Share

Enam

POV ILHAM

Sudah beberapa hari tinggal di rumah rasanya seperti setahun. Sejak menikah lagi hidupku semakin kacau. Mengharapkan kehidupan rumah tangga bahagia bersama kedua istriku. Nyatanya, menderita dan tersiksa.

Setiap hari ibu mertuaku--tante Vivi, selalu mengeluh dan mengomel. Belum lagi adiknya yang super berisik dan bawel. Tak ada kenyaman lagi di rumah ini.

Kalau Rita tak hamil, aku tak akan menikahi dirinya. Awalnya, aku hanya iba kepada wanita itu. Ia baru saja diceraikan suaminya.

Lampu hijau menyala, sepertinya cinta itu masih ada. Setiap aku keluar kota, Rita pasti menyusul dan menginap di kamarku.

Kucing mana yang tak tergoda jika, disodorkan ikan asin. Kala itu di hotel Bali.

"Aku masih cinta sama kamu. Gak bisa lupain kamu. Kamu cinta pertamaku. Izinkan aku menemanimu saat ini," ucapnya penuh rayuan yang tak bisa aku singkirkan.

Akhirnya, malam itu terjadilan pergumulan panas pertama kami. Entah mengapa aku terus saja kecanduan. Padahal, umur Rita lebih tua dari istriku. Tubuh Intan lebih mengoda dan mengiurkan dibandingkan dirinya.

Rita terus saja mendekatiku. Jika, berada jauh darinya aku tak rindu. Tapi, keadaan akan berubah terbalik kalau kami berdekatan. Akupun tak tahu.

Sore kemarin, ada Satgas yang mengantarkan obat dan makanan untuk kami. Mereka bilang obat itu adalah vitamin. Setiap hari aku harus meminumnya.

"Perbanyak makan buah dan sayuran, banyak istirahat tak boleh stress. Ingat jaga jarak walaupun, satu rumah."

Ucapan Satgas membuat Rita takut mendekatiku." Mas, kita tidur terpisah dulu. Kasihan bayinya," alasannya yang masuk akal.

Seharusnya malam panjang dan bulan madu kami lalui. Nyatanya, isolasi di rumah tanpa ada pelukan atau c*mbuan.

Hingga malam tiba, suasana kamar menjadi mencekam. Seperti ada mata yang menatapku di atas langit-langit. Antara terpejam dan tidak. Suara wanita mengusik pendengaran. Memanggil namaku dengan manja.

"Mas Ilham ...," bisiknya di telingaku.

"Mas Ilham, Ayo Sayang!"

Entah suara siapa aku tak bisa mengenalinya. Antara Rita dan Intan atau wanita lain.

Bayang-bayang ijab kabul terlintas di pikiranku. Aku menikahi seorang nenek-nenek dengan perut yang membuncit.

"Siapa kamu! Siapa!" ucapku menatapnya yang berada duduk disebelah. Wajah keriput menatap penuh dendam.

"Suamiku ...," panggilnya mesra. Deretan gigi berwarna hitam dan merah. Rasa jijik ingin mengeluarkan isi perut.

Ingin berlari ke kamar mandi namun, tubuhku tertahan seperti batu. Berat sekali hingga tak bisa terangkat.

Jantungku berdegup lebih kencang, tubuh menggigil, keringat mengalir di pelipis. Wanita lain yang berada di dekat pintu kamar mandi mendekatiku perlahan. Tangannya mengandeng seorang anak kecil. Wajahnya mirip anakku Bayu.

"Bayu ...," panggilku pelan.

Wajah Bayu mendongkak, tangannya menjulurkan sesuatu. Ia menyentuh tanganku agar menerimanya, melihat dua buah bola berwarna hitam di telapak tangan. Seperti sepasang bola mata yang terlepas dari tempatnya.

Menatap bola mata dengan dada turun naik. Kedua benda itu menghilang dengan sendirinya.

Bayu dan wanita itu tertawa seram.

Bulu kuduku langsung merinding. Seluruh tubuh tak dapat digerakkan. Wajah Bayu semakin dekat dan dekat. Air mata keluar dari wajahnya. Tiba-tiba ia menangis dan berkata," Papa jahat! Papa jahat!"

Napasku tersegal-segal mencari cela untuk bernapas. Bayu semakin mendekat dan memeluk leherku. Darah kental keluar dari kepalanya.

"Argh!"

Membuka mata dan bangkit dari tidur. Segera berlari keluar kamar membuka pintu dengan kasar.

"Rita! Rita! Buka pintunya!" Mengedor pintu kamar Rita. Entah sudah jam berapa sekarang.

Suara pintu terbuka, wajah Rita khas bangun tidur terlihat jelas. Segera menerobos masuk ke dalam.

"Aduh, Mas! Apa-apaan, Sih!" sungutnya kesal.

"Rit, ada hantu di kamar Mas," ucapku dengan suhu tubuh yang panas dingin.

"Hantu! Kamu ngaco, Mas. Gak ada hantu."

"Rit, aku tidur di sini, ya?"

"Gak bisa, Mas. Kita harus jaga jarak. Aku takut bayi yang di dalam kandunganku tertular."

"Rit, Mas mohon. Tolong!"

"Kamu kayak anak kecil saja. Sudah keluar sana!" usirnya tanpa berperasaan. Saat ini tubuhku mengigil ketakutan.

"Jangan usir, Mas! Mas takut!"

"Gak bisa, kamu tidur sama Rico saja. Aku ngantuk dan cape. Keluar Mas!"

Ia mendorong tubuhku keluar kamar dan mengunci pintu dari dalam. Aku melirik kiri kanan seperti ada yang memperhatikan.

Melangkahkan kaki turun ke bawah dengan sedikit berlari. Hingga tubuhku terjatuh serta mengelinding seperti bola. Rasa takut mengalahkan semuanya. Pergelangan kaki kanan terkilir. Berjalan tertatih-tatih menuju kamar dekat dapur.

"Rico! Rico!" Kugedor pintu dengan kasar. Suara ponsel di dalam terdengar. Rico belum tidur, mungkin sedang bermain game online.

Ia membuka pintu dengan tangan yang masih menekan layar ponsel." Apaa sih! Ganggu aja!" sungutnya kesal.

"Aku tidur sama kamu, ya?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Ah! Tidur bareng!"

Kuceritakan kejadian yang aku alami dari A hingga Z. Ia terkekeh seakan-akan menertawakanku.

"Ogah! Kasur gua kecil. Gua gak mau berbagi sama elu."

Mengintip dari balik tubuhnya. Rico tidur di kamar pembantu. Aku hanya memiliki empat kamar utama. Satu kamar milik Bayu, kamar itu terkunci rapat. Sisanya digunakan mertua dan istri baruku.

Hanya ada selembar kasur lantai kumuh. Mana bisa aku tidur seperti itu. Badanku pasti sakit semua.

Aku menghela napas panjang. Kuputuskan kembali ke kamar dengan membuka pintu kamar selebar-lebarnya.

Perasaan takut masih ada. Menutup tubuh dengan bedcover putih polos. Segera mengambil ponsel dan menghubungi Intan, istri pertamaku.

Cukup lama wanita itu tak menjawab panggilanku. Akhirnya, ia menjawabnya.

"Ada apa, Mas? Ini sudah malam." Suaranya terdengar serak-serak basah.

"Intan, Mas takut!"

Ia tertawa seakan-akan lelucon untuknya.

"Kamu, kok ketawa? Mas takut, banyak mahluk dari alam lain yang mengincar Mas."

"Kamu kayak anak kecil saja. Sudah malam aku ngantuk."

"Intan, temenin Mas. Kita video call, yuk! Seperti biasa, waktu kita LDR," bujukku. Ia pasti senang melakukan hal tersebut.

"Kamu yakin mau video call dengan aku?"

"Yakin dong. Kita ngobrol sampai tertidur seakan-akan kau ada di sisiku," rayuku agar ia menuruti keinginanku.

"Baiklah. Kalau itu maumu. Biar aku yang menghubungimu," tungkasnya.

"Iya, tapi jangan lama-lama."

"Oke."

Ia mematikan panggilanku. Hatiku terasa lega setidaknya aku bisa tidur di temani Intan.

Beberapa saat kemudian ia menghubungiku via video call. Segera mengeser ikon berwarna hijau dengan hati senang.

"Intan, Sayang. Kamu di mana?" Mataku mencari keberadaanya. Entah di kamar siapa, tempat itu terasa asing bagiku.

Sebuah penampakan yang mengagetkan. Tubuhnya tertutup kain putih dengan mata melotot membuat jantungku berdegup sepuluh kali lipat.

"Argh! Setan!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Diana Chaniago
hahaha rasain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status