Share

5. Kencan yang Gagal

Keesokan hari, sepulang dari kantor Safia mendapati ibunya tengah memilah-milah gaun di kamarnya.

"Ngapain, Bu?" tanyanya sembari melepar tas ke meja dan menjatuhkan diri ke ranjang.

"Lekas mandi! Sebentar lagi Nak Jevin mau menjemput," jawab Ibu dengan masih sibuk memilih gaun.

"Jemput apaan?" Safia yang kaget gegas terduduk menatap sang ibu.

"Kencanlah. Biar kalian saling kenal." Ibu menjawab disertai senyuman senang. "Tadi Bu Jenni telpon Ibu, katanya gak lama lagi mereka akan sampai. Jadi ...sudah sana buruan mandi!" suruh Ibu.

"Tapi, Bu-"

"Gak ada tapi-tapian!" sambar Ibu sambil mendorong tubuh anaknya ke kamar mandi.

Safia sendiri tak kuasa menolak. Gadis itu lekas membersihkan badannya yang terasa sudah sangat lengket. Safia tidak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi. Sang ibu sedari tadi menggedor-gedor pintu memanggil namanya.

Lalu begitu keluar dari kamar mandi, sang ibu langsung menarik tangan Safia. Mendudukkan anak gadisnya di depan meja rias. Wajah Safia ibu sapu dengan kuas dan beberapa riasan. Penuh telaten ibu melukis wajah Safia hingga terlihat begitu manis.

Tak lama kemudian Sabira masuk kamar. Gadis belia itu memberi tahukan kedatangan sang tamu. Ibu dan Safia mengangguk.

Ketiganya segera turun untuk menemui tamunya. Tampak Bu Jenni tengah duduk dengan anaknya yang terlihat begitu mempesona di hadapan Safia. Padahal Jevin hanya memakai kaos ketat lengan pendek berwarna hitam senada dengan celana jeans yang ia pakai.

"Makin imut aja kamu," puji Bu Jenni begitu melihat Safia. Gadis itu tersenyum kecil merasa tersanjung. Dia lalu mencium punggung tangan calon mertuanya itu dengan takzim.

"Jevin ajak Safia jalan, biar kalian lebih saling kenal! " perintah Bu Jenni kemudian kepada putranya. Jevin tampak terperangah. Pemuda itu hanya diam saja tak mau menjawab.

"Ayo sana! Mama biar di sini saja. Mau belajar bikin kue yang enak sama Ratih," suruh Bu Jenni lagi karena dilihatnya Jevin diam tak menggubris.

Jevin yang pada dasarnya penurut tidak bisa menolak. Akhirnya, setelah mendesah pelan pemuda itu berjalan ke luar. Safia pun mengikuti di belakang. Gadis itu melempar senyum manis pada dua wanita paruh baya itu sebagai tanda pamit.

"Ke mana?" tanya Jevin datar begitu Safia masuk mobil dan duduk di samping Jevin yang pegang kemudi.

"Terserah," jawab Safia pendek.

Jevin melajukan mobilnya ke arah sebuah mal terdekat. Sepanjang perjalanan kedua insan manusia itu tidak ada yang membuka suara. Jevin sibuk dengan kemudinya, sedang Safia hanya diam memandang ke luar jendela mobil.

Ketika mereka sampai, Jevin tidak punya inisiatif untuk membukakan pintu mobil untuk Safia. Bahkan dirinya berjalan begitu saja di depan Safia. Membuat Safia sedikit mempercepat jalannya untuk mengimbangi langkah panjang Jevin

Keduanya berjalani tanpa bicara. Jevin yang enggan menawari dan Safia yang sungkan mengajak. Keduanya tampak begitu tersiksa. Lalu setelah puas berjalan mengelilingi mal dalam diam, Jevin membawa Safia duduk di sebuah Coffee Shop.

Jevin memesan dua cangkir cappucino untuk sendiri dan Safia. Kembali pemuda itu bingung harus bagaimana. Safia pun merasakan hal yang sama. Cewek itu tidak berani mengeluarkan suara.

"Fia ... bagaimana menurutmu?"

Akhirnya, Jevin membuka mulut setelah keheningan lama di antara keduanya. Cowok itu bertanya usai menyeruput minumannya.

"Apa?" tanya Safia kikuk. Dirinya ikut menyesap minuman yang dipesan Jevin untuknya.

"Ya ... perjodohan kita," jawab Jevin datar. Pemuda itu menatap orang-orang yang melintas. Safia diam saja. Hatinya bingung mau menjawab apa.

"Embun sahabatmu kan?" tanya Jevin lagi. Kali ini pemuda itu menatap Safia lurus. Safia sendiri hanya bisa mengiyakan. "Kalian sudah berteman lama, iya?" Jevin semakin menatap lekat dan Safia kembali hanya bisa mengangguk.

"Kamu pasti sudah tahu perjalanan cinta kami kan?" Lagi-lagi Safia hanya bisa mengangguk. "Aku mencintai Embun sejak masih di bangku SMA, bahkan aku sudah berjanji untuk menikahinya." Jevin bertutur kisah.

"Itu ... eemm, berarti kamu menolak perjodohan ini?" tukas Safia memastikan.

"Memang kamu tega mengkhianati sahabatmu sendiri?" Jevin balik tanya dengan nada dingin disertai tatapan yang dingin pula.

Jleb!

Seperti ada sebuah belati tajam yang menikam hati Safia mendengar ucapan yang dilontarkan Jevin untuknya. Gadis itu membisu dan menundukkan muka. Malu dan sedih bercampur menjadi satu. Hati gadis itu terkoyak lara.

Jevin yang melihat perubahan wajah pada Safia lekas meraih tangan gadis itu. "Aku mohon tolong tolak perjodohan ini, Safia," pinta Jevin memelas. "Kita tidak saling mencintai. Kita pasti akan saling tersiksa jika patuh menjalani pernikahan nanti." Jevin bertutur penuh pengibaan.

Tidak! Aku mencintaimu, Jevin. Aku sungguh ingin menikah denganmu. Begitu Safia jeritan hati Safia. Gadis itu tidak mampu bahkan malu mengakui hal itu.

"Ayolah, Safia! Kamu tidak mungkin mengkhianati kawan tercintamu sendiri bukan?" desak Jevin semakin membuat Safia ragu.

"Kalian?"

Sebuah suara membuat sepasang muda-mudi itu menoleh ke arah sumber suara. Tampak Embun menatap keduanya dengan bingung. Lalu saat mata Embun beralih menatap remasan tangan Jevin ke Safia, dirinya menjadi sedikit cemburu. Dengan cepat Jevin melepaskan genggamannya pada jemari Safia.

"Hai ... Beib," sapa Jevin lekas bangkit berdiri. Dia langsung menghampiri sang belahan hati yang menatap bingung padanya juga Safia.

"Tadi ... kamu bilang mau nemenin Mamamu chek-up, kok sekarang ada di sini bareng Fia?" tanya Embun terdengar cemburu melihat Jevin tadi memegang tangan sahabatnya.

"Emm ... i-iya. Tadi aku emang baru saja nemenin Mama chek- up," sahut Jevin segera. "Tapi abis itu Mama minta dibeliin parfum. Terus gak sengaja ketemu Fia di sini," kilah Jevin berdusta, "iya kan Fi?" Jevin mengerling pada Safia.

"Eem ... Iya," tanggap Safia ikut berbohong. Gadis itu tersenyum kecut mengiyakan.

"Begitu?" Embun memastikan.

"Iya," sahut Jevin cepat. "Yuk ahh temenin aku ke toko parfum!" ajak Jevin ke Embun.

"Trus Fia gimana?" tanya Embun menatap sang sahabat.

"Aku ...." Safia ragu dan bingung. Dari lagaknya Jevin memang tidak menginginkan dirinya ikut serta. Ia pun juga enggan menjadi obat nyamuk lagi pada hubungan Jevin dan Embun. "Aku mau pulang saja." Safia memutuskan. "Tadinya tadi mau cari tas buat Bira, tapi gak jadi deh. Abis gak tahu kesukaan Bira kayak gimana." Safia ikut beralasan bohong.

Dengan kikuk gadis itu melangkah mundur setelah mengangguk pada sejoli di depannya. Dia melambaikan tangannya ke Embun dan segera menjauh.

Beberapa langkah dirinya berjalan, Safia menoleh ke arah sepasang kekasih di belakangnya. Melihat dengan mesra Jevin merangkul Embun, hati Safia terasa teremas. Dia mengutuk kenapa hatinya harus sesakit ini menyaksikan hal itu. Padahal dia sadar, dirinya bukan siapa-siapanya Jevin. Dirinya juga tidak berhak sedih apalagi marah. Dengan langkah lesu tidak bertenaga Safia melangkah pulang. Sesekali dirinya mendongak ke atas untuk menahan air mata yang siap membludak.

***

Safia telah sampai di rumah denganmenaiki taksi. Air mata yang sekuat tenaga ia tahan, mengalir juga. Ketika hendak turun, gadis itu mengelap matanya hingga kering dengan tisu. Meninggalkan mata sembap dan hidung yang merah.

Melihat Safia pulang seorang diri, Bu Jenni tampak gusar.

"Ada masalah? Kenapa pulang sendiri?" tanya Bu Jenni bingung.

Wanita itu cemas melihat penampilan Safia yang berantakan. Safia sendiri hanya mampu menggeleng tanpa mau membuka mulut.

"Kalian bertengkar?" Bu Jenni bertanya lagi

Kembali Safia bisa menggeleng.

"Atau kalian bertemu dengan Embun?" tebak Bu Jenni sambil menatap mata Safia lekat guna mencari jawaban. Kali ini gadis itu diam menunduk.

"Gadis itu ...." Bu Jenni terlihat geram. "Dia memang harus segera diberi tahu, kalo Jevin sudah punya calon istri," ujar Bu Jenni kemudian. Namun, itu justru membuat Safia merasa tak enak hati. Antara rasa bersalah dan bingung.

"Ya, sudah sebaiknya Tante permisi dulu. Kamu baik-baik saja di rumah," pamit Bu Jenni kemudian. "Ingat, Tante tidak akan pernah merestui hubungan Jevin dengan Embun. Jadi Safia tenang saja, ya." Bu Jenni mencoba menghibur hati Safia. Dan Safia kembali merasa bersalah. Dia tidak bermaksud menjadi orang ketiga dalam hubungan Jevin dan Embun. Namun, ia tidak kuasa menolak.

Usia mencium dan memeluk Safia hangat, Bu Jenni beranjak pergi. Safia sendiri hanya mampu memandangi kepergian wanita itu tanpa mau mengantar sampai ke pintu.

Safia segera menuju ke kamarnya begitu Be Jenni tidak tampak lagi di hadapan. Gadis itu menaiki anak tangga dengan gontai. Begitu sampai dalam kamar, dirinya duduk di tepi ranjang dengan lemah.

Perlahan ia melepaskan ikatan rambut yang tertata rapi di jalinan rambutnya. Gadis itu melemparkan begitu saja benda kecil itu ke lantai. Cepat ia menghapus lipstik merah muda yang menghiasi bibir tipisnya.

Bayangan Jevin yang merangkul mesra Embun, serta tatapan dan gelayutan Embun pada pemuda itu kembali terlintas di mata. Kenapa aku harus sakit hati dan marah. Jerit tertahan hati Safia. Tubuh gadis itu terguncang. Kembali Safia terisak tertahan.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status