Share

Ditipu Mertua dan Suami
Ditipu Mertua dan Suami
Author: Anatasia Etik Pratiwi

1. Hadirnya saudara sepupu

"Nggak, Mas, apapun alasan Mas Fikri, aku tetap tidak setuju Kartika tinggal di sini. Rumah ini bukan tempat penampungan janda ya, Mas! Silahkan Mas Fikri bantu mereka tapi tidak tinggal di sini! Kalau Mas Fikri tetap bersikeras Kartika tinggal di sini, aku yang akan pergi dari rumah in!" bentakku geram.

Mataku nanar menatap perempuan muda berjilbab yang menggendong bayi perempuan dan menggandeng 2 balita laki-laki. Dia tampak menunduk ketakutan di belakang Mas Fikri.

"Tiara, dengar penjelasanku dulu. Sebelumnya aku minta maaf tidak minta ijin kamu dulu. Aku mohon kamu bisa ngerti, Ra. Semoga masih ada belas kasihanmu pada mereka. Kasihan Kartika, ditinggal suaminya di saat anaknya masih kecil-kecil."

"Kita bisa menolongnya tanpa menampungnya di sini, kan?!" protesku.

"Anak anaknya bukan hanya butuh materi tapi juga butuh kasih sayang seorang ayah," sanggah Mas Fikri yang menurutku mengada ada dan tidak masuk akal

"Jangan mengada ada, Mas. Kamu bukan ayahnya jadi kenapa tanggung jawab itu harus Mas Fikri yang memikulnya? Banyak saudara Kartika yang lain!"

"Tapi di keluarga besar kami, aku yang dianggap paling mapan dan dianggap bisa memenuhi kebutuhan Kartika dan anak anaknya. Keluarga menyerahkan Kartika padaku, Ra."

"Apa?! Menyerahkan apa maksudnya, Mas. Ini tidak adil, Mas! Kenapa keluargamu egois sekali! Mereka tidak menganggapku ada dan minta persetujuanku! Apa kata tetangga nanti, Mas. Mas Fikri tidak memikirkan aku?"

"Tiara, siapa tahu dengan menampung dan menghidupi mereka, Alloh akan menggantinya dengan rezeki anak di rahimmu."

Sudah hampir 10 tahun menikah, aku memang belum dikaruniai anak. Itu juga yang membuat hubunganku dan keluarga Mas Fikri sedikit renggang. Orang tua Mas Fikri sangat mengharapkan cucu untuk menjadi penerus keluarga mereka karena Mas Fikri adalah anak tunggal.

Mereka bahkan sudah menganggapku mandul, tidak bakal punya anak. Berkali kali ibu mertua membujuk Mas Fikri untuk menikah lagi tapi bersyukur, Mas Fikri menolaknya.

Sedangkan Kartika, dia adalah anak dari adik Ibunya Mas Fikri. Orang tua Kartika dua duanya sudah meninggal sejak Kartika kecil karena sebuah kecelakaan. Sejak kecil Kartika diasuh oleh orang tua Mas Fikri.

Walaupun Mas Fikri menganggap Kartika adiknya, aku tidak akan pernah setuju dia tinggal di sini.

"Pokoknya aku tidak setuju, Mas. Kalau Mas Fikri tetap bersikeras Kartika tinggal di sini, aku yang akan pergi dari rumah ini" ancamanku akhirnya membuat Mas Fikri luluh.

"Baik! Baik, Tiara! Kartika tidak akan tinggal di sini. Ayo, Kartika, kita pergi dari sini." Mas Fikri menggandeng anak-anak Kartika keluar dari pintu ruang tamu diikuti Kartika.

Setelah kejadian itu masalah kuanggap selesai karena dalam kesehariannya Mas Fikri sudah tidak menyebut tentang Kartika lagi. Mungkin juga karena kesibukannya dengan pekerjaan jadi sudah tidak sempat memikirkan Kartika dan anak anaknya. Ditambah dia juga sering tugas di luar kota.

6 bulan kemudian secara tidak sengaja aku bertemu dengan Kartika di pusat perbelanjaan. Dia sedang berbelanja kebutuhan sehari hari ditemani ibu mertuaku.

"Kartika? Ibu?" Kucium pucuk tangan Ibu walaupun wajah ibu sangat tidak bersahabat.

Seandainya dia bukan mertuaku, tak sudi aku menyapanya.

"Apa Khabar, Mbak Tiara? Sendirian, Mbak?"

"Baik. Iya, pulang mengajar langsung mampir ke sini. Lho, kamu sedang hamil? Kapan kamu menikah lagi? Kok, nggak undang-undang kami." tanyaku sedikit heran melihat perut Kartika yang terlihat buncit.

"Sudah lama, Mbak. Tidak ada acara apa-apa. Hanya ijab qobul saja."

"Memangnya suamimu tidak pernah cerita, Tiara?" Ibu yang tadinya diam dengan muka masam akhirnya mengeluarkan suara juga.

"Nggak, Bu. Mas Fikri nggak pernah cerita. Berarti Mas Fikri tahu dong ya, Bu, tentang pernikahan Kartika."

"Ya, tahulah!" jawab Ibu ketus.

"Sudah, Bu, ayo kita pulang. Anak-anak keburu rewel di rumah." Kartika menggandeng Ibu terburu-buru.

Pantesan Mas Fikri tidak mengungkit ngungkit soal Kartika lagi. Ternyata Kartika sudah menikah. Baguslah. Tidak jadi beban Mas Fikri lagi.

Kulajukan motor dengan cepat karena langit sudah gelap sekali dengan petir yang menyambar nyambar. Dan benar saja, akhirnya hujan turun deras sebelum aku sampai di rumah. Sialnya jas hujan yang kemarin kujemur lupa tidak dibawa.

Dinginnya badan karena basah semua mendadak menghangat ketika sampai rumah, melihat mobil Mas Fikri sudah terparkir di garasi. Aku mulai senyum-senyum sendiri membayangkan indahnya nanti malam setelah semingguan ditinggal Mas Fikri tugas ke luar kota.

"Tiara, sudah tahu hujan begini kenapa nekat jalan?!" Teriak Mas Fikri di depan pintu sambil menyodorkan handuk padaku.

"Tanggung, Mas. Sudah dekat rumah pas turun hujan. Mas Fikri kapan datang?"

"Belum lama. Ya sudah, kamu buruan mandi sana. Sakit kamu nanti. Tuh, Mas bawain mpek-mpek asli Palembang kesukaanmu."

"Asyik, makasih Mas Fikri." Buru-buru kucium suamiku sambil berjinjit karena postur tubuh Mas Fikri yang tinggi besar sedangkan aku yang kecil mungil.

Mas Fikri bahkan sering meledekku anak SMP padahal aku guru SMP. Kalau kita jalan pun sering dikira bapak jalan sama anak. Karena memang usiaku terpaut jauh hampir 10 tahun dengan Mas Fikri.

"Ih, Tiara, Mas jadi ikutan basah ini." gerutunya sambil mengacak acak rambut basahku.

"Mas, kok Mas Fikri tidak pernah cerita ke aku kalau Kartika sudah nikah?" tanyaku malam ini di pembaringan kami.

"Tahu dari siapa, Ra?"

"Tadi aku ketemu Kartika dan Ibu, Mas, di pusat perbelanjaan. Kartika ternyata sedang hamil. Aku merasa menjadi orang asing di keluarga Mas Fikri sampai saudara Mas Fikri menikah dan hamil, aku tidak tahu apa-apa!"

"Kupikir kamu nggak peduli dengan Kartika makanya aku nggak cerita. Sudahlah, nggak penting juga kan buat keluarga kita."

"Ngomong-ngomong siapa suami Kartika, Mas?"

"Kuberitahu pun kamu pasti juga nggak kenal. Sudah, tidur. Sudah malam." Mas Fikri mencium keningku lalu memejamkan mata tanpa peduli keinginan terpendamku.

Entahlah, padahal seminggu sudah Mas Fikri keluar kota berpisah denganku tapi kenapa malam ini dia tidak ada rasa kangen untuk menyentuhku. Kucolek colek saja dia ngasih kode. Bukankan dalam agama juga diperbolehkan istri minta duluan.

"Mas, nggak kangen?" bisikku sambil memilin milin bajunya.

"Kangen siapa, Ra?"

"Kangen yang ada di samping Mas Fikri lah! Dingin, Mas, hujan di luar semakin deras." jawabku geram karena Mas Fikri nggak peka.

"Sini kupeluk," Mas Fikri membalikkan tubuh lalu memelukku erat dengan mata terpejam.

"Ih, Mas, aku nggak hanya butuh dipeluk!" bentakku kesal.

"O, minta itu? Mas Fikri capek, Ra. Ngantuk juga. Lagi nggak nafsu. Besok, ya." Dan dia pun terlelap meninggalkan kekesalan di hatiku.

Minggu pagi ini mendadak Mas Fikri mengajakku ke rumah Ibu, "Ra, kamu siap-siap, kita ke rumah Ibu."

"Berangkat saja sendiri. Lagi nggak nafsu!" teriakku sambil menggoreng nasi buat sarapan.

"Eh, ada yang masih marah karena nggak dikasih tadi malam? Tenang, Ra, nanti malam di rapel ya," ledek Mas Fikri sambil memelukku dari belakang.

"Awas aja kalau ingkar!"

"Waduh, ada yang kangen berat kayaknya mpe ngancem begitu. Sudah buruan ayo sarapan terus berangkat."

"Memangnya mau ngapain ke rumah Ibu, Mas? Kok mendadak?"

"Nggak mendadak sih. Aku lupa ngasih tahu kamu kalau hari ini ada acara arisan sekaligus kumpul-kumpul trah keluargaku. Wajib hadir, kena denda kalau nggak hadir."

"Kayak pertemuan apa aja, Mas. Nggak hadir kena denda. Berlebihan keluargamu itu."

"Ya itu usaha keluargaku supaya semua bisa kumpul nggak ada alasan untuk nggak datang. Sudah, kamu buruan siap-siap."

Seperti biasanya, bagiku ke rumah ibu mertua itu seperti mau ke sarang penyamun. Tegang, was-was, kuatir. Selama perjalanan ke rumah Ibu sudah tidak nyaman sama sekali, gelisah. Trauma karena setiap ke rumah Ibu, selalu saja mendapat kenangan buruk dengan perlakuan keluarga Mas Fikri.

Mas Fikri pun sudah tahu banget apa yang kurasakan. Sambil menyetir, dia meraih tanganku, digenggamnya erat.

"Dingin banget, Ra, tanganmu. Rileks ... Kayak mau ketemu mantan saja."

"Mas Fikri tahu sendiri, mereka tidak pernah menganggapku menantu selama aku belum memberi cucu."

"Positif thinking dong, Ra. Itu hanya perasaanmu saja. Apa yang kamu pikirkan itu nanti yang akan terjadi. Jadi coba kamu berpikir yang baik-baik." Mas Fikri meraih pucuk tanganku lalu menciuminya, kubuang pandangan pada sisi luar kaca mobil.

Iya, aku harus bersyukur. Walaupun aku tidak diperlakukan baik oleh mertua, tapi Mas Fikri memperlakukanku dengan sangat baik. Bersyukur aku punya Mas Fikri yang sangat mencintaiku, tidak neko-neko, menerimaku apa adanya. Walau aku belum bisa memberinya anak tapi Mas Fikri tak ada niat untuk mencari perempuan lain.

"Ra, sudah sampai. Ngelamunin apa, kamu?"

"Eh, iya, Mas. Enggak."

"Ayo turun. Sudah ramai, tuh. Kayaknya kita sudah terlambat."

Dengan hati berdebar debar tak karuan, aku yang digandeng Mas Fikri, memasuki halaman rumah Ibu. Tampak pakdhe, budhe, om dan tante-tante Mas Fikri sudah memenuhi teras dan rumah Ibu. Tak terkecuali sepupu-sepupu Mas Fikri termasuk Kartika yang sedang mengasuh anak-anaknya.

Banyak sekali keponakan Mas Fikri, halaman riuh dengan teriakan dan celotehan mereka yang berlari-larian di halaman. Hanya aku dan Mas Fikri yang belum punya momongan dan hanya Ibu yang belum punya cucu. Itulah kenapa aku tidak suka acara kumpul-kumpul begini dan itu juga alasan Ibu sangat membenciku.

"Fikri! Masih saja kebiasaanmu, telat datang. Kalau punya anak banyak, wajar telat karena banyak yang diurus. Lha ini cuma berdua kok ya masih saja telat. Kudu di denda ini," ucap Om Rahardian ketika Mas Fikri menjabat tangannya.

"Om bisa saja. Biasalah, Om. Kesiangan. Kecapekan kemarin baru pulang dari Palembang."

"Ayaaaah!" tiba-tiba seorang anak laki-laki menghambur ke pelukan Mas Fikri yang membuatku tersentak.

"Apa-apaan, Mas! Kenapa anak Kartika manggil kamu, Ayah?"

"Biarin, Ra, mungkin dia rindu dengan ayahnya."

"Tapi dia kan sudah punya ayah baru!"

"Ayah barunya seorang pelaut. Enam bulan sekali baru pulang."

"Randi, sini ikut Bunda." Kartika dengan lembut meraih tubuh Randi yang meronta.

"Nggak mau, Randi masih kangen sama Ayah."

"Randi, nggak boleh nakal." Dengan susah payah Kartika berhasil melepas pelukan Randi dari tubuh Mas Fikri walaupun Randi akhirnya menangis kencang.

"Maaf, Mas Fikri, Mbak Tiara atas kelancangan Randi." ucap Kartika tanpa menatapku dan Mas Fikri.

"Eh, Fikri, Tiara, sudah datang. Tiara, ayo bantuin Ibu menyiapkan makanan buat tamu," ajak Ibu yang terasa aneh di telinga.

Tumben Ibu bersikap baik padaku. Ibu bahkan menggandeng tanganku masuk ke dapur.

"Itu tolong snacknya ditatain di piring ya, Ra. Terus kamu bawa ke depan sana."

"Iya, Bu," jawabku sambil menata kue di piring dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya atas sikap Ibu.

"Aku bantuin ya, Mbak," tiba-tiba Kartika sudah ada di sampingku.

"Eh, Kartika, kamu nggak boleh bantu-bantu. Sudah, kamu duduk saja. Ibu nggak pengin cucu Ibu yang di perutmu kenapa-kenapa."

Aku tersentak, "Cucu Ibu?"

"Maksud Ibu ... " Ibu menghentikan kata katanya seperti kebingungan.

"Maksud Ibu kan Kartika sudah Ibu anggap anak jadi anak Kartika cucu Ibu juga, kan? Kamu keberatan, Tiara?"

"Nggak, Bu. Kalau itu bisa membuat Ibu bahagia buat apa Tiara keberatan."

Setelah beramah tamah, kemudian ke acara pokok dan menikmati hidangan istimewa akhirnya acara selesai juga. Kami pun pulang. Tumben juga Ibu membawakan makanan banyak.

"Nih, kamu bawa, Tiara."

"Banyak amat, Bu."

"Biarin, biar bisa buat sarapan besok jadi kamu nggak usah masak."

Dalam perjalanan pulang, Mas Fikri terus meledekku, "Tuh aku bilang apa. Kalau kita berpikir positif yang terjadi juga positif, kan. Kayaknya udah disayang mertua, tuh."

"Aku masih bingung, Mas, dengan sikap Ibu. Aneh pikirku. Aku yakin pasti ada apa-apa."

"Tuh kan, yang aneh tuh kamu, Ra. Ibu bersikap buruk kamu bingung, giliran bersikap baik kamu juga bingung. Maumu apa, sih?"

"Entahlah, Mas, pokoknya aku ngerasa ada apa-apa."

"Terserah kamu, Ra. O iya, ambilin uang di dompet, Ra, buat beli bensin."

"Iya, Mas."

Saat mengambil lembaran uang, ada kertas yang tertarik dan akhirnya jatuh. Mataku terbelalak saat mengambil kertas di bawah dan sekilas membaca merk susu ibu hamil di kertas yang ternyata kertas bon. Dan tidak tanggung-tanggung, tertera jumlah angka 6 di situ dengan berbagai varian rasa.

"Ra, mana uangnya?" Kusodorkan uang 2 lembar ratusan pada Mas Fikri dengan gemetar.

"Mas, buat siapa Mas Fikri belanja susu ibu hamil sebanyak ini?!"

"Eh, itu ... buat ..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status