Keesokan hari, sepulang dari kantor Safia mendapati ibunya tengah memilah-milah gaun di kamarnya.
"Ngapain, Bu?" tanyanya sembari melepar tas ke meja dan menjatuhkan diri ke ranjang.
"Lekas mandi! Sebentar lagi Nak Jevin mau menjemput," jawab Ibu dengan masih sibuk memilih gaun.
"Jemput apaan?" Safia yang kaget gegas terduduk menatap sang ibu.
"Kencanlah. Biar kalian saling kenal." Ibu menjawab disertai senyuman senang. "Tadi Bu Jenni telpon Ibu, katanya gak lama lagi mereka akan sampai. Jadi ...sudah sana buruan mandi!" suruh Ibu.
"Tapi, Bu-"
"Gak ada tapi-tapian!" sambar Ibu sambil mendorong tubuh anaknya ke kamar mandi.
Safia sendiri tak kuasa menolak. Gadis itu lekas membersihkan badannya yang terasa sudah sangat lengket. Safia tidak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi. Sang ibu sedari tadi menggedor-gedor pintu memanggil namanya.
Lalu begitu keluar dari kamar mandi, sang ibu langsung menarik tangan Safia. Mendudukkan anak gadisnya di depan meja rias. Wajah Safia ibu sapu dengan kuas dan beberapa riasan. Penuh telaten ibu melukis wajah Safia hingga terlihat begitu manis.
Tak lama kemudian Sabira masuk kamar. Gadis belia itu memberi tahukan kedatangan sang tamu. Ibu dan Safia mengangguk.
Ketiganya segera turun untuk menemui tamunya. Tampak Bu Jenni tengah duduk dengan anaknya yang terlihat begitu mempesona di hadapan Safia. Padahal Jevin hanya memakai kaos ketat lengan pendek berwarna hitam senada dengan celana jeans yang ia pakai.
"Makin imut aja kamu," puji Bu Jenni begitu melihat Safia. Gadis itu tersenyum kecil merasa tersanjung. Dia lalu mencium punggung tangan calon mertuanya itu dengan takzim.
"Jevin ajak Safia jalan, biar kalian lebih saling kenal! " perintah Bu Jenni kemudian kepada putranya. Jevin tampak terperangah. Pemuda itu hanya diam saja tak mau menjawab.
"Ayo sana! Mama biar di sini saja. Mau belajar bikin kue yang enak sama Ratih," suruh Bu Jenni lagi karena dilihatnya Jevin diam tak menggubris.
Jevin yang pada dasarnya penurut tidak bisa menolak. Akhirnya, setelah mendesah pelan pemuda itu berjalan ke luar. Safia pun mengikuti di belakang. Gadis itu melempar senyum manis pada dua wanita paruh baya itu sebagai tanda pamit.
"Ke mana?" tanya Jevin datar begitu Safia masuk mobil dan duduk di samping Jevin yang pegang kemudi.
"Terserah," jawab Safia pendek.
Jevin melajukan mobilnya ke arah sebuah mal terdekat. Sepanjang perjalanan kedua insan manusia itu tidak ada yang membuka suara. Jevin sibuk dengan kemudinya, sedang Safia hanya diam memandang ke luar jendela mobil.
Ketika mereka sampai, Jevin tidak punya inisiatif untuk membukakan pintu mobil untuk Safia. Bahkan dirinya berjalan begitu saja di depan Safia. Membuat Safia sedikit mempercepat jalannya untuk mengimbangi langkah panjang Jevin
Keduanya berjalani tanpa bicara. Jevin yang enggan menawari dan Safia yang sungkan mengajak. Keduanya tampak begitu tersiksa. Lalu setelah puas berjalan mengelilingi mal dalam diam, Jevin membawa Safia duduk di sebuah Coffee Shop.
Jevin memesan dua cangkir cappucino untuk sendiri dan Safia. Kembali pemuda itu bingung harus bagaimana. Safia pun merasakan hal yang sama. Cewek itu tidak berani mengeluarkan suara.
"Fia ... bagaimana menurutmu?"
Akhirnya, Jevin membuka mulut setelah keheningan lama di antara keduanya. Cowok itu bertanya usai menyeruput minumannya.
"Apa?" tanya Safia kikuk. Dirinya ikut menyesap minuman yang dipesan Jevin untuknya.
"Ya ... perjodohan kita," jawab Jevin datar. Pemuda itu menatap orang-orang yang melintas. Safia diam saja. Hatinya bingung mau menjawab apa.
"Embun sahabatmu kan?" tanya Jevin lagi. Kali ini pemuda itu menatap Safia lurus. Safia sendiri hanya bisa mengiyakan. "Kalian sudah berteman lama, iya?" Jevin semakin menatap lekat dan Safia kembali hanya bisa mengangguk.
"Kamu pasti sudah tahu perjalanan cinta kami kan?" Lagi-lagi Safia hanya bisa mengangguk. "Aku mencintai Embun sejak masih di bangku SMA, bahkan aku sudah berjanji untuk menikahinya." Jevin bertutur kisah.
"Itu ... eemm, berarti kamu menolak perjodohan ini?" tukas Safia memastikan.
"Memang kamu tega mengkhianati sahabatmu sendiri?" Jevin balik tanya dengan nada dingin disertai tatapan yang dingin pula.
Jleb!
Seperti ada sebuah belati tajam yang menikam hati Safia mendengar ucapan yang dilontarkan Jevin untuknya. Gadis itu membisu dan menundukkan muka. Malu dan sedih bercampur menjadi satu. Hati gadis itu terkoyak lara.
Jevin yang melihat perubahan wajah pada Safia lekas meraih tangan gadis itu. "Aku mohon tolong tolak perjodohan ini, Safia," pinta Jevin memelas. "Kita tidak saling mencintai. Kita pasti akan saling tersiksa jika patuh menjalani pernikahan nanti." Jevin bertutur penuh pengibaan.
Tidak! Aku mencintaimu, Jevin. Aku sungguh ingin menikah denganmu. Begitu Safia jeritan hati Safia. Gadis itu tidak mampu bahkan malu mengakui hal itu.
"Ayolah, Safia! Kamu tidak mungkin mengkhianati kawan tercintamu sendiri bukan?" desak Jevin semakin membuat Safia ragu.
"Kalian?"
Sebuah suara membuat sepasang muda-mudi itu menoleh ke arah sumber suara. Tampak Embun menatap keduanya dengan bingung. Lalu saat mata Embun beralih menatap remasan tangan Jevin ke Safia, dirinya menjadi sedikit cemburu. Dengan cepat Jevin melepaskan genggamannya pada jemari Safia.
"Hai ... Beib," sapa Jevin lekas bangkit berdiri. Dia langsung menghampiri sang belahan hati yang menatap bingung padanya juga Safia.
"Tadi ... kamu bilang mau nemenin Mamamu chek-up, kok sekarang ada di sini bareng Fia?" tanya Embun terdengar cemburu melihat Jevin tadi memegang tangan sahabatnya.
"Emm ... i-iya. Tadi aku emang baru saja nemenin Mama chek- up," sahut Jevin segera. "Tapi abis itu Mama minta dibeliin parfum. Terus gak sengaja ketemu Fia di sini," kilah Jevin berdusta, "iya kan Fi?" Jevin mengerling pada Safia.
"Eem ... Iya," tanggap Safia ikut berbohong. Gadis itu tersenyum kecut mengiyakan.
"Begitu?" Embun memastikan.
"Iya," sahut Jevin cepat. "Yuk ahh temenin aku ke toko parfum!" ajak Jevin ke Embun.
"Trus Fia gimana?" tanya Embun menatap sang sahabat.
"Aku ...." Safia ragu dan bingung. Dari lagaknya Jevin memang tidak menginginkan dirinya ikut serta. Ia pun juga enggan menjadi obat nyamuk lagi pada hubungan Jevin dan Embun. "Aku mau pulang saja." Safia memutuskan. "Tadinya tadi mau cari tas buat Bira, tapi gak jadi deh. Abis gak tahu kesukaan Bira kayak gimana." Safia ikut beralasan bohong.
Dengan kikuk gadis itu melangkah mundur setelah mengangguk pada sejoli di depannya. Dia melambaikan tangannya ke Embun dan segera menjauh.
Beberapa langkah dirinya berjalan, Safia menoleh ke arah sepasang kekasih di belakangnya. Melihat dengan mesra Jevin merangkul Embun, hati Safia terasa teremas. Dia mengutuk kenapa hatinya harus sesakit ini menyaksikan hal itu. Padahal dia sadar, dirinya bukan siapa-siapanya Jevin. Dirinya juga tidak berhak sedih apalagi marah. Dengan langkah lesu tidak bertenaga Safia melangkah pulang. Sesekali dirinya mendongak ke atas untuk menahan air mata yang siap membludak.
***
Safia telah sampai di rumah denganmenaiki taksi. Air mata yang sekuat tenaga ia tahan, mengalir juga. Ketika hendak turun, gadis itu mengelap matanya hingga kering dengan tisu. Meninggalkan mata sembap dan hidung yang merah.
Melihat Safia pulang seorang diri, Bu Jenni tampak gusar.
"Ada masalah? Kenapa pulang sendiri?" tanya Bu Jenni bingung.
Wanita itu cemas melihat penampilan Safia yang berantakan. Safia sendiri hanya mampu menggeleng tanpa mau membuka mulut.
"Kalian bertengkar?" Bu Jenni bertanya lagi
Kembali Safia bisa menggeleng.
"Atau kalian bertemu dengan Embun?" tebak Bu Jenni sambil menatap mata Safia lekat guna mencari jawaban. Kali ini gadis itu diam menunduk.
"Gadis itu ...." Bu Jenni terlihat geram. "Dia memang harus segera diberi tahu, kalo Jevin sudah punya calon istri," ujar Bu Jenni kemudian. Namun, itu justru membuat Safia merasa tak enak hati. Antara rasa bersalah dan bingung.
"Ya, sudah sebaiknya Tante permisi dulu. Kamu baik-baik saja di rumah," pamit Bu Jenni kemudian. "Ingat, Tante tidak akan pernah merestui hubungan Jevin dengan Embun. Jadi Safia tenang saja, ya." Bu Jenni mencoba menghibur hati Safia. Dan Safia kembali merasa bersalah. Dia tidak bermaksud menjadi orang ketiga dalam hubungan Jevin dan Embun. Namun, ia tidak kuasa menolak.
Usia mencium dan memeluk Safia hangat, Bu Jenni beranjak pergi. Safia sendiri hanya mampu memandangi kepergian wanita itu tanpa mau mengantar sampai ke pintu.
Safia segera menuju ke kamarnya begitu Be Jenni tidak tampak lagi di hadapan. Gadis itu menaiki anak tangga dengan gontai. Begitu sampai dalam kamar, dirinya duduk di tepi ranjang dengan lemah.
Perlahan ia melepaskan ikatan rambut yang tertata rapi di jalinan rambutnya. Gadis itu melemparkan begitu saja benda kecil itu ke lantai. Cepat ia menghapus lipstik merah muda yang menghiasi bibir tipisnya.
Bayangan Jevin yang merangkul mesra Embun, serta tatapan dan gelayutan Embun pada pemuda itu kembali terlintas di mata. Kenapa aku harus sakit hati dan marah. Jerit tertahan hati Safia. Tubuh gadis itu terguncang. Kembali Safia terisak tertahan.
Bersambung.
Hubungan pertemanan antara Safia dan Embun tetap terjalin baik. Baik Safia maupun Jevin masih menyimpan rahasia perjodohan mereka pada Embun. Dan keduanya juga pandai bergelagat jika di depan Embun. Jevin yang datar pada Safia, serta Safia yang juga selalu menjaga jarak jika mereka bertiga bertemu.Sore itu setelah pekerjaan menumpuknya telah usai, Safia memutuskan untuk pulang. Dan seperti biasa, dirinya ke luar kantor bersama Embun. Begitu tiba di lobby kantor gadis itu sedikit merasa heran. Karena dia melihat ada Bu Jenni yang tampak tengah duduk menunggu seseorang. Lalu begitu melihat dia dengan Embun, wanita itu bangkit dan mendekat."Embun, ayo kita pulang bareng. Ada hal penting yang ingin tante bicarakan dengan kamu," ajak Bu Jenni datar dan tanpa memedulikan Safia."Emm ... iya. Baik, Tante," balas Embun sedikit gugup.Embun memang selalu merasa canggung jika berhadapan dengan Mama Jevin. Dirinya menyadari kalau calon mertuanya itu memang tidak menyukainya. Alasannya kenapa E
***Sore itu, Safia telah merampungkan semua pekerjaan. Usai merapikan meja kerja, gadis itu berkemas. Diambilnya cermin kecil dalam tas.Gadis itu berkaca. Terlihat mukanya kusam. Ada noda hitam di bawah mata. Akhir-akhir ini Safia memang sering tidur malam. Semenjak dirinya dijodohkan dengan Jevin, gadis itu merasakan kerumitan hidup yang membuatnya susah memejamkan mata."Fi, kita hang out, yuk!" ajak Vani salah seorang teman kantor Safia."Iya, yuk! Lama nih kita gak kongkow-kongkow bareng," timpal Mania. Teman Safia yang lain."Gah ah. Aku lagi males," sahut lemas. Gadis itu lantas berlalu meninggalkan kedua sahabatnya."Eh, Fi, hari ini Embun absen ada apa sih?" tanya Vani. Gadis itu mengejar langkah Safia. Begitu juga Mania. Ketiganya berjalan bersama."Entah." Masih dengan suara lemah Safia menjawab.Gadis itu teringat hari kemarin. Hari di mana Embun terlihat begitu kacau setelah mendapat peringatan dari Bu Jenni.'Apakah Embun sudah menanyakan pada Jevin, siapa calon jodohny
Safia diam termangu dalam kamarnya. Kepalanya pusing memikirkan keruwetan hidup yang tengah menimpa. Tetiba saja telepon pintarnya bergetar. Diraihnya benda tipis itu. Ada sebuah chat masuk. Pesan dari Jevin.[ Datang ke taman dekat tempat tinggalmu. Aku menunggu!]'Ada apa Jevin ingin bertemu dengan aku lagi?' batin Safia heran.Safia menengok jam kotak kecil yang bertengger di atas nakas kamar. Baru pukul tiga sore, tetapi awan sejak lepas dhuhur tadi tampak kelabu. Diprediksi hujan bisa turun kapan saja. Udara juga semilir lembap. Makanya hari Minggu ini ia gunakan untuk bermalas-malasan saja di kamar. Bergelung seharian di kasur sembari terus memikirkan nasibnya ke depan.Ponselnya bergetar lagi. Chat dari Jevin masuk lagi. Gadis itu hendak mengetik balasan. Namun, belum sempat dia menjawab pesan, sang ibu berteriak memanggil namanya dari bawah."Fiaaa! Cepetan turun!"Gadis itu melempar ponsel yang dipegang ke ranjang. Dia urung membalas chat Jevin. Segera Safia menuruni tangga u
Setelah pertemuan terakhir Bu Ratih dan Bu Jenni seminggu yang lalu, keluarga Jevin datang ke kediaman Safia guna meminang gadis itu. Bu Jenni tidak banyak membawa rombongan. Hanya keluarga terdekat saja yang turut serta. Begitu juga dengan Bu Ratih. Wanita itu hanya mengundang keluarga dan tetangga terdekat saja. Salah satunya keluarga Yuki. Bu Ratih dan ibunya Yuki bersahabat baik sejak dirinya baru pindah ke daerah itu. Bahkan ibu Lili-bundanya Yuki, didaulat oleh Bu Ratih menjadi pembawa acara pada malam lamaran itu.Acara berlangsung khidmat. Acara demi acara terlampau dengan baik. Tiba di sesi jawaban calon mempelai perempuan menanggapi pinangan dari calon mempelai pria. Safia berdiri dari duduknya. Dengan tangan yang gemetar memegang mikrofon gadis itu memandang Jevin yang terduduk lesu di kursi seberang. Jevin tampak begitu tampan dengan kemeja batik motif sido mukti cokelat terang. Sayang aura kegantengannya tertutup wajah muramnya.Ada lima menit Safia diam mematung sembar
Masjid pun bergema oleh suara doa seluruh hadirin. Hati Safia terasa sejuk mendengarnya. Kemudian matanya pun menangkap sesosok gadis yang tengah mengusap air mata menyaksikan upacara sakral tersebut. Embun datang di acara pernikahan pacarnya itu.Acara semakin berlanjut. Sang juru kamera menyuruh Safia dan Jevin untuk foto bersama. Lelaki itu menyuruh kedua mempelai untuk berdiri saling menempel sambil menunjukkan buku nikah mereka. Pengantin baru itu hanya menurut saja. Lalu ketika sang photografer menyuruh sang mempelai pria untuk mencium kening istrinya, Jevin dan Safia terlihat begitu gugup dan canggung."Ayo Jevin buruan cium bini, Lo!" perintah Yuki yang turut menjadi saksi pada acara sakral itu.Jevin memandang Safia dan Safia hanya bisa menunduk. Hati-hati, Jevin menunduk menempel bibirnya di kening istrinya. Safia memejamkan mata. Sang juru kamera membidik momen itu dengan baik. Usai Jevin mencium dahi Safia, kini sang istri mencium punggung tangan Jevin. Bukti tanda bakti
Keesokan paginya, Safia membuka mata. Wanita itu melirik bantal yang ada disamping. Kosong. Matanya menyapu ruangan. Tidak ada Jevin.'Sudah bangunkah dia? Atau dia tidak tidur disini?' Safia membatin.Safia menggeliat beberapa kali. Memutar kepala ke kiri dan kanan guna melemaskan otot. Lantas matanya melirik jam kotak digital di nakas. Sudah pukul lima kurang lima menit.Bergegas Safia menuju kamar mandi yang ada dalam kamar. Wanita itu membersihkan badan dengan berendam air hangat di bathtub. Ada sekitar dua puluh menit dirinya memanjakan diri di air hangat dan wangi itu. Setelah mandi dan berganti pakaian biasa, Safia bergegas menggelar sajadah guna melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Walau sedikit telat, tetapi pikirnya tidak mengapa. Dari pada tidak sama sekali. Di sujud terakhir, wanita itu memohon kepada Allah agar pernikahannya ini langgeng dan senantiasa diberkahi. Dalam doa, wanita itu juga berharap agar cintanya pada Jevin mendapat sambutan. Tidak lupa ia berdoa agar p
Hari ini Safia sudah mulai masuk kerja lagi. Dirinya sengaja berangkat agak telat agar langsung bekerja. Tanpa beramah-tamah dulu dengan teman sejawat. Pasalnya dia belum siap mendapat julidan dari rekan-rekannya. Makanya wanita itu menyuruh Jevin mengantarnya di waktu mepet. Jevin sendiri tidak masalah karena dia memang pemilik perusahaan tempat ia bekerja.Mobil Jevin sampai di lobi kantor Safia lima menit sebelum waktu kerja. Begitu turun dari mobil Safia gegas berlari masuk ke kantor karena takut terlambat. Dan benar saja ketika dia sampai di meja kerja, semua rekannya sudah mulai sibuk menatap layar monitor di belakang meja kubikal mereka. Safia mengatur napasnya yang masih terengah. Menit berikutnya, wanita itu mulai duduk dan lekas mengeluarkan botol plastik berisi air mineral. Baru setelah merasa tenang Safia memulai aktivitas kerjanya.*Empat jam berlalu, waktu makan siang tiba. Para rekan kantor Safia datang mendekat untuk memberikan ucapan selamat. Safia memang sengaja t
Embun terkaget saat menyadari kedatangan Safia. Gadis itu segera menyenggol lengan Jevin. Matanya memberi tahu siapa yang datang. Sebenarnya ada rasa terkejut pada diri Jevin. Akan tetapi, pria itubdapat dengan cepat menguasai keadaan. Sehingga ekspresi wajahnya tampak datar biasa saja melihat kedatangan sang istri."Maaf kalo kedatanganku mengganggu kalian," ucap Safia pelan dan berusaha tetap tenang. Walau jauh di lubuk hati, ia sungguh terluka dan merasa dibohongi."Bagaimana keadaanmu, Bun?" tanya Safia tanpa mau memandang muka Jevin. Wanita itu menaruh parcel buah pada nakas kamar "Emm ... aku ... aku masih harus menginap dua ato tiga hari lagi," jawab Embun canggung dan sedikit terbata."Oh ... begitu," sahut Safia pendek ,"ya sudah ... sebaiknya aku pulang saja. Toh sudah ada Jevin di sini buat temani kamu," pamit Safia kemudian. Embun menyeringai tidak enak hati. "Permisi," ucap Safia. Kali ini sebelum berlalu dia menatap sang suami dan Jevin sendiri hanya bisa terdiam.Maka