Share

Empat

Aku tersenyum puas melihat mereka yang panik dari layar laptopku. Empat cctv mini tersembunyi di ruang keluarga, ruang tamu, ruang kerja, dan juga kamarku.

Tante Vivi Sepertinya mengamuk. Ia tak betah berdiam diri di dalam rumah.

"Kamu Ilham, kenapa juga mengundang orang untuk hadir di pernikahanmu. Kalau begini kita semua yang kebingungan. Bagaimana kalau salah satu dari kita positif," makinya. Mas Ilham diam tak menjawab.

"Iya, nih. Bikin repot. Udah gak ada pembantu lagi. Siapa yang masak dan beres-beres rumah ini. Aku gak mau dan gak sudi." Lisa, adik Rita menimpali.

"Pokoknya saya gak mau tahu. Kamu harus menanggung semuanya!"

"Tenang, Ma. Mas Ilham akan tanggung jawab. Sekarang ada M-banking dan delivery. Semua pasti gak kelaparan. Iya, kan Sayang."

"Kalian mau makan apa?" tanya mas Ilham. Ia mengeluarkan ponselnya. Di saku celana.

"Mama mau bubur ayam jamur, ice capucino dan tomyum seafood untuk nanti siang jangan lupa tambah udon. Pesan di Oishi suki saja. Di sana rasanya enak, pedasnya pas dan tak terlalu asam.

"Aku juga mau kwetiaw sapi dan es campur spesial," ucap Lisa.

Mas Ilham mengetik pesanannya melalui delivery online. Mereka juga memesan makanan dalam jumlah banyak.

Wajah suamiku berubah bingung. Ia mengutak-atik ponselnya dengan tangan gemetar. Bagaikan menonton film layar lebar. Aku terkekeh melihat raut wajahnya.

"Rit, Rita! Kok, saldo Mas habis. Kamu buat pakai apa?" tanyanya dengan nada tinggi.

"Lah, kok aku. Aku cuma pakai tiga ratus ribu dua hari yang lalu."

"Ini kenapa saldo hanya lima belas ribu? Kamu yang memakai aplikasi ini terakhir kali."

"Mas, kok nuduh aku! Aku tak tahu. Jangan salahkan aku. Mungkin kamu lupa mengisinya."

"Aku ingat sisa saldo masih ada tujuh ratus ribu. Gak mungkin aku lupa."

"Bisa saja kamu lupa. Aku gak tahu," sungut Rita kesal.

"Lalu siapa kalau bukan kamu!" bentaknya. Mas Ilham mulai memperlihatkan taring giginya.

Mata Rita mengembun ia hampir menangis.

"Sudah, Ilham. Kamu bisa bayar pakai M-banking. Cepat kami lapar!" cetus tante Vivi.

Lelaki yang telah menikahiku menghembuskan napas panjang, ia kembali duduk dan mengerutu." Menyusahkan saja satu keluarga."

"Hei! Saya dengar ucapan kamu!" maki tante Vivi.

"Maaf, Tante." Mas Ilham melanjutkan tujuannya.

Menatap layat kaca ponsel mahalnya.

"Si*lan! Ke mana uangku!"

"Mas, ada apa?" tanya Rita tak kalah panik.

"Saldo Mas, habis tak ada yang tersisa." Tubuhnya luruh ke bawah sofa.

"Biar aku saja yang keluar," ucap kakak Rita. Ia bangkit hendak membuka pintu." Kuncinya mana?" teriaknya.

Aku hanya bisa mendengar teriakkannya karena tak ada kamera di dekat pintu. Semua pintu telah kami kunci dari luar dan jendela tak akan bisa mereka buka karena tertutup teralis besi.

Ha ... ha ... Rasakan kalian! Selamat menikmati indahnya kebersamaan. Semua saldo milik mas Ilham telah ditrasfer ke rekeningku. Ia akan merasakan hidup pas-pasan di dalam rumah mewah.

Akan aku buat mereka frustasi dan akhirnya kehilangan akal sehat.

Untung saja perhiasan dan barang-barang berharga sudah diamankan oleh anak buahku. Mereka juga mengunci lemari milikku. Kalau tidak bisa hilang semua barang-barangnya.

Mas Ilham dan Rita memutuskan tidur terpisah. Padahal malam ini, malam pertama mereka. Di dalam kamarku mas Ilham terlihat gusar. Ia menatap foto aku dan dirinya. Mengusap figuran yang menempel di dinding.

Apa dia menyesal? Entahlah aku tak tahu. Saat ini aku tak memikirkan perasaannya. Ia saja tak memikirkan perasaanku.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Mengizinkan masuk dan menutup layar laptopku.

"Bos, ini berkas yang dicari. Sepertinya ada keanehan." Ia menyodorkan beberapa kertas.

"Ini surat apa, Del?" Aku mengernyit heran.

"Lihatlah! Surat ini dibuat sebelum kalian menikah. Di sini terlihat tanggal dan tahunnya." Tangannya menunjukkan paling bawah sebelah kanan.

Mengapa aku tak pernah tahu tentang ini. Darahku seketika mendidih hingga ke ujung kepala.

"Ber*ngsek! Lelaki itu sudah keterlaluan! Nafasku tersengal-sengal. Mengepal tangan menahan emosi." Lebih baik kita siksa saja dia!" teriakku lantang.

"Sabar, Intan! Santai saja. Kita lakukan secara perlahan. Perusahaan itu milikmu hanya saja om Brian, papamu menyerahkannya kepada Ilham dengan cara menikahimu. Lakukan rencana awal."

Adel berusaha menenangkanku. Ia tahu betul sifatku. Rasa geram ini sangat menyiksa. Walaupun, lelaki itu masih berstatus suami.

"Sorry, aku terbawa suasana. Makasih sudah banyak merepotkanmu."

"Ha ... ha ... Seperti dengan orang lain saja. Kita sudah seperti saudara. Kamu, aku, dan Cheri. Masalahmu adalah masalahku juga."

Kalau saja bukan Cheri yang memergoki mas Ilham berada di Bali. Aku pasti tak tahu apa-apa. Cheri sedang melakukan penyelidikan kepada tersangka perselingkuhan. Beruntung aku memiliki pekerjaan seperti ini.

"Hei, Bos! Kok melamun. Sudah tak usah dipikirkan. Masih banyak lelaki tampan, setia, dan baik di sana. Hidup ini memang berliku-liku tetap enjoy. Kalau tak kuat tinggal ngopi. Kalau gak punya kopi, tidur bae." Ia terkekeh.

"Tentu saja. Aku akan menikmatinya. Pergilah, lakukan tugasmu selanjutnya."

"Asiap, Big Bos!' Adel meletakkan tangannya di kening."

Aku tertawa melihat tingkah bar-baran Adel, setidaknya itu bisa memberi hiburan untukku.

"Untuk sementara, aku tinggal di rumahmu, Del. Boleh tidak?"

"Wah, tentu boleh. Pasti Bundaku senang."

"Terima kasih, Del."

"No problem," ucapnya. Ia keluar ruanganku melambaikan tangannya.

Menatap surat yang telah ditanda tangani almarhum papa dan suamiku. Sebenarnya apa yang terjadi antara mereka.

Menikahiku dan papa memberi semua saham yang seharusnya milikku. Apa maksud semua ini. Aku akan mencari tahu hingga ke akar-akarnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
nikah modal kolor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status