Share

Berkunjung Ke Panti Asuhan

[Bu, nanti Lia sama Ray ke sana ya. Kami berencana akan membangun ulang panti dan mendirikan sekolahan. Kalau Ray tanya tentang masalah ini, tolong ibu katakan padanya bahwa kita sudah berdiskusi sebelumnya tentang hal ini.]

Lia mengirimi pesan singkat pada ibu panti agar wanita paruh baya itu tahu maksud kedatangan dirinya dan suaminya. Dia tidak ingin Ray menaruh curiga padanya sedikitpun. 

Ray keluar dari kamar mandi. Pria itu melangkahkan kakinya mendekati Lia. Mencuri-curi kesempatan dengan mengecup pipi kiri wanitanya. Tubuh Ray semakin mendekati Lia. Menepis jarak diantara keduanya. Lia mendorong dada bidang Ray yang polos. 

Lia paling tidak suka jika Ray sudah begini. Menempelkan tubuhnya dengan tubuh Lia. Apalagi tubuh bagian atas dari pria itu polos, dia hanya memakai celana jeans panjang. Tubuhnya juga basah terkena sisa air sehabis mandi. Lia merasa sangat risih. "Keringkan tubuhmu dan pakai baju terlebih dahulu! Badanmu basah, Ray!"

"Keringkan!" pinta Ray manja, merengkuh pinggang ramping Lia. 

"Bagaimana aku bisa mengambil handuk jika kamu terus begini? Lepaskan!"

"Janganlah marah-marah, Sayang." Ray mencolek dagu lancip wanita itu, menggodanya. 

Lia menyingkir. Dia ambil handuk yang baru dari dalam almari. Mengeringkan tubuh Ray yang basah. 

"Sayang..." panggil Ray.

"Hmm," balas Lia tanpa memperhatikan Ray. Tangannya terus mengusap punggung suaminya yang masih basah. 

"Sebelum ke panti mampir ke mall dulu ya. Aku mau membeli mainan untuk anak-anak."

"Oke." Lia hanya membalasnya dengan singkat. 

Lia selesai mengeringkan tubuh Ray. Dia mengambil baju yang terletak di atas ranjang. Baju itu telah dia siapkan sedari Ray berada di dalam kamar mandi. 

"Pakailah!" Lia menyodorkan pakaian untuk Ray. 

"Pakaikan!" pinta Ray manja. Pria itu enggan mengambil baju yang telah Lia sediakan untuknya. 

Lia mendengus kesal. Suaminya ini sungguh manja sekali. Dia mengambil kemeja lengan pendek polos berwarna biru muda. Memakaikannya dengan cepat. Lia usap kemeja itu. Barangkali ada debu di sana. Sempurna! Ray terlihat sangat tampan dengan pakaian casualnya. 

Ray masih bersikap manja. "Rambutku masih basah. Kamu tidak mau mengeringkannya?" 

"Sudahlah, biar saja begitu," ucap Lia cuek. Wanita itu malas mengeringkan rambut suaminya. Dia hanya mengambil sisir dan merapikannya. 

Ray usap kepala wanitanya. Tidak lupa dia ucapkan terima kasih karena Lia sudah mau mengurusnya. Lengkungan di sudut bibir itu juga Ray suguhkan ketika memandang wajah Lia.

"Terima kasih, Istriku yang paling cantik." 

"Hmm." Lia hanya membalasnya dengan senyum yang irit dan setengah terpaksa. 

"Idih, pelit amat senyumnya."

Lia menjulurkan lidahnya, mengejek Ray. "Biarin. Wlek!" 

***

Sepasang suami istri itu melangkahkan kaki di pusat perbelanjaan. Pria itu merangkul pinggang wanitanya dengan begitu posesif. Ya, dia memang selalu begini jika berada di keramaian. Ray hanya ingin menunjukkan jika wanita di sampingnya ini adalah miliknya. Bukan apa-apa, Ray hanya tidak suka jika ada pria lain yang dengan terang-terangan meminta berkenalan dengan Lia. Apalagi jika mereka menganggap Ray sebagai kakak Lia. Sungguh sangat menyebalkan. 

Mereka berdua masuk ke salah satu toko mainan. Lia berlari menghampiri rak boneka. Sedari tadi pandangannya memang tidak luput dari salah satu boneka yang ada di sana. Matanya begitu berbinar melihat boneka unicorn. 

"Ray, aku mau ini! Lucu kan?" Lia mengambil boneka unicorn berukuran sedang. Menempelkan boneka tersebut tepat di samping wajahnya. 

Ray tertawa. Sungguh sangat menggemaskan istrinya saat ini. Seperti anak balita saja. 

Lia mendengus kesal. "Ih, kok ketawa. Jelek ya bonekanya?" Lia mengembalikan boneka tersebut ke tempat semula. 

Ray mengambilnya. Memberikan pada Lia. "Lucu, Sayang. Jangan dikembalikan di rak lagi dong!"

"Jadi aku boleh beli ini, Sayang?" tanya Lia. Matanya berkedip-kedip. Membuat pria itu bertambah gemas dengan wanitanya. 

"Boleh."

"Tapi jangan dikasih ke adik panti ya, ini punyaku!" Lia memeluk erat boneka unicorn tersebut. Wanitanya Ray rupanya sangat posesif. 

"Iya, enggak. Yaudah ayo cari mainan lagi buat anak-anak."

Ray mengambil mainan secara acak. Mana yang menurutnya menarik, itulah yang akan dia ambil. Lia juga ikut membantunya memilih beberapa mainan untuk anak-anak panti. 

Tangan mereka berdua menenteng banyak barang belanjaan. Namun, masih ada yang kurang. Ray ingin membeli buku dan peralatan sekolah untuk anak-anak panti. Mereka juga harus mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak juga kan? 

"Kamu tunggu di sini dulu ya, Sayang! Jangan ke mana-mana! Aku taruh barang-barang ini di mobil sebentar."

Lia mengangguk patuh. Dia menjatuhkan tubuhnya di salah satu bangku yang terletak di tengah mall ini. 

Saat sedang menunggu suaminya, netra wanita itu menangkap salah satu sosok yang sangat dia benci. Orang itu, dia salah satu orang yang menjadi penyebab kehancuran keluarganya.

Lia mengepalkan tangannya. Hatinya mendadak mendidih, melihat orang yang sudah menghancurkan hidupnya, tapi masih bisa bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. 

'Ternyata kamu sudah kembali, Arsa.'

'Kamu tahu, aku harus menjalani hidup dengan penuh penderitaan, sementara kamu bisa bersenang-senang di luar sana tanpa beban sedikitpun setelah menghancurkan keluargaku.'

'Akan kupastikan jika tidak lama lagi hidupmu hancur di tanganku sendiri!' 

Tidak lama Ray kembali. Ditepuknya punggung Lia, membuat wanita itu tersentak seketika.

Ray menebak wanitanya sedang marah karena mata Lia memerah. "Maaf ya, Sayang, tadi aku lama. Kamu marah?" tanya Ray. 

Lia berusaha meredam emosinya. Dia tidak ingin Ray curiga barang sedikitpun. Jangan sampai Ray tahu jika Arsalan Sagara-kakak Ray sudah kembali di negara ini. Itu akan menghambat pergerakan Lia dalam menghancurkan Arsa. 

"Ya, aku marah," balas Lia dingin, berpura-pura merajuk. 

"Loh... loh. Kok marah, kenapa?" tanya Ray. Pria itu duduk di sebelah Lia dan merangkul pundak istrinya. 

"Kamu lama. Lihatlah! Tenggorokanku sudah kering." Lia usap tenggorokannya. Dia tunjukkan pada Ray.

Ray tertawa. Dia usap puncak kepala istrinya. "Kenapa tidak membeli minum?" tanya Ray lembut. 

"Kalau aku membeli minum dan pergi dari sini, kamu akan kebingungan mencariku."

"Haha... Baiklah. Ayo kita cari minum dulu!"

***

Hati Ray menghangat. Tawa anak-anak bagaikan candu untuknya. Ah, andai saja dia sudah memiliki anak pasti akan sangat bahagia rasanya. 

"Kak Lia... Mas Ray..." panggil anak-anak. Mereka bergelayut manja setiap Ray dan Lia datang ke sini. Ya, Ray dan Lia memang rutin berkunjung ke panti, meskipun satu bulan hanya satu kali saja. 

"Nak Ray, Lia. Ayo masuk!" ajak Bu Hafizah-pengurus panti. "Anak-anak, kalian main dulu ya! Om Ray dan Tante Lia biar berbincang terlebih dahulu dengan Ibu."

Anak-anak itu mengangguk patuh. Mereka kembali bermain. 

Lia memeluk Hafizah. Dia sangat merindukan wanita paruh baya ini. Merindukan kasih sayangnya, merindukan nasihatnya, semuanya dia rindukan. Ketika masih tinggal di panti, Lia diurus dengan begitu baik oleh Hafizah.

"Bu, Lia kangen." Lia masih bergelayut manja dengan wanita paruh baya ini. 

Hafizah membalas pelukan Lia. Dia juga sangat merindukan Lia. Hafizah sudah menganggap Lia seperti anaknya sendiri. Dia begitu menyayangi Lia. Pada dasarnya Lia memang baik dan penurut. Hanya saja, fakta tentang kehancuran keluarganya membuat hatinya mati dan menjadi sosok pendendam. 

"Kalian berdua sehat?" tanya Hafizah ramah. 

"Alhamdulillah. Kami sehat, Bu" jawab Ray dan Lia serempak. 

"Oh iya, Bu. Kedatangan kami ke sini selain ingin berkunjung, juga akan memberi tahu jika kami berencana membangun panti ini dan mendirikan sekolah untuk anak-anak."

"Alhamdulillah. Ibu begitu tersanjung mendengar niat baik kalian berdua. Namun, apakah tidak berlebihan jika membangun sekolah juga? Bukankah itu membutuhkan biaya yang sangat banyak?"

"Tidak apa-apa, Bu. Membangun sekolah untuk adik-adik di sini memang salah satu impian Lia. Alhamdulillah. Ray mengabulkan salah satu impian Lia."

"Alhamdulillah. Terima kasih, Sayang. Kamu begitu peduli dengan adik-adikmu di sini." Hafizah kembali memeluk Lia. Mengucapkan banyak terima kasih karena Lia masih begitu peduli dengan anak-anak di panti. 

"Untuk proses pembangunannya sendiri, kami akan melakukan secara bertahap, Bu. Agar Ibu dan anak-anak masih tetap bisa tinggal di sini selama pembangunan berlangsung. Nanti akan diurus oleh anak buah saya," jelas Ray. 

"Baik, Nak Ray. Terima kasih banyak atas bantuannya."

"Bu, Lia mau ke sana menemui adik-adik!"

Hafizah mengangguk. Menatap kepergian Lia. Wanita itu dalam sekejap sudah berada di tengah-tengah kerumunan anak-anak. 

"Ray juga mau ke sana ya, Bu!"

"Baik, Nak Ray."

Ray membagikan mainan serta perlengkapan sekolah yang tadi dia beli bersama Lia. Anak-anak itu memeluk Ray dan Lia secara bergantian. Mereka begitu senang dengan mainan dan perlengkapan sekolah baru mereka. Terlebih, mereka senang karena kedatangan Ray dan Lia yang sudah mereka nantikan selama satu bulan belakangan ini. 

Lia berpindah tempat, dia duduk di ayunan. Menghampiri anak-anak yang tengah bermain di sana. 

Diliriknya wanita di seberang sana. Wanitanya itu tampak muram sedari ditinggal Ray di mall. Biasanya Lia akan berceloteh dan mengajak anak-anak panti bermain. Namun, sangat berbeda kali ini. Dia hanya diam memperhatikan anak-anak itu bermain dengan mainan baru mereka. Pandangan Lia juga terasa sangat kosong. 

"Sebentar ya, Om Ray mau ke sana dulu!" Ray menunjuk tempat Lia berada. Anak-anak itu mengangguk dan lanjut bermain. 

Ray duduk di ayunan bersama dengan Lia. Diusapnya puncak kepala Lia. Dia rangkul wanitanya dan disandarkan di pundaknya. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Ray. 

"Ah, tidak apa-apa, Sayang" jawab Lia lesu.

"Kamu sakit?" Ray tempelkan punggung tangannya di dahi Lia. Tidak panas. Suhu tubuh wanitanya juga normal. 

"Aku tidak apa-apa, Sayang. Mungkin hanya lelah," jawab Lia beralasan.

Sedari tadi Lia memang murung dan tidak bersemangat. Bukan karena dia sakit atau lelah seperti yang diucapkannya pada Ray barusan. Lia terus kepikiran Arsalan. Melihat pria itu sama saja dia diingatkan oleh masa lalunya yang buruk. Dia seperti kembali merasakan kehancuran keluarganya.

Mau dia berusaha sekeras apa untuk melawan, rasa takut ini tetap menjalar begitu saja. Lia tetap menguatkan hatinya. Dia akan membuktikan pada dirinya sendiri jika dia mampu menghancurkan Arsa dengan tangannya sendiri. 

"Ya sudah, kita pulang sekarang ya!" ajak Ray. Membuyarkan lamunan Lia. 

"Baiklah."

Sebenarnya Ray masih betah berada di panti ini. Namun, melihat Lia yang murung sedari tadi, Ray menjadi tidak tega. Dia juga sangat mengkhawatirkan istrinya. Takut wanita itu kelelahan dan sakit. Lagipula tujuan mereka ke sini untuk berdiskusi masalah pembangunan juga sudah selesai. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status