Share

Menginterogasi Lia

"Lepas, Ray!" sentak Lia kasar, tapi tak membuat cengkraman Ray terlepas begitu saja. 

"Kumohon, lepaskan aku, Ray! Sakit!" rintih Lia terus meronta minta dilepaskan.

Telinga Ray seakan tuli. Dia tak mengindahkan ucapan Lia sama sekali. Ray menyeret paksa wanita itu agar beranjak dari ranjang. Lia sudah berdiri, berhadapan dengan suaminya. Pria itu melepaskan cengkraman di pergelangan tangan Lia dengan kasar. 

"Aww..." ringis Lia sembari memegangi pergelangan tangannya yang sakit. 

Ray berubah seketika menjadi pria yang dingin. Bulu kuduk Lia meremang seketika. Ketakutan nampak di raut wajahnya yang ayu. Tidak pernah sekalipun Lia merasakan sikap Ray yang seperti ini padanya.

Ray semakin mendekat ke arah Lia. Menepis jarak diantara keduanya. Tatapan mereka saling beradu. Netranya menatap Lia dengan tajam. Tak hanya itu, rahang Ray mengeras. Bahkan gemeletuk dari gigi Ray bisa Lia dengar. Pria itu terlihat sedang menahan emosi yang kian meledak dalam dirinya. 

"Katakan apa maumu?" tanya Ray dingin, netranya masih menatap Lia dengan tajam. 

Lia kebingungan sekarang. Sungguh, dia tidak bisa berpikir secara jernih sekarang. Dia juga tidak mengerti apa maksud suaminya ini. "Apa maksudmu, Ray? Aku sungguh tidak mengerti."

"Masih tanya apa maksudku, hah?" Ray membanting kartu kredit yang dia pegang di hadapan Lia. 

Wanita itu mematung seketika. 'Bagaimana dia bisa menemukan kartu itu? Apa dia sudah tahu tentang pengelapan uang itu?' batin Lia bertanya. 

"Jawab!" bentak Ray. Suaranya begitu lantang. Jika kamar ini tidak terdapat peredam suara, mungkin suara Ray akan terdengar sampai ke rumah tetangga saking kerasnya. 

Lia terkejut seketika. Dia bingung harus beralasan seperti apa. Apa dia akui saja jika memang dirinyalah yang bersalah? Tidak, tidak. Dia tidak mau rencananya untuk membuat Ray menderita gagal begitu saja. 

Sungguh, Lia akui dia begitu bodoh. Dia lupa tidak menyimpan kartu itu ditempat yang aman. Dia juga lupa mematikan CCTV kantor. Pantas saja Ray bisa membongkar kasus ini begitu cepat. 

Lia pikir kasus ini akan terbongkar lama, dan dia tidak akan terlibat di dalamnya. Lia pikir Ray akan menuduh staf akuntansi itu, tapi Lia salah besar. 

Berulang kali Lia merutuki kebodohannya sendiri. Lia juga merutuki dirinya yang terlalu bertindak gegabah, tidak memikirkan segala sesuatu dengan matang. 

Lia tidak bisa berkata-kata. Dia hanya menunduk. Lia takut Ray akan menghajarnya habis-habisan atau mungkin kemungkinan terburuknya Lia akan diseret ke penjara. 

Ray mengangkat dagu Lia agar bisa melihat pria itu. "Kau tuli, hah? Jawab!" bentak Ray. Suara itu kian lama kian mengeras. 

Luruh sudah air mata wanita itu, mengalir begitu mulus di pipi hingga menetes ke dagu. Tubuhnya ikut luruh bersamaan dengan air matanya. Lia bersimpuh di kaki Ray. Sekarang dia tahu apa yang akan dia lakukan. Ya, apa lagi kalau bukan memainkan sebuah drama. Semoga saja Ray bisa mengasihaninya.

"Ma... Maaf, Ray. Aku terpaksa. Aku butuh uang itu untuk aku berikan ke panti asuhan. Kamu tahu kan, panti yang aku tinggali dulu sudah tua, bangunannya hampir roboh. Aku ingin membangun panti itu, Ray."

Hati Ray tercubit seketika. Pria itu melunak. Luntur sudah amarahnya ketika mendengarkan penuturan Lia. Wanitanya ini berniat baik. Hanya saja caranya yang salah. Ray akan menasihatinya. 

Ray berjongkok, menuntun tubuh Lia agar berdiri kembali. "Bangunlah!"

Dia dekap tubuh wanitanya erat-erat. Sungguh, Ray merasa bersalah dengan Lia. Tangis Ray luruh seketika. Apa yang dia lakukan barusan? Dia biarakan emosi mengalahkan rasa cintanya untuk Lia. 

"Maafkan aku, Lia. Maaf telah membentak bahkan menyakitimu," lirih Ray ditengah isaknya. 

Lia balas dekapan pria itu. Tersenyum simpul di balik dekapan sang suami. 

'Ternyata begitu mudah melunakkanmu, Ray.'

Ray membawa tubuh wanitanya. Mendudukkan di tepi ranjang. Menghapus sisa-sisa air mata Lia. 

Ray usap puncak kepala Lia dengan kasih sayang. "Berbicaralah jika kamu membutuhkan segala sesuatu. Aku akan memenuhinya, Lia. Bukan dengan cara seperti ini. Kamu tahu kan jika caramu mendapatkan uang ini salah?" nada bicara Ray melembut. 

Lia menunduk, kemudian mengangguk secara perlahan. Tangannya meremas ujung baju tidur yang dia kenakan. "Ampuni aku, Ray. Aku takut jika harus meminta uang begitu banyak denganmu. Aku takut kamu marah dan memakiku tidak tahu diri. Aku merasa tidak memiliki pilihan lain selain mendapatkan uang dengan cara itu. Sungguh, aku menyesal, Ray."

Ray mengelus punggung Lia. Menyandarkan kepala wanita itu ke pundaknya. Dia mau Lia tahu, dia begitu peduli pada wanitanya.

"Bagilah bebanmu itu padaku, Lia. Jangan kau simpan sendirian. Aku pasti mau membantumu. Apalagi untuk pembangunan panti. Itu juga hal baik bukan?"

"Lia, aku tahu kamu wanita baik. Aku tahu kamu melakukan ini karena terpaksa. Namun, seharusnya kamu juga berpikir dampak dari perbuatanmu ini.  Bisa saja jika perbuatanmu ini malah merugikan orang lain. Bagaimana jika aku menuduh stafku yang melakukan ini semua? Mungkin dia akan masuk bui. Apa kamu tega melimpahkan kesalahanmu pada orang lain?"

Mendengar penuturan Ray, Lia hanya mampu menunduk dalam. "Sekali lagi maafkan aku, Ray. Aku berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang bisa merugikan orang lain," sesal Lia yang sebenarnya hanya sebuah bualan semata. 

"Aku sudah memaafkanmu." Ray kecup kening wanita itu dengan lembut. "Pergilah tidur!" 

Lia menggeleng. Berdiri dari tempatnya. Mengambil kartu kredit yang tercecer di lantai. Mengembalikan pada Ray. Lia tidak butuh kartu itu, bahkan Lia tidak butuh uang Ray dalam jumlah 3 Triliun itu. Lia hanya mau Ray merasakan kegagalan dan penderitaan. Namun, Lia gagal membuat kegagalan dalam hidup Ray. 

"Ambillah, Ray! Ini milikmu."

Ray terima kartu itu. Menyimpan di saku celananya. "Aku akan membantumu membangun panti itu, tapi bukan dengan uang perusahaan, Lia. Melainkan dengan uang pribadiku. Besok kita ke panti ya. Kita diskusikan hal ini dengan ibu panti."

Masih ada satu lagi yang membuat Ray penasaran. Mengapa Lia membutuhkan uang dalam jumlah yang begitu besar? Jika hanya untuk pembangunan panti maka tidak akan memerlukan dana sebesar itu. 

"Oh ya, mengapa kamu mengambil uang dengan jumlah 3 Triliun? Bukankah itu terlalu banyak jika untuk sekedar membangun panti?"

Lia takut Ray curiga. Lia memutar otaknya mencari jawaban. Menjawab pertanyaan Ray sebisanya. "Sebenarnya aku juga ingin membangun sebuah sekolah, Ray. Aku ingin adik-adikku di sana mendapatkan pendidikan yang layak. Aku tidak mau mereka sama sepertiku yang bodoh ini."

"Kata siapa kamu bodoh? Buktinya kamu bisa mengubah data keuangan itu," canda Ray yang seperti sebuah sindiran bagi Lia. 

"Jangan begitu, Sayang. Aku kan sudah minta maaf," ucap Lia lembut, merayu Ray. 

"Iya, Sayang. Aku hanya bercanda. Sekarang tidur lagi ya. Maafkan aku sudah membangunkanmu."

Ray merebahkan tubuh Lia. Mengambil selimut yang baru dari dalam almari untuk menutupi tubuh wanitanya agar tidak kedinginan. Ray kecup kening Lia, lalu dia dekap tubuh Lia ke dalam sebuah pelukan hangat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status