Aku tersenyum puas melihat mereka yang panik dari layar laptopku. Empat cctv mini tersembunyi di ruang keluarga, ruang tamu, ruang kerja, dan juga kamarku. Tante Vivi Sepertinya mengamuk. Ia tak betah berdiam diri di dalam rumah. "Kamu Ilham, kenapa juga mengundang orang untuk hadir di pernikahanmu. Kalau begini kita semua yang kebingungan. Bagaimana kalau salah satu dari kita positif," makinya. Mas Ilham diam tak menjawab. "Iya, nih. Bikin repot. Udah gak ada pembantu lagi. Siapa yang masak dan beres-beres rumah ini. Aku gak mau dan gak sudi." Lisa, adik Rita menimpali. "Pokoknya saya gak mau tahu. Kamu harus menanggung semuanya!" "Tenang, Ma. Mas Ilham akan tanggung jawab. Sekarang ada M-banking dan delivery. Semua pasti gak kelaparan. Iya, kan Sayang." "Kalian mau makan apa?" tanya mas Ilham. Ia mengeluarkan ponselnya. Di saku celana. "Mama mau bubur ayam jamur, ice capucino dan tomyum seafood untuk nanti siang jangan lupa tambah udon. Pesan di Oishi suki saja. Di sana rasan
Aku tertawa melihat tingkah bar-baran Adel, setidaknya itu bisa memberi hiburan untukku. Hati yang telah dikhianati oleh lelaki yang kucinta. "Untuk sementara, aku tinggal di rumahmu, Del. Boleh tidak?" pintaku memohon. "Wah, tentu boleh. Pasti Bundaku senang." "Terima kasih, Del." Memeluk tubuh sahabatku yang selalu ada suka dan duka. "No problem," ucapnya. Ia keluar ruanganku melambaikan tangannya. Menatap surat yang telah ditanda tangani almarhum papa dan suamiku. Sebenarnya apa yang terjadi antara mereka. Perjanjian antara mereka atau papa punya rahasia tersembunyi. ***Suara dering ponsel menghentikan tanganku yang menempel di keyboard laptop. Menyungingkan senyum. Di layar pipihku tertera nama suamiku. Sepertinya harus aku ganti nama kontaknya. "Halo, Mas!" sapaku. "Intan, kamu di mana Sayang. Kok belum pulang?" "Aku lagi di salon Mas. Ada apa?" "Mas ... Mas ... sedang isolasi mandiri," ucapnya terbata-bata."Ya ampun, Mas! Kok bisa!" Berpura-pura terkejut. "Salah sat
POV ILHAMSudah beberapa hari tinggal di rumah rasanya seperti setahun. Sejak menikah lagi hidupku semakin kacau. Mengharapkan kehidupan rumah tangga bahagia bersama kedua istriku. Nyatanya, menderita dan tersiksa.Setiap hari ibu mertuaku--tante Vivi, selalu mengeluh dan mengomel. Belum lagi adiknya yang super berisik dan bawel. Tak ada kenyaman lagi di rumah ini. Kalau Rita tak hamil, aku tak akan menikahi dirinya. Awalnya, aku hanya iba kepada wanita itu. Ia baru saja diceraikan suaminya. Lampu hijau menyala, sepertinya cinta itu masih ada. Setiap aku keluar kota, Rita pasti menyusul dan menginap di kamarku. Kucing mana yang tak tergoda jika, disodorkan ikan asin. Kala itu di hotel Bali."Aku masih cinta sama kamu. Gak bisa lupain kamu. Kamu cinta pertamaku. Izinkan aku menemanimu saat ini," ucapnya penuh rayuan yang tak bisa aku singkirkan. Akhirnya, malam itu terjadilan pergumulan panas pertama kami. Entah mengapa aku terus saja kecanduan. Padahal, umur Rita lebih tua dari is
POV ILHAM"Mas bangun! Mas!" Tepukan di pipi terasa menyakitkan. Kasar dan tak berperasaan. Aroma minyak kayu putih tercium di hidungku. Membuka mata perlahan. Kepalaku terasa pusing dan berputar. "I-intan," ucapku tanpa sadar. Bayang-bayang Intan di kelopak mata."Kok, Intan! Aku Rita, istrimu," sungutnya kesal. Terdengar nada cemburu dan ketidak sukanya."Eh, Rita. Aku kenapa?" tanyaku mengernyit heran. Tante Vivi dan anak-anaknya berkumpul di kamarku. Wajah mereka memerah dan muak kepadaku."Kamu nanya sama kami! Kamu itu malam-malam teriak-teriak kayak orang stres. Lihat jam berapa sekarang! Jam empat, Ilham! Kamu bikin orang jadi pusing karena ulahmu," maki tante Vivi dengan bertolak pinggang. Matanya melotot tanpa cela."Iya, ganggu tidur orang aja!" timpal adik iparku. Ia mengerucutkan bibirnya. Kekesalannya dilontarkan kepadaku. Tak menghargai sebagai kakak iparnya."Mas pingsan, tergeletak di lantai. Ponsel, Mas retak," ujar Rita. Ia menyerahkan ponselku yang tak menyala. Ba
Aku mengantar mas Ilham hingga masuk ke dalam mobil ambulan. Adel mengikuti mereka dari belakang. Menatap mobil berwarna putih dengan sirene berbunyi nyaring. Para tetangga mengintip di balik jendela ada juga yang keluar rumah melihat apa yang terjadi. "Pak Ilham dibawa ke rumah sakit, Bu Intan?" tanya tetangga depan rumahku. "Iya, Pak. Biar ditangani oleh pihak yang lebih ahli." "Iya Bu. Betul sekali. Kasihan pak Ilham menjerit kesakitan." "Iya Pak. Maaf kalau menganggu kenyamanan Anda. Saya permisi Pak. Mau masuk ke dalam. Ada yang harus saya kerjakan," pamitku. "Semoga pak Ilham lekas sembuh," ungkapnya. "Iya Pak, terima kasih." Aku tersenyum ramah. Pandangan tetanggaku terlihat sinis dan tersenyum kaku. Aku menangkap sorotan mata yang tak suka. Kutepis semua yang ada di kepala. Sudah terbiasa jika tetangga iri hati, julid atau apapun.Langkahku terhenti ketika mendengar tante Vivi berbicara dengan ketiga anaknya. "Bagus, sekarang kita bisa tenang di sini. Melakukan apa sa
Kutatap suamiku di balik kaca. Ia sedang terbaring dengan tangan diikat. Menjerit-jerit kesakitan. Memanggil namaku meminta tolong. Tak kusangka akan separah ini. "Mengapa bisa seperti ini?" tanyaku pada Adel. "Kata dokter ia terkena depresi berat dan trauma." "Trauma! Apa mungkin ia masih mengingatnya?" Tatapanku tak jauh dari mas Ilham. Teringat cerita dari ibu mertuaku. Sebenarnya wanita itu bukan ibu kandungnya melainkan ibu angkat. Mas Ilham adalah anak piatu. Entah di mana keberadaan ayahnya. Aku juga tak tahu. "Apa suamimu pernah mengalami sesuatu hal?" tanya Adel. "Dahulu suamiku berumur empat belas tahun menyaksikan kakak perempuannya diperkosa oleh dua orang laki-laki yang tak dikenal. Mas Ilham melihat ketika ia bersembunyi di dalam lemari.""Mengapa bersembunyi?" "Ibunya yang menyuruhnya untuk bersembunyi." "Lalu apa yang terjadi?" "Kakaknya bunuh diri dengan cara mengantung diri di dalam rumah dan sang Ibu mati dengan cara mengenaskan. Mas Ilham melihat semuanya
"Intan, Mama sudah di lobi utama," ucap Mama diseberang panggilan. Terdengar suara Bayu yang merengek meminta ponsel untuk berbicara denganku. Betapa rindu hati ini kepada bocah kesayangan. "Oke, Intan turun ke bawah." Aku mengangkat bongkok dari kursi. Mas Ilham masih terlelap dalam mimpin. Dengkuran halus terdengar lirih. Napasnya masih teratur sesuai detik jam, untuk sesaat ia tenang dan nyaman. Sejak jam lima pagi, mataku sudah terbuka. Mengerjakan pekerjaan kantor melalui laptop. Tak ingin suami, tahu pekerjaan yang selama ini aku jalankan, biarlah aku tak peduli. Sengaja memesan kamar VIP untuk kami agar mas Ilham tak jenuh dan merasa terkekang. Banyak perabotan tersedia di hotel ini. ukuran kamar juga sangat besar. Kakiku menuju lobi dengan mengunakan lift. Berjalan menelusuri lobi mencari keberadaan mama dan Bayu. "Mama!" teriak Bayu, anakku. Ia berlari dan memeluk tubuhku ketika melihat wanita yang telah melahirkannya. "Mama kangen." Mencium kedua pipinya gemas. Tubuh B
Pagar rumahku sudah telihat di depan mata. Sengaja meninggalkan mereka tanpa pembantu. Hanya ada satpam penjaga pagar dan mata-mata untukku"Bu Intan," sapanya ramah. "Apa mereka di dalam?" "Iya, mereka semua ada." Kuselipkan uang merah dan memberikan kepadanya. "Buat anak-anakmu di rumah." "Alhamdulillah, terima kasih Bu."Lantai teras kotor dan daun-daun berguguran di halaman. Semoga perabot-perabotku di rumah masih utuh dan tak dijual mereka. Mungkin saja mereka nekad melakukannya. Mobilku masuk ke dalam halaman rumah milikku yang kini ditempati mereka. Membuka pintu perlahan. Mereka sedang duduk di ruang keluarga. Entah membahas apa. Sekilas mendengar percakapan sepertinya tentang uang. Suara sepatuku membuat mereka terdiam dan menoleh ke arahku secara bersamaan. Tak ada wajah terkejut yang mereka perlihatkan. "Wah, ternyata Nyonya besar baru pulang," sindir Lisa. Ia menatapku sinis. "Ke mana saja kamu? Suami sakit malah ngelayap," ucap tante Vivi. "Siapa?" Pura-pura tak