Semenjak Safia mempergoki Jevin dan Embun saling bercengkrama mesra di kediaman sang wanita beberapa hari lalu, sampai kini kedua sahabat yang dulu begitu akrab itu belum saling bicara. Sebenarnya Safia masih berkeinginan untuk tetap menjalin persahabatan dengan Embun. Akan tetapi bila mengingat peristiwa itu, hati Safia masih terasa sakit. Bagaimana tidak, di depan dirinya, Embun bicara ikhlas melepas Jevin. Namun, ternyata di belakangnya sang sahabat justru menikam dari belakang.Hubungan keduanya menjadi renggang. Baik Safia mau pun Embun merasakan ketidak nyamanan. Mereka yang biasanya selalu kompak dan akrab, kini saling menjaga jarak. Mereka tidak lagi makan bersama. Tidak ke luar kantor bareng. Apa lagi kongkow-kongkow bersama.Embun sendiri juga merasa tidak sudi jika harus kembali menjalin pertemanan dengan Safia. Baginya Safia itu memang seorang penikung yang tega.Namun, setelah mendapat bujukan dari Ghea kemarin, hari ini Embun menurunkan ego. Demi kembalinya Jevin padany
Hari H pun tiba Malam Minggu sesuai jadwal, Safia dan Jevin datang memenuhi undangan Ghea. Keduanya tampak serasi dengan busana berwarna senada. Safia mengenakan dress sabrina hijau pastel, sedangkan Jevin membalut kemeja hijau pastelnya dengan blazer hitam. Keduanya tiba di Kafe Ghea lima belas menit sebelum jadwal. Namun, suasana kafe tampak sudah ramai. Ada banyak teman Safia yang hadir pada acara tersebut. Maklum cukup lama Ghea membawahi Safia dan kawan-kawan. Ketika mereka masuk, keduanya segera menghampiri Ghea yang tengah berbincang dengan Embun, Yuki, dan Vino. Ghea sendiri langsung menyambut hangat pasangan suami istri itu. "Hai ... Safia," sapa Ghea dengan muka ceria. Dirinya lekas menghambur untuk memeluk wanita mungil itu. "Makasih ya udah mau dateng," ucapnya dengan senyum yang tersungging, "dan tolong maafkan perkataanku waktu itu ya. Sungguh waktu itu aku tengah panik, jadi ... ya kamu tahu sendiri kan, Fi, kalo aku gampang emosian," lanjut Ghea dengan mimik muka b
Sementara itu di kafe GheaBeberapa waktu setelah meneguk jus yang dikasih Yuki, Embun pun merasakan ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Hasrat dan gairahnya timbul. Aliran darahnya mengalir cepat. Napasnya pun memburu tidak karuan. Dan yang lebih mengherankan lagi, di bawah sana ada yang berkedut-kedut. Seperti minta dimasuki. Embun menggeleng keras. Dia tidak pernah sekacau ini.'Kenapa ini?' batin Embun gelisah. Gadis itu mencengkeram pahanya guna menahan hasrat. Beberapa kali pula ia menggeleng tegas guna mengusir rasa tidak biasa ini.Yuki yang melihat tingkah aneh Embun mengerutkan kening. Terlihat olehnya gadis itu memilih duduk di sudut kafe. Namun, wajahnya tampak begitu gelisah. Embun terlihat bangkit dari duduk untuk berdiri lalu beberapa menit kemudian duduk lagi. Begitu terus bolak-balik. 'Sebenarnya Embun dan Jevin minum apa sih?' Yuki berpikir keras sambil menowel-nowel hidungnya sendiri. Pemuda itu melangkah mendekati sang gadis dengan tangan membawa kudapan beru
Sementara itu di parkiran, Embun segera membonceng motor Yuki begitu dia memakai helm. Tanpa malu dan ragu dia memeluk erat pinggang Yuki. Tangannya melingkar mesra pada perut rata pemuda itu.Yuki menoleh ketika merasakan tangan Embun mengusap-usap lembut perutnya. Embun sendiri lekas menyengir melihat Yuki menatapnya aneh. Begitu Yuki menyalakan mesin dan mulai tancap gas, Embun tanpa sungkan menyandarkan kepalanya pada punggung cowok itu. Tentu saja Yuki merasa senang. Karena dulu, jangankan memeluk dan menyandarkan kepala, disuruh berpegangan pada perutnya pun, Embun segan. Sekali lagi, Yuki hanya mengernyit bingung sekaligus happy. Kembali Yuki dibuat menoleh ketika merasakan punggungnya diendusi oleh Embun."Bun ... kamu gak papa?" tegur Yuki risih-risih geli. Tapi senang. Pemuda itu tetap memfokuskan diri melajukan kuda besinya."Parfum kamu mantap banget, Ki. Aku suka aromanya maskulinnya." Embun mencoba berkelit dengan tingkah konyolnya."Dari dulu gue selalu pake parfum i
Keesokan pagiEmbun membuka mata tatkala mendengar kicauan burung di atas dahan pohon rambutan samping rumah. Mata gadis itu mengerjap. Sinar mentari pagi yang menerobos ventilasi kamarnya menyilaukan mata. Aargh!Embun menggeliat malas. Kepalanya terasa sedikit pusing dan badan juga terasa pegal-pegal. Dengan malas gadis itu kembali bergelung dengan selimut. Guling besar kesayangan kembali ia peluk. Namun, ada sesuatu hal aneh yang Embun rasakan. Guling yang ia peluk terasa seperti hidup. Telinganya menangkap ada deru napas teratur dari benda panjang tertutup selimut itu. Penasaran, Embun lekas menyingkap selimut putih miliknya."Aaaaa!"Embun berteriak histeris. Gadis itu panik melihat ada Yuki yang tengah tertidur pulas di sampingnya."Aaaaa!"Embun kembali berteriak kencang. Setelah membuka selimut, ternyata kancing bajunya telah terlepas beberapa. Cepat ia menutup kembali kancing bajunya. Setelah itu baru mengguncang tubuh Yuki untuk membangunkan cowok itu. "Yuki bangun!" ter
Mata Safia terbelalak mendengar suaminya menyebut nama Embun. Dia merasakan jantung di dadanya berdenyut perih. Seperti ada belati tajam yang menancap kuat di hatinya. Sakit. Sungguh terasa pedih. Seketika mata wanita itu merebak merah. Lekas Safia melepas dekapan sang suami. Ditepiskannya dengan kasar tangan kekar yang melingkar di perut. Menyadari perubahan sikap Safia, Jevin menarik kembali tubuh sang istri. Lagi Jevin mengunci rapat tubuh mungil Safia. "Lepaskan aku Jevin!" teriak Safia marah. Dia mendorong tubuh suaminya menjauh. "Hei ... ada apa ini?!" tanya Jevin bingung. Pria itu memincing melihat air muka Safia yang berubah mengerikan. Sang istri yang beberapa waktu lalu berseri-seri ceria, kini wajahnya merah padam. Sepertinya Safia tengah menahan amarah. Safia sendiri terkesima mendengar pertanyaan polos dari mulut suaminya. Mulutnya menganga lebar tak percaya. "Jevin, kamu masih tanya ada apa? Jangan pura-pura polos seperti itu!" Safia mendelik tajam ke arah Jevin
"Embun jangan gila!!" bentak Jevin takut dan panik."Aku memang sudah gila, Jevin. Gila karena selalu memikirkanmu. Tapi kamu sama sekali tidak peduli denganku." Nada suara Embun terdengar semakin dingin. "Kalo begitu lebih baik aku mati saja." Embun frustasi.Jevin meraup mukanya dengan kasar. Sungguh dia merasa amat tertekan. Di satu sisi ia ingin mengejar Safia sang istri. Di sisi lain dia juga amat takut mendengar ancaman dari mulut Embun. Jevin mengenal Embun begitu lama. Dia tahu watak gadis itu. Walau dulu Embun terkenal kalem, tetapi gadis itu juga mempunyai watak yang keras. Embun tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Dan Jevin tidak mau sesuatu hal buruk menimpa pada gadis yatim piatu itu. Akhirnya, dengan frustasi dia mengalah. "Oke-oke. Aku akan datang. Kamu tunggu saja di situ!" Jevin memutuskan sambungan telepon.Gegas pria itu memasukkan ponsel dan kunci mobil ke saku celana panjangnya. Selanjutnya ia langkahkan kaki cepat-cepat menuruni anak tangga. Berlari Jev
***"Jeviiin!"Jevin tidak menggubris teriakan histeris dari Embun. Pria itu tergesa masuk mobil. Sekarang yang di benakya adalah ke mana ia harus mencari istrinya itu. Dan rumah sang mertua adalah tempat pertama yang akan ia singgahi.Kembali Jevin menancap gas. Mobilnya melaju dengan mulus. Namun, ia harus terjebak macet di jalan protokol. Pria itu menggebrak keras klaksonnya.Sungguh Jevin merasa frustasi. Kenapa harus serumit ini kisah hidupnya? Di saat dirinya sudah mulai menerima Safia dalam hati, kenapa wanita itu justru malah lari meninggalkan dia. Jevin akui dirinya bersalah, tetapi kenapa Safia tidak mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.Lampu merah berganti hijau. Namun, laju mobilnya masih tersendat-sendat akibat padatnya mobil yang melintas. Jevin menghela napas panjang. Dia akan bersujud pada istrinya meminta maaf. Dan akan berjanji tidak akan menyebut nama Embun lagi di depan Safia.Jevin telah sadar bahwa cinta Safia begitu tulus padanya. Dan madu manis yang