Bab 10Aku berlalu ke dalam kamar, tidak ingin merusak suasana hatiku berdebat dengan wanita ular itu. Hadapi wanita licik harus dengan cara cerdik, ingat itu, Kanaya! Cantik, berpendidikan, karir cemerlang, mandiri pula. Jelas wanita itu tidak ada bandingannya denganku. Aku berkata pada diriku sendiri di depan cermin. Menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan, berkali-kali aku melakukannya agar merasa tenang. Memejamkan mata untuk menghilangkan semua pikiran negatif.Mata ini kembali terbuka saat mendengar suara ribut dari lantai bawah. Dengan cepat keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan buru-buru saat tidak melihat siapapun di ruang tengah. Aku berlari menuju halaman, melihat Indah yang dijemput paksa. Wanita itu meronta dan berteriak. Baru mengingat jika Indah memang akan dimasukkan ke dalam pusat rehabilitasi setelah kemarin melakukan tes urine dan hasilnya ia positif sebagai pemakai. Menatap mobil yang membawa Indah yang kini sudah keluar pagar. Mas Lukman menutup
Bab 11“Berani kamu bohongin Ibu, ya! Gaji Lukman ‘kan banyak. Masa iya langsung habis gitu? bilang aja kamu gak mau ngasih uang itu ke Ibu!” Mata wanita itu melotot ke arahku, apa ia pikir aku anak kecil. Akan takut jika dipelototi seperti itu.Aku menghela nafas berat, susah jika menghadapi ibu mertua seperti ini. Apa ia tidak berpikir jika anaknya itu memiliki banyak tanggungan belum lagi nafkah yang harus diberikan kepada dua orang istri. Sepertinya ibu mertua tidak memikirkan matang-matang saat memaksa anaknya untuk menikah lagi. Akhirnya ia sendiri yang akan sengsara karena uang bulanannya akan terpotong lebih banyak.“Terserah Ibu mau ngomong apa, yang jelas aku gak ada pegang uang Mas Lukman sepeser pun!”“Ya udah. Minta uang kamu aja!” Suaranya terdengar sangat ragu, ibu pasti malu meminta uang pada menantunya ini, yang selalu diremehkan penghasilannya. Ujung-ujungnya ia juga membutuhkannya.“Uangku sedikit loh, Bu. Pasti gak cukup buat traktir temen-temen sosialita Ibu yang
Bab 12Duduk di atas ranjang dengan santai, meraih buku panduan merawat bayi yang baru saja dibeli secara online. Aku harus belajar dari sekarang bagaimana cara menjaga dan merawat bayi dengan benar sebelum nanti Allah titipkan malaikat kecil di rahimku sendiri. Baru membayangkannya saja membuat senyum ini otomatis merekah, tangan ini mengelus perutku yang rata.“Kamu kenapa? Kok senyum-senyum gitu.” Aku langsung tersentak mendengar suara Mas Lukman, lelaki itu kini sudah berdiri di sampingku, aku bahkan tidak menyadari kapan Mas Lukman keluar dari kamar mandi.“Aku pengen cepet-cepet ikut program bayi tabung, Mas. Semoga aja dengan cara itu kita bisa memiliki anak, tapi aku pengen rawat Trisha. Seenggaknya sampai Ibunya bisa kembali rawat dia.” Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman, ia menaiki ranjang dan menarikku ke dalam pelukannya. Kecupan hangat kurasakan di kening, aku mendongak menatap dalam mata Mas Lukman. Ya Allah, aku hanya menginginkan kehadiran seorang anak untuk m
Bab 13“Jum, Trisha kamu tinggal sendirian?” tanyaku kala mengingat Trisha.“Nggak, Bu. Trisha ada di taman belakang sama Bapak.”‘Mas Lukman sudah pulang? Tapi aku tidak melihat mobilnya terparkir di garasi.’ Aku segera menemuinya, membiarkan Jumi kembali membereskan isi lemariku yang sudah berantakan.Benar saja, Mas Lukman tengah duduk di kursi taman dengan memunggungiku. Jam baru menunjukkan pukul tiga sore, tapi Mas Lukman sudah berada di rumah. Biasanya ia akan pulang cepat saat ada meeting di luar kantor. Ia langsung menoleh saat aku menyentuh pundaknya. Senyumnya langsung merekah di wajahnya.“Mobil kamu kemana, Mas?”“Bannya bocor, kebetulan deket sama bengkel langganan makanya sekalian Mas servis aja. Mas pulang pake ojek online tadi,” jelasnya. Aku hanya mengangguk kecil.“Udah dapet orang buat bantu-bantu Jumi?” lanjutnya.“Tadi aku udah datengin beberapa Yayasan. Besok mereka akan kirim beberapa orang kesini, kita bisa pilih sendiri orangnya yang mana.” Sebelum pulang ke
Bab 14“Mbak, kok ada suara bayi? Suaranya juga kayak dari dalam rumah ini.” Benar saja, Lana menanyakan mengenai Trisha. Aku langsung menceritakan semuanya pada Lana, mengenai pernikahan Mas Lukman dengan Indah di belakangku yang kini bisa menghadirkan Trisha. Kini wajah Lana terlihat memerah, ia menatap Mas Lukman yang duduk di hadapannya.“Mas, kok bisa setega itu sakitin Mbak Naya? Kenapa gak adopsi anak aja, bukan malah nikah lagi buat dapet keturunan. Dimana otak kamu yang cerdas itu, Mas?” Lana mengeluarkan kata-katanya yang membuat Mas Lukman bungkam. Lelaki itu menunduk, ia pasti merasa malu karena dinasehati oleh adiknya sendiri. Aku melirik ibu mertua yang hanya terdiam dengan memainkan ponselnya. Ia dalang dari semua ini tapi terlihat santai dan merasa tidak berdosa.“Aku, kalau jadi Mbak Naya. Udah aku tendang Mas ke kutub utara!” Hidung Lana kembang-kempis karena emosi, ia sebagai seorang perempuan sudah jelas bisa merasakan bagaimana perasaanku dikhianati.“Anak ingusan
Bab 15 Aku memastikan pada pihak yayasan jika memang mereka benar-benar dari sana. Jelas tidak ingin jika aku salah memasukkan orang ke dalam rumah. Setelah semuanya sudah jelas, aku membawa mereka masuk. Tempat santai di halaman belakang menjadi pilihan karena Mas Lukman, Lana dan ibu masih terlihat berbincang mengenai masalah yang tadi. Kenapa suamiku itu selalu menyembunyikan masalah besar dari istrinya ini. "Sebenarnya saya hanya butuh satu orang untuk bekerja. Jadi saya mohon kalau yang tidak terpilih jangan berkecil hati, ya!" ujarku. Mereka menganggukkan kepala tanda persetujuan. Setelah memberikan beberapa pertanyaan dan mempertimbangkan semuanya, pilihanku jatuh pada perempuan bernama Tiwi, usianya masih sangat muda. Umur dua puluh tahun, ia harus rela bekerja menjadi asisten rumah tangga karena orang tuanya di kampung sudah sangat sepuh dan tidak bisa bekerja. Sedangkan perempuan bernama Siti, entah kenapa aku tidak terlalu suka dengannya. Pakaiannya terlalu terbuka, tida
Bab 16 Makan malam yang terasa hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu. Aku mencuri pandang pada Mas Lukman yang terlihat menikmati makanannya. 'Kita lihat nanti, apa Mas Lukman akan jujur dengan sukarela atau tetap meneruskan kebohongannya? Selesai makan malam, aku langsung melakukan rutinitas wajib. Memanjakan tubuh dan wajah ini menggunakan skincare, sebagai wanita bersuami jelas aku harus pintar merawat diri. Tidak ingin jika suamiku berpaling untuk kedua kalinya. "Yank, kamu marah sama Mas, ya?" tanya Mas Lukman yang baru saja keluar dari kamar mandi, ia duduk di tepi ranjang. Menatapku dari pantulan cermin. "Menurut kamu?" Sengaja aku melayangkan kembali pertanyaan padanya, jika terlalu diberi hati lelaki pasti akan semakin melunjak. Apalagi jika ia sudah melakukan sekali kebohongan, ia akan menutup kebohongan yang satu dengan kebohongan lainnya. "Mas memang salah karena nggak jujur sama kamu, Mas takut kamu marah. Uang jatah bulanan untuk Lana dipakai unt
Bab 17Aku tidak akan mengekang dirimu, Mas. Semua ini kembali kepada kesadaranmu, kalau memang merasa menyesal dan bersalah kamu pasti berubah. Aku tidak akan memaksa, sekuat apapun masalah yang mendera jika memang kita berjodoh, semua ini akan terlewati dengan mudah. Terkadang aku merasa bodoh, karena memaafkan Mas Lukman berulang kali padahal aku berjanji pada diriku sendiri tidak sudi bersama dengannya karena sudah terbukti berbohong. Mungkin orang yang melihatku seperti ini akan mengakui jika aku ini memang bodoh karena berulang kali disakiti masih setia menemani. Aku memang bodoh, tapi aku memiliki alasan untuk melakukan semua ini. Ternyata jadi orang baik tidak semudah itu!Suara derap langkah kaki terdengar jelas menuruni tangga, aku melihat Lana yang menjinjing tas besarnya. Berbarengan dengan ibu mertua yang keluar dari kamar dan Tiwi berjalan di belakangnya membawakan koper milik wanita paruh baya itu. Ibu mertua melewatimu begitu saja, tidak ada sepatah katapun yang ia uca