Share

4. Suami yang mencurigakan

Mobil Mas Fikri cepat sekali. Dan aku akhirnya kehilangan jejak. Tapi aku yakin tujuannya adalah rumah Ibu karena ini arah jalan rumah Ibu.

Akhirnya sampai juga motorku di dekat rumah Ibu. Sengaja aku tidak parkir tepat di depan rumah. Aku tidak ingin mereka tahu keberadaanku. Dan benar saja dugaanku, mobil Mas Fikri sudah terparkir di halaman.

Tanpa ada raut capek, tampak Mas Fikri terlihat begitu bahagia menemani Randi dan Dimas bermain mainan baru di teras. Pasti mainan itu juga Mas Fikri yang membelikan. Begitu pun dengan anak-anak. Dimas yang dipangku Mas Fikri juga terlihat begitu bahagia. Pemandangan yang sangat menyakitkan bagai disayat sembilu.

Sebegitu pentingnya anak-anak Kartika buatmu, Mas, sampai istri kau nomor duakan. Aku putuskan meninggalkan tempat ini sebelum hatiku semakin hancur tercabik cabik.

Sampai rumah, aku putuskan tidak akan menghubunginya. Aku pengin tahu sampai kapan dia di rumah ibunya. Dengan perasaan gundah aku menunggu kedatangan Mas Fikri. Tapi sampai menjelang malam, batang hidungnya pun tak kelihatan. Nelepon atau chat pun juga nggak. Mana inget sama istri, dia pasti sibuk dengan krucil-krucil itu. Kutumpahkan rasa kesalku dengan tangis dan aku pun tertidur.

Paginya, ternyata Mas Fikri belum juga pulang. Rupanya dia lebih memilih menginap di rumah Ibu daripada menemui istrinya. Awas saja kamu ya, Mas. Aku sama sekali tidak bersemangat ngapa ngapain. Untung saja hari ini masih libur. Seharian goleran saja di kasur meratapi nasib menunggu Mas Fikri yang sampai sore pun tak kunjung datang.

Dadaku seperti ada bom yang siap untuk meledak.

Baru malamnya sekitar jam 9 terdengar suara mobil Mas Fikri masuk ke garasi rumah. Aku buru-buru masuk kamar pura-pura saja tidur. Entahlah rasa kangenku sudah meleleh. Aku tidak nafsu ketemu dengan dia.

"Ra, tumben jam segini sudah tidur. Ayo, bangun dulu. Nggak kangen suami, nih." Mas Fikri menggoyang goyang tubuhku.

Tak kuhiraukan. Aku tetap pura-pura terpejam. Tapi sepertinya Mas Fikri tak patah semangat. Dia lalu memencet hidungku. Sempat ngap karena nggak bisa nafas tapi aku bisa tahan. Begitu bibirnya main nyosor aja di bibirku, pertahanananku runtuh. Akhirnya aku bangun karena benar-benar nggak bisa nafas.

"Apa-apaan sih, Mas. Mas Fikri pengin aku mati?"

"Lagian tidur mpe pules begitu. Susah amat dibangunin jadi kusosor aja. Tumben kamu jaim. Biasanya kalau aku datang langsung main peluk aja."

"Tiara ngantuk. Mo tidur, Mas!"

"Eits, sebentar Tiara. Bikinin Mas teh anget dong. Pengin yang anget-anget ini. Dari perjalanan jauh."

Pret ... Perjalanan jauh apaan. 1 jam juga nggak ada dari rumah Ibu. Aku baru tahu ternyata Mas Fikri benar-benar pintar bersandiwara.

Tapi semarah marahnya aku, tetap nggak tega kalau nggak melayani suami selain takut dosa juga.

Dengan malas aku menuju dapur membuatkan teh buat Mas Fikri selagi Mas Fikri di toilet. Saat mau membuang teh celup bekas di keranjang sampah, mataku tertuju pada kertas kecil yang sudah diremas. Entahlah kenapa kertas kucel begitu kok membuatku penasaran. Karena aku merasa tidak pernah membuang kertas seperti itu. Jangan-jangan nota susu lagi seperti kemarin.

Dengan sedikit berdebar, kubuka pelan kertas itu. Dan ternyata sebuah nota lagi. Tapi kali ini yang tertera di nota adalah berderet daftar mainan anak dengan harga fantastis menurutku.

Rasa kesal kembali mengoyak dadaku. Bisa bisanya Mas Fikri begitu memanjakan anak-anak Kartika. Tidak sayang buang-buang duit sebanyak itu. Istrinya saja tidak pernah dibelikan apa-apa. Paling banter makanan.

Kubuang lagi nota itu. Dan ada kertas lagi yang tampak diremas juga. Kupungut dan mataku terbelalak melihat nota menu makanan yang semuanya jumlahnya 2. Rasanya nggak mungkin Mas Fikri makan 2 porsi begini.

Dengan siapa Mas Fikri makan. Kenapa aku jadi punya pikiran jelek pada Mas Fikri. Apa mungkin Mas Fikri makan dengan perempuan lain. Ah, tidak mungkin. Mas Fikri tidak mungkin tega mengkhianatiku. Kalau memang mau mengkhianatiku pasti sudah dari dulu.

"Ra, tehnya sudah belum? Lama amat."

Buru- buru kusajikan teh di ruang tengah tanpa sepatah kata. Aku bergegas meninggalkan Mas Fikri menuju kamar untuk tidur kembali.

"Lho, Ra, mau kemana? Temani Mas dulu. Ngobrol-ngobrol dulu. Memangnya kamu nggak kangen?" Tak kupedulikan ajakan Mas Fikri.

Sekali diam aku akan tetap diam seribu bahasa. Ini caraku memarahimu, Mas.

"Kamu itu kenapa sih, Ra, kok sekarang ambekan begitu, sih. Ngomong dong, aku punya salah apa? Pengin itu? Boleh sekarang mumpung aku nggak capek," godanya dipembaringan sambil mengusap usap lenganku.

"Awas ya, Mas, jangan sentuh sedikitpun aku!" Kubalikkan saja badanku membelakanginya.

"Hai, bocah kecil, kamu tuh kalau lagi marah begini semakin ngegemesin lho. Pengin kugigit." Mas Fikri memelukku dari belakang dan benar saja dia menggigit lenganku.

"Aduh! Sakit, Mas!"

"Makanya ngomong, ada apa? Aku salah apa?"

"Mas Fikri pikir sendiri! Introspeksi diri, Mas! Mas Fikri merasa punya salah apa?!"

"Bagaimana aku tahu. Aku saja baru nyampe rumah. Salah apa ya?"

"Iya baru nyampe rumah karena dari luar kota nggak langsung pulang!" sindirku.

"Ngomong apa kamu, Ra?"

"Bener kan, Mas? Mas Fikri mampir kemana dulu sehari semalam?! Aku baru sadar kalau aku ini memang tidak pantas dinomorsatukan. Aku ini seorang istri yang nggak penting buat kamu, kan, Mas?"

Mas Fikri memelukku semakin erat tapi aku berusaha menyingkirkan lengannya, "Kamu itu orang nomor satu di hatiku, Ra."

"Gombal, kalau nomor satu terus kenapa kemarin nggak langsung pulang?!"

"Darimana kamu tahu, Ra?"

"Feeling seorang istri itu tajam, Mas!"

"Iya, iya, aku salah. Aku sudah berbohong sama kamu, Ra. Kemarin aku mampir ke rumah Ibu nganter mainan buat anak-anak. Penginnya sebentar doang tapi anak-anak menahanku nggak boleh pulang. Bahkan aku disuruh nginap. Mereka pengin tidur denganku karena bundanya dan ayah barunya sedang pergi liburan. Mau nolak, aku nggak tega sama anak-anak."

Aku sedikit lega mendengar kejujuran Mas Fikri tapi itu belum cukup. Ada satu yang perlu dia klarifikasi.

"Ra, aku kan sudah jujur. Masih ngambek juga. Ayo, dong, aku tuh paling nggak betah kalau kamu diemin. Dunia jadi hampa tanpa suaramu, Ra."

"Habis makan sama siapa, Mas? Kok jadi lebay begitu."

"Makan apa, Ra?"

"Makan nasi gudeg sama minum es jeruk di yogya. Nggak mungkin kan Mas Fikri makan 2 porsi?"

"Oalah, Ra ... Ra. Pasti kamu nemuin nota ya. Kamu pikir aku jalan sama perempuan lain. Otaknya jangan curiga mulu ah. Aku makan sama teman laki-laki. Teman kuliahku dulu, Ra. Kebetulan dia sekarang tinggal di Yogya. Jadi sekalian aku meet up sama dia. Sudah puas?"

Lega rasanya mendengar jawaban Mas Fikri. Aku pun bisa tidur nyenyak. Paginya sebelum berangkat kerja, aku memohon pada Mas Fikri

"Mas, boleh nggak aku minta tolong?"

"Minta tolong apa, Ra?"

"Mas Fikri jangan pulang malem-malem. Pulang kerja langsung pulang nggak mampir-mampir. Supaya Mas Fikri nggak kecapekan. Malamnya biar fresh, Mas. Biar cepet jadi."

"Jadi apa?"

"Jadi oroklah. Aku pengin kita fokus bikin anak, Mas. Menenangkan pikiran, mengatur pola makan, pola hidup dan jaga stamina tubuh. Serta melangitkan doa dan membumikan ikhtiar. Semoga dijabah olehNya. Ya, Mas? Mau kan, Mas? Mas Fikri juga sudah sangat menginginkan anak, kan?"

"Iya, Ra."

"Janji ya, besok kita mulai ikhtiar."

"Iya, Mas janji. Sudah ayo tidur."

Keesokan hari dan seterusnya, Mas Fikri menepati janjinya. Sampai rumah tidak lebih dari jam 5 sore. Rumah tangga kami juga lebih hangat. Mas Fikri meluangkan waktu lebih banyak buatku.

Dan setiap malam adalah menjadi malam-malam indah kami. Kami rajin melaksanakan ibadah suami istri berharap kalau sering melakukan maka peluang jadinya juga lebih besar.

Sampai tak terasa 5 bulan sudah kami melaksanakan ikhtiar. Belum ada tanda-tanda berhasil tapi kami tak putus semangat.

"Iya, Randi. Ada apa?" Mas Fikri menjawab telepon Randi.

"Randi sama Dimas kangen ayah Fikri."

"Ya, sudah hari ini ayah sama budhe Tiara main ke rumah Randi, ya."

Kami pun berangkat ke rumah Ibu. Sampai di sana Mas Fikri langsung disambut oleh pelukan Randi dan Dimas yang kayaknya kangen berat. Tampak juga Kartika dengan perutnya yang sudah besar menyambut kami.

"Bagaimana kabarmu, Kartika? Sehat kan? Calon bayinya juga sehat? Nggak ada keluhan?"

"Alhamdulillah kami sehat, Mas Fikri. Iya tidak ada keluhan. Maaf ya, Mas Fikri, Mbak Tiara, Kartika ke dalam dulu. Mau rebahan. Perutnya sudah kegedhean nggak bisa diajak kompromi untuk berdiri lama-lama"

"Iya, kamu istirahat. Biar anak-anak sama kita," ucap Mas Fikri penuh perhatian.

Ketika aku dan Mas Fikri sedang asyik bermain dengan anak-anak. Tiba-tiba Ibu berteriak.

"Fikriiiiii! Tolong Kartika. Sepertinya dia mau melahirkan. Ketubannya sudah pecah. Cepat, Fikri!"

"Kartika!" Mas Fikri langsung berlari ke dalam rumah dengan panik.

Dengan susah payah dia berusaha membopong Kartika dan Kartika melingkarkan tangannya pada leher Mas Fikri sambil mendesis kesakitan.

Nyeri ... Dadaku terasa nyeri melihat adegan itu. Tapi aku berusaha meredakan gejolak ini. Mas Fikri hanya mau menolong Kartika karena dia adiknya. Aku tidak boleh egois.

"Ibu dan Tiara di rumah saja. Menemani si Mbak ngurus anak-anak. Biar Kartika kuurus!"

"Nggak, Tiara ikut Mas Fikri ke rumah sakit."

"Nggak usah, Tiara. Kamu di sini saja."

"Pokoknya Tiara ikut!"

"Ya sudah terserah kamu."

Di mobil Kartika terus merintih kesakitan. Sedangkan Mas Fikri menyetir dengan sangat kencang. Wajahnya terlihat begitu panik seolah yang mau melahirkan itu istrinya. Sekali lagi aku merasa nggak rela. Di saat lahiran pun kenapa harus Mas Fikri yang ikut repot. Kemana yang punya andil bikin anak. Benar-benar tidak bisa diandalkan suami Kartika itu.

"Tahan ya, Kartika. Sebentar lagi sampai," ucap Mas Fikri khawatir.

"Mas, kok suami Kartika nggak dikabarin?" tanyaku.

"Percuma, dia sedang di tengah laut mana bisa langsung ke sini."

"Ya tetap harus dikhabari lah, Mas. Bagaimanapun juga yang mau lahir ini anaknya."

"Iya, nanti dikhabari."

Sampai di rumah sakit Kartika langsung dibawa ke ruang bersalin.

"Cepat suster tolong Kartika!" teriak Mas Fikri panik.

"Iya, Pak. Bapak suaminya, kan? Silahkan Bapak ikut masuk. Dampingi dan beri support istri Bapak."

"Iya, Suster," tanpa peduli padaku, Mas Fikri menyerahkan kunci mobil dan tas Kartika padaku lalu mengikuti suster masuk ke ruangan.

"Mas Fikri! Apa apaan, Mas. Mas Fikri bukan suaminya! Aku tidak mengijinkan Mas Fikri masuk!" Teriakku sambil menarik tangannya menahannya untuk tetap di luar bersamaku tapi dengan keras Mas Fikri menepis lenganku dan tetap masuk ke ruangan.

"Mas Fikri!" teriakku sekali lagi dengan hati sangat sakit tapi tak digubrisnya.

Aku terduduk lemas di ruang tunggu dengan airmata yang bercucuran. Menangis tergugu sendiri sampai semua orang di ruangan melihatku. Apa sebegitunya semua kakak laki-laki memperlakukan adiknya. Sampai tidak mempedulikan perasaan istrinya.

Tiba-tiba pintu ruangan bersalin terbuka. Seorang suster keluar ruangan entah kemana dan pintu dibiarkan terbuka.

Kugunakan kesempatan itu. Aku harus masuk. Aku harus memperjuangkan suamiku. Bagaimana pun aku punya hak untuk melarang suamiku mengurusi istri orang walaupun itu adiknya sendiri.

Tapi baru saja aku mau masuk ... Astaghfirullah Al Adzim ... Aku terpaku di depan pintu dengan kaki gemetar, dadaku terasa sesak menyaksikan pemandangan yang begitu menyakitkan. Kuremas dadaku yang terasa panas dan nyeri. Tubuhku tiba-tiba limbung dan lemas. Kusandarkan tubuh pada tembok. Aku harus kuat. Aku tidak boleh jatuh.

Mas Fikri ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status