Arsa kira semuanya sudah baik-baik saja. Arsa kira konflik diantara keduanya telah berakhir, tapi dia salah. Bella masih marah dan menaruh kecurigaan yang besar padanya. Arsa sendiri masih tidak mengerti mengapa dia dituduh berselingkuh. Padahal tidak pernah sekalipun dia menduakan istrinya. Berniat untuk selingkuh pun tidak ada di dalam benaknya. Ah, apa-apaan ini. Menurut Arsa, Bella sudah benar-benar keterlaluan. Wanita itu mengaktifkan gps di ponsel Arsa. Dia akan melacak keberadaan suaminya setiap waktu. Tidak sampai di situ saja. Aplikasi chatting suaminya juga sudah dia sadap. Jadi percakapan apapun akan dia ketahui. Ah, sungguh sangat menyebalkan. Seperti tidak memiliki privasi sama sekali. Mengapa juga harus posesif seperti ini? Tanpa Bella bersusah payah mengawasinya pun, Arsa tidak akan berselingkuh. Dia pria yang sangat setia."Tunggu dulu!" Bella menahan lengan suaminya saat pria itu akan berlalu begitu saja."Apalagi. Aku sudah terlambat." Arsa menunjuk jam di pergelan
Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB. Dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja sudah ditata dengan begitu rapi. Ray sengaja pulang dari kantor lebih awal dari biasanya. Dia ingin bersantai di rumah ditemani sang istri tercinta. Sebelum pulang, Ray mampir ke toko kue terlebih dahulu. Dia ingin membeli kue rasa strawberry kesukaan wanitanya. Membayangkan Lia memakan kue itu dengan begitu lahap membuat senyum di bibir Ray berkembang. "Selamat sore, Tuan Ray." Sapa penjaga toko kue dengan ramah. Dia memang sudah mengenal Ray karena pria itu pelanggan tetap di toko ini. "Sore, Mbak. Biasa ya, Mbak," ucap Ray yang tentu sudah dapat dipahami oleh si penjaga toko. "Baik, Tuan Ray. Tunggu sebentar ya!"Penjaga toko kue pergi ke dalam. Mengambil kue strawberry yang baru saja keluar dari open. Bisa dilihat bahwa asap masih mengepul di atasnya. Dikemasnya kue tersebut memakai plastik putih, lalu memasukkannya ke dalam kardus. Setelah itu baru di masukkan ke dalam paper bag."Ini, Tuan Ray!" Pen
#Harap bijak dalam membaca! Untuk teman-teman yang kurang berkenan dengan bab ini bisa langsung di skip. "Lia, bangun!" sentak Ray kasar. Tidak ada manis-manisnya sama sekali. Wanita itu bergeming. Seperti tidak mendengar suara apapun. Alam mimpinya terlalu indah untuk dia tinggalkan begitu saja. "Lia, bangun!" Suara Ray naik beberapa oktaf. Dia guncangkan tubuh Lia perlahan. Sama, masih tidak ada reaksi sama sekali. Nampaknya wanita itu terlalu terlena dalam tidurnya. Entahlah, sedang bermimpi apa dia sehingga enggan membuka mata. Sudah habis kesabaran Ray. Amarah semakin menjalar ke setiap sudut hatinya. Dia bopong tubuh wanitanya. Dia jatuhkan ke atas ranjang berukuran king size. Dengan begini Lia akan terkejut dan bangun dari tidurnya. Benar saja kan? Lihatlah! Wanita ini sudah membuka matanya. "Gempa... Gempa..." teriak Lia begitu bangun dari tidurnya. "Heh, sadarlah!" Ray menepuk pipi kanan dan kiri wanita itu. "Siapa kamu?" tanya Lia masih di dalam mode linglung sehabis
"Sayang, bangun yuk! Aku sudah bawakan sarapan untukmu." Ray mengusap kepala Lia. Wanita itu masih meringkuk di dalam selimut tebalnya. Membuka mata pun enggan. Rasa malas membersamainya saat ini."Bangun dulu yuk! Nanti setelah sarapan tidur lagi," bujuk Ray lembut. Dia masih mengusap puncak kepala wanitanya dengan sayang. Ray tersenyum bila mengingat malam panjang mereka berdua. Akhirnya apa yang ditunggu-tunggu selama satu bulan pernikahannya ini bisa mereka lakukan dengan indah. Gara-gara mmbayangkan tentang keindahan semalam Ray jadi menginginkannya lagi kan. Ray kecup kening wanitanya. Kecupan itu beralih menuju kedua mata Lia, lalu turun ke hidung mancung Lia, dan yang terakhir ke bibir ranum berperisa ceri yang sangat Ray suka. Merasa diusik, Lia mengerjapkan matanya. Mimpi indahnya jadi sirna karena Ray terus mengganggunya. "Eghhh," lenguh Lia sembari meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Remuk redam seluruh tubuhnya. Ray begitu perkasa semalam. Menggempur Lia habis
Puas mencumbu sang istri hingga berulang kali membuat Ray kelelahan. Ray berbaring sembari memeluk tubuh Lia dari belakang dengan posesif. Lia meremas seprai dengan kuat, menyalurkan emosinya di sana. "Bajingan kamu, Ray! Biadab!" maki Lia.Ray tersentak karena makian Lia. Bukan membalas makian tersebut, Ray malah semakin erat memeluknya. Mengusel-usel tubuh polos sang wanita. "Hmm," gumam Ray sembari membenamkan wajahnya pada ceruk leher Lia. Lia meronta dari dekapan Ray. Berusaha melepaskan kaitan tangan Ray yang melingkar di perutnya. "Lepaskan aku, brengsek!""Tenanglah, Sayang. Apa kamu nggak capek marah-marah terus dari tadi, hmm?" bisik Ray dengan mata setengah terpejam. "Lepas, Ray! Aku mau ke kamar mandi." Lia beralasan. Lia yakin dengan cara ini dia bisa kabur."Nggak boleh. Nanti kamu pergi lagi," tolak Ray seakan mengetahui rencana Lia. Dugaan Ray tepat sekali. Memang itu keinginan Lia. Kabur dari Ray. Ray semakin posesif, membuat Lia susah lepas dari dekapannya. Li
Telinga Arsa terasa panas. Bella menjewernya tanpa ampun. Saat ini mereka bertiga tengah menjadi tontonan gratis bagi pengunjung caffe. "Bagus ya kamu. Dibawain bekal malah makan di sini."Arsa memegangi tangan Bella di daun telinganya yang memerah. "Ampun, Sayang. Lepasin! Malu dilihat orang. Aku lagi meeting sama klien ini."Bella melirik Arsa dengan sinis. "Ini yang namanya meeting? Makan sambil disuapin, hmm?"Arsa memijat pelipisnya. Arsa rasa bukan hanya telinganya saja yang sakit, tapi juga kepalanya. Menghadapi wanita marah seperti istrinya sangat menguras pikiran dan tenaga, membuatnya begitu pusing. "Siapa yang disuapin sih, Yang? Astaga...""Berkilah terus! Rasain ini!" Bella melintir telinga Arsa sekuat tenaga. Menumpahkan segala rasa kesalnya."Aduh... Udah, Sayang. Sakit," rintih Arsa. Bella melepaskan jemari lentiknya di daun telinga Arsa. Jemari lentiknya kini beralih menunjuk wajah Cantika seraya menatap tajam wanita yang dianggap penggoda itu. "Dan kamu, wanita ga
Netranya memandang nanar di sepanjang jalanan. Berulang kali mengumpat karena tidak menemukan keberadaan sang wanita. Pikirannya semakin kalut. Hatinya semakin resah. Ray memilih menepi barang sejenak. Menghubungi Anggara untuk mencari informasi di mana keberadaan wanitanya. "Bagaimana, Anggara? Apa sudah ada info?" tanya Ray ke inti pembahasan. "Keberadaan Nyonya saat ini belum bisa dilacak lebih jauh. Jejak terakhirnya berada di pertigaan hotel. Nyonya berjalan ke arah selatan. Detektif kita sudah menyelidiki jalanan yang kemungkinan dilewati Nyonya Lia, tapi sayang sekali, di sana tidak ada CCTV jalan. Sangat menyulitkan untuk kami melacak keberadaan Nyonya Lia.""Coba lacak melalui ponselnya!""Sudah, Pak. Ponselnya sudah tidak aktif semenjak dari hotel. Sim cardnya juga tidak terdeteksi.""Lacak dari atm, Anggara. Siapa tahu Lia menarik uang.""Sudah juga, Pak. Nyonya memang menarik uang dalam jumlah yang banyak di mesin atm dekat hotel. Apa struknya perlu saya kirim, Pak?""T
"Bang, kontrakannya udah pasti ada kan?" tanya Lia memastikan. Pasalnya Lia ingin sekalian membeli perabotan rumah. "Ada. Neng mau yang bagus apa yang biasa aja?" tanya Farid. "Pokoknya yang bersih, yang nyaman juga. Nggak usah terlalu luas gapapa. Kan cuma ditempatin sendiri.""Di tempat Bu Anik aja entar.""Hmm. Kalau beli peralatan dapur sekalian gapapa kan bang? Saya juga butuh magicom sama kipas angin. Abang bisa bawanya?""Bisa, Neng. Gampang."Setelah membeli berbagai makanan dan kebutuhan, Farid mengantarkan Lia menemui Bu Anik-pemilik kontrakan. "Permisi, Bu Anik," sapa Farid. "Ada apa, Bang Farid?" tanya Bu Anik sembari menyingkirkan berbagai alat-alat perkebunan. "Ini, Neng Ana lagi cari kontrakan.""Ayo masuk dulu, Neng Ana, Farid," ajak Bu Anik. "Makasih, Bu. Kami di sini saja," tolak Lia sopan. "Saya mau lihat langsung kontrakannya apa boleh?" tanya Lia. "Boleh, Neng. Bentar ya, Ibu ambilin kunci kontrakannya dulu."Bu Anik mengantarkan Lia melihat isi di dalam k