang mengganggu malam-malam begini? Aku bangkit dengan malas. Baru saja pintu terbuka, Indah mendorongku dan langsung masuk. Duduk di sebelah Mas Lukman."Mas, aku takut tidur sendiri. Kamu temenin aku, ya?" pintanya dengan suara memelas.Aku memutar bola mata jengah, duduk di tepi ranjang dan memperhatikan mereka. 'Benar-benar pengganggu!' Aku hanya bisa menggerutu dalam hati."Biasa juga kamu tidur sendiri kok. Kenapa gak minta temenin Ibu aja," jawab Mas Lukman."Berkali-kali aku ketuk pintu kamarnya Ibu, tapi gak dibukain. Ya udah, kalau kamu gak mau temenin aku tidur. Aku tidur di sini aja!" lanjutnya dengan seenak jidat.Aku mengurut dahi yang terasa berdenyut nyeri, bisa-bisanya ibu memilihkan wanita ini untuk menjadi istri Mas Lukman. Mungkin jika yang ibu jodohkan adalah wanita baik-baik yang tahu etika dan agamanya bagus, aku tidak akan semerana ini. Bagaimanapun, karakter seorang
Bab 9Aku melirik Mas Lukman yang terdiam setelah mendengar semua penjelasan dari dokter. Berarti benar yang dikatakan polisi tadi jika Indah terpengaruh oleh obat-obatan. Anak sekecil ini harus menderita karena kelakuan buruk ibunya. Hatiku seketika teriris, meskipun aku tahu itu adalah anak Mas Lukman bersama maduku. Tapi anak itu masih suci, ia tidak memiliki dosa. Tidak mungkin aku membiarkannya menderita dan pura-pura tidak peduli. Aku sudah mewanti-wanti pada Mas Lukman untuk tidak membicarakan mengenai ini dulu pada Indah, bagaimanapun wanita itu baru mengalami kecelakaan dan melakukan operasi.Ibu mertua juga kini sudah siuman, ia sering mengeluh karena kepalanya yang sakit. Mas Lukman sempat bercerita padaku, ia tidak jadi mengantar Indah untuk belanja karena ada meeting mendadak. Mas Lukman meninggalkan ibu mertua dan Indah di rumah. Setelah itu tidak tahu apa-apa lagi. Aku dan Mas Lukman melihat bayi itu setelah kepergian dua orang polisi tadi. Bersyukur karena kecelakaan y
Bab 10Aku berlalu ke dalam kamar, tidak ingin merusak suasana hatiku berdebat dengan wanita ular itu. Hadapi wanita licik harus dengan cara cerdik, ingat itu, Kanaya! Cantik, berpendidikan, karir cemerlang, mandiri pula. Jelas wanita itu tidak ada bandingannya denganku. Aku berkata pada diriku sendiri di depan cermin. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, berkali-kali aku melakukannya agar merasa tenang. Memejamkan mata untuk menghilangkan semua pikiran negatif.Mata ini kembali terbuka saat mendengar suara ribut dari lantai bawah. Dengan cepat keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan buru-buru saat tidak melihat siapapun di ruang tengah. Aku berlari menuju halaman, melihat Indah yang dijemput paksa. Wanita itu meronta dan berteriak. Baru mengingat jika Indah memang akan dimasukkan ke dalam pusat rehabilitasi setelah kemarin melakukan tes urine dan hasilnya ia positif sebagai pemakai. Menatap mobil yang membawa Indah yang kini sudah keluar pagar. Mas Lukman menutup
Bab 11“Berani kamu bohongin Ibu, ya! Gaji Lukman ‘kan banyak. Masa iya langsung habis gitu? bilang aja kamu gak mau ngasih uang itu ke Ibu!” Mata wanita itu melotot ke arahku, apa ia pikir aku anak kecil. Akan takut jika dipelototi seperti itu.Aku menghela nafas berat, susah jika menghadapi ibu mertua seperti ini. Apa ia tidak berpikir jika anaknya itu memiliki banyak tanggungan belum lagi nafkah yang harus diberikan kepada dua orang istri. Sepertinya ibu mertua tidak memikirkan matang-matang saat memaksa anaknya untuk menikah lagi. Akhirnya ia sendiri yang akan sengsara karena uang bulanannya akan terpotong lebih banyak.“Terserah Ibu mau ngomong apa, yang jelas aku gak ada pegang uang Mas Lukman sepeser pun!”“Ya udah. Minta uang kamu aja!” Suaranya terdengar sangat ragu, ibu pasti malu meminta uang pada menantunya ini, yang selalu diremehkan penghasilannya. Ujung-ujungnya ia juga membutuhkannya.“Uangku sedikit loh, Bu. Pasti gak cukup buat traktir temen-temen sosialita Ibu yang
Bab 12Duduk di atas ranjang dengan santai, meraih buku panduan merawat bayi yang baru saja dibeli secara online. Aku harus belajar dari sekarang bagaimana cara menjaga dan merawat bayi dengan benar sebelum nanti Allah titipkan malaikat kecil di rahimku sendiri. Baru membayangkannya saja membuat senyum ini otomatis merekah, tangan ini mengelus perutku yang rata.“Kamu kenapa? Kok senyum-senyum gitu.” Aku langsung tersentak mendengar suara Mas Lukman, lelaki itu kini sudah berdiri di sampingku, aku bahkan tidak menyadari kapan Mas Lukman keluar dari kamar mandi.“Aku pengen cepet-cepet ikut program bayi tabung, Mas. Semoga aja dengan cara itu kita bisa memiliki anak, tapi aku pengen rawat Trisha. Seenggaknya sampai Ibunya bisa kembali rawat dia.” Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman, ia menaiki ranjang dan menarikku ke dalam pelukannya. Kecupan hangat kurasakan di kening, aku mendongak menatap dalam mata Mas Lukman. Ya Allah, aku hanya menginginkan kehadiran seorang anak untuk m
Bab 13“Jum, Trisha kamu tinggal sendirian?” tanyaku kala mengingat Trisha.“Nggak, Bu. Trisha ada di taman belakang sama Bapak.”‘Mas Lukman sudah pulang? Tapi aku tidak melihat mobilnya terparkir di garasi.’ Aku segera menemuinya, membiarkan Jumi kembali membereskan isi lemariku yang sudah berantakan.Benar saja, Mas Lukman tengah duduk di kursi taman dengan memunggungiku. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, tapi Mas Lukman sudah berada di rumah. Biasanya ia akan pulang cepat saat ada meeting di luar kantor. Ia langsung menoleh saat aku menyentuh pundaknya. Senyumnya langsung merekah di wajahnya.“Mobil kamu kemana, Mas?”“Bannya bocor, kebetulan deket sama bengkel langganan makanya sekalian Mas servis aja. Mas pulang pake ojek online tadi,” jelasnya. Aku hanya mengangguk kecil.“Udah dapet orang buat bantu-bantu Jumi?” lanjutnya.“Tadi aku udah datengin beberapa Yayasan. Besok mereka akan kirim beberapa orang kesini, kita bisa pilih sendiri orangnya yang mana.” Sebelum pulang ke
Bab 14“Mbak, kok ada suara bayi? Suaranya juga kayak dari dalam rumah ini.” Benar saja, Lana menanyakan mengenai Trisha. Aku langsung menceritakan semuanya pada Lana, mengenai pernikahan Mas Lukman dengan Indah di belakangku yang kini bisa menghadirkan Trisha. Kini wajah Lana terlihat memerah, ia menatap Mas Lukman yang duduk di hadapannya.“Mas, kok bisa setega itu sakitin Mbak Naya? Kenapa gak adopsi anak aja, bukan malah nikah lagi buat dapet keturunan. Dimana otak kamu yang cerdas itu, Mas?” Lana mengeluarkan kata-katanya yang membuat Mas Lukman bungkam. Lelaki itu menunduk, ia pasti merasa malu karena dinasehati oleh adiknya sendiri. Aku melirik ibu mertua yang hanya terdiam dengan memainkan ponselnya. Ia dalang dari semua ini tapi terlihat santai dan merasa tidak berdosa.“Aku, kalau jadi Mbak Naya. Udah aku tendang Mas ke kutub utara!” Hidung Lana kembang-kempis karena emosi, ia sebagai seorang perempuan sudah jelas bisa merasakan bagaimana perasaanku dikhianati.“Anak ingusan