Share

Permainan Lia

Jemari lentik wanita itu mengusap wajah seorang pria dalam sebuah foto. Terlihat lengkungan di salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Mengejek foto si pria yang ada pada genggaman tangannya. 

"Kamu memang iblis! Namun, tahukah kamu jika aku bisa menjadi malaikat pencabut nyawa untuk iblis sepertimu? Hahaha." Wanita itu berbicara sendiri. Sudah seperti orang gila saja nampaknya. Hahaha... Ya, dia memang tidak waras semenjak hidupnya dihancurkan oleh pria itu. 

Kobaran api membingkai benda persegi yang sedari tadi dia genggam. Dia membakar foto itu hingga tak bersisa. Luruh, berhamburan, melayang-layang di udara menjadi abu. 

"Tenanglah! Sebentar lagi kamu juga akan menjadi abu seperti fotomu ini. Tinggal menunggu ajal menjemputmu saja. Hahaha..."

"Tidak... tidak. Bajingan sepertimu tidak boleh sekarat sekarang. Tidak asik bukan? Lebih asik lagi jika kamu mati secara perlahan dalam penderitaan. Tentu aku akan menikmatinya. Jika kamu menderita, akan kubuatkan sebuah pesta perayaan yang sangat megah."

"Arsa... Arsa... Hari ini bersenang-senanglah terlebih dahulu karena setelah ini kamu tidak akan bisa menikmati hidupmu yang sempurna itu!"

Wanita itu menguncir rambutnya yang berwarna kecoklatan. Tidak lupa memakai topi dan masker untuk melengkapi penampilannya saat ini. Dia terlihat berbeda dari biasanya. Penampilannya kali ini lebih ke wanita tomboy. Apalagi dengan setelan hodie dan celana jeans. Seperti bukan stylenya sehari-hari. 

"Taksi, Pak!" Dia sengaja mencegat taksi dari pinggir jalan. Tidak menggunakan taksi online. Ya, untuk menghindari saja jika sewaktu-waktu keberadaannya dilacak melalui gps. 

Dia tidak mau satu orangpun tahu akan misinya. Oleh karena itu, dia selalu bertindak sendiri, tanpa bantuan orang lain. Padahal kalau dipikir-pikir wanita ini memiliki banyak uang. Dia bisa saja menyuruh orang kepercayaannya untuk membuat targetnya ini menderita. Dia hanya perlu duduk manis dan melihat hasil kerja orang bayarannya. Namun, dia tidak mau. Selain tidak percaya dengan siapapun, dia juga akan merasa puas jika bisa menghancurkan hidup targetnya dengan tangannya sendiri. 

Taksi yang dia tumpangi berhenti di salah satu apartemen mewah. Dia ulurkan beberapa lembar uang untuk membayar jasa si pengemudi. 

Langkah kakinya menapaki salah satu unit di apartemen lantai tujuh belas itu. Ditaruhnya sebuah kotak yang dia bawa di depan pintu. Tidak lupa sebelum kabur, dia telah menekan bel di pintu apartemen tersebut. 

Seorang wanita cantik keluar dari pintu apartemen. Pandangannya meneliti ke sekitar. Tidak ada siapa-siapa di sana. 

"Siapa sih? Iseng banget," gerutu wanita cantik tersebut. 

Saat akan berbalik, pandangan wanita cantik itu tertuju pada kotak yang ada di depan pintu. Diambilnya kotak tersebut. Senyuman ceria tidak luput dari wajahnya.

"Ah, Mas Arsa. Romantis banget sih pakai kirim-kirim kado segala. Dikasih ke aku setelah pulang kerja nanti kan juga bisa."

Wanita itu terus tersenyum sembari membawa kotak tersebut. Jelas sekali dia bahagia. Semuanya bisa terlihat dari binar matanya.

Lia tersenyum tipis di balik tempat persembunyiannya. Langkah awal dari misinya berjalan mulus tanpa hambatan. Bisa dia pastikan jika setelah ini rumah tangga Arsa dan Bella mengalami sedikit guncangan. 

"Hahaha... Selamat menikmati kejutan kecil dariku, Arsa." Lia tertawa jahat. Wanita itu bergegas pulang setelah memastikan semuanya berjalan sesuai dengan semestinya.

Bella dengan tidak sabar membuka kotak tersebut. Di dalam kotak besar itu ternyata terdapat kotak lagi dengan ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya. Dia buka kotak itu, untunglah tidak ada kotak lagi di dalamnya. Dia sangat malas jika dikerjai dengan membuka banyak kotak.

Terdapat sebuah kemeja polos lengan panjang berwarna hitam. "Ini seperti kemejanya Mas Arsa." Kening wanita itu berkerut. Masih tidak mengerti mengapa Arsa mengirimi dirinya kemeja.

Dia buka lipatan kemeja itu, dia bentangkan. Sebuah surat yang asalnya dari dalam lipatan itu jatuh begitu saja. Bella buka surat itu dan dia baca baik-baik. 

[Mas Arsa, kemejamu yang tertinggal di rumahku sudah aku laundry. Tidak lupa kusemprotkan parfum yang selama ini menjadi favoritmu. Semoga wangi parfum itu bisa sedikit menuntaskan rindumu padaku, Mas. -Tertanda yang terkasih.] 

Bella meremas kertas itu. Dia kepalkan menjadi sebuah bola. Dilemparkannya secara asal ke sembarang arah. Lalu diambilnya kemeja yang dia duga milik suaminya. Tercium aroma wangi yang menguar dari sana. 

"Arghhh... Mas Arsa! Kamu pasti selingkuh kan, Mas?" Bella menangis. Tubuhnya luruh di atas lantai. Dia banting kemeja beserta kotaknya itu.

Benda-benda di sekitarnya juga tidak luput dari pandangannya. Dia lempar benda-benda itu sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. 

"Kita baru beberapa hari di negara ini, tapi kamu sudah punya selingkuhan saja, Mas. Ah, jangan-jangan memang niatmu kembali ke negara ini agar bisa dekat dengan selingkuhmu." 

Praduga-praduga itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Membuat segala sesuatunya menjadi lebih kacau. 

Arsa pulang lebih awal. Pria itu ingin mengajak istrinya makan siang di luar. Namun siapa sangka, saat pintu terbuka pemandangan tidak sedap tampak di depan mata. Barang-barang berserakan di lantai. Ada kepingan vas bunga juga di sana. 

Netra pria itu menyelisik sekitarnya. Oh, astaga... Apa benar wanita yang duduk di pojok ruangan itu istrinya? Ya iyalah, memang siapa lagi. Kamu kira kuntilanak wkwk... 

"Bella, Sayang..." Arsa memelankan langkahnya, tapi semakin lama semakin dekat dengan istrinya. Lututnya ditekuk, duduk bersebelahan dengan Bella. 

Dia usap puncak kepala Bella. Rambutnya yang panjang menutupi seluruh wajahnya yang ditekuk di atas lutut. Kedua tangannya memegangi lutut dengan erat. Oh, astaga... Dia menangis. 

"Sayang, kamu menangis?" tanya Arsa dengan nada yang lembut. 

Bella tetap bergeming. Nampaknya dia enggan berbicara dengan suaminya ini. Siapa juga yang ingin berbicara dengan orang yang dia anggap sudah menghianatinya? Pasti malas bukan? Kalau kecewa jangan ditanya lagi. Itu sudah pasti. 

Arsa terus mengusap puncak kepala Bella dengan kasih sayang. Siapa tahu dengan usapannya ini bisa meredamkan tangisan istrinya. "Sayang, sudah ya menangisnya. Kalau ada masalah kita bicarakan baik-baik," ucapnya masih berbicara dengan lembut. Berharap setelah ini tangisan Bella mereda. 

Satu jam berlalu. Arsa bingung harus melakukan apa. Tangannya lama-lama bisa pegal jika mengusap-usap kepala istrinya terus menerus. Arsa terus berusaha membujuk Bella agar wanita itu mau berbicara dengannya. 

"Ayo dong, Sayang. Katakan padaku, kamu kenapa?"

Tangis Bella akhirnya mereda juga. Arsa mengusap dadanya, mengisyaratkan sebuah kelegaan. Bella mendongakkan kepalanya. Tidak dapat dipungkiri, mata wanita itu berubah menjadi sembab. Bagaimana tidak, dia sangat betah menangis berjam-jam lamanya.

Tidak tega Arsa dibuatnya. Dia usap sisa air mata yang masih setia menghiasi wajah istrinya. Tidak lupa dia rapikan juga rambut Bella yang berantakan. 

Bella masih setia untuk mengunci mulutnya. Sepertinya dia tidak menemukan gembok itu untuk membuka mulutnya yang terkunci rapat-rapat ini. 

Malang sekali nasibmu, Arsa. Niat hati ingin mengajak makan siang di luar. Ini malah didiamkan oleh istrimu sendiri. 

Bella beranjak dari duduknya. Langkah kakinya mendekati almari. Dia ambil beberapa potong baju, lalu dimasukkan ke dalam koper.

Arsa semakin tidak mengerti. Keningnya mengerut. Dia bertanya-tanya, 'sebenarnya apa yang terjadi dengan istriku? Kemasukan jin tomang kah, atau kenapa?'

"Sayang, kenapa bajumu dimasukkan ke dalam koper? Mau liburan kah?" tanya Arsa. Dia terus mengamati gerak-gerik istrinya yang dengan cekatan menata baju ke dalam koper. 

"Mau minggat!"

Duar!!!

Dua kata pertama yang keluar dari mulut istrinya bagaikan sambaran petir di siang bolong untuk Arsa. Pria itu tanpa banyak bicara lagi segera memeluk istrinya erat-erat. Tidak akan dia biarkan Bella pergi dari sisinya barang satu jengkal pun. 

"Sayang, jangan pergi! Tolong katakan ada apa sebenarnya?"

Bella masih saja mengunci mulutnya rapat-rapat. Hanya gerak tubuhnya saja yang berbicara. Dia meronta agar bisa terlepas dari pelukan suaminya. Namun, kenyataannya Bella tidak dapat terlepas dari pelukan Arsa yang begitu erat. Langkahnya diseret secara paksa sembari tangan kanannya menarik koper. Sungguh, tubuhnya terasa kaku saat berjalan dengan dipeluk seperti ini.

Langkah kaki Bella terseok-seok mendekati pintu. Tangannya meraih gagang pintu, tapi sungguh sial. Arsa begitu cepat meraih tangannya. Arsa gendong istrinya menuju tempat tidur. Tidak ada cara lain untuk membuat Bella mau berbicara dengannya. Menurutnya, masalah dapat mereda jika diselesaikan di atas ranjang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status