Share

Tujuh

POV ILHAM

"Mas bangun! Mas!" Tepukan di pipi terasa menyakitkan. Kasar dan tak berperasaan. Aroma minyak kayu putih tercium di hidungku. Membuka mata perlahan. Kepalaku terasa pusing dan berputar.

"I-intan," ucapku tanpa sadar. Bayang-bayang Intan di kelopak mata.

"Kok, Intan! Aku Rita, istrimu," sungutnya kesal. Terdengar nada cemburu dan ketidak sukanya.

"Eh, Rita. Aku kenapa?" tanyaku mengernyit heran. Tante Vivi dan anak-anaknya berkumpul di kamarku. Wajah mereka memerah dan muak kepadaku.

"Kamu nanya sama kami! Kamu itu malam-malam teriak-teriak kayak orang stres. Lihat jam berapa sekarang! Jam empat, Ilham! Kamu bikin orang jadi pusing karena ulahmu," maki tante Vivi dengan bertolak pinggang. Matanya melotot tanpa cela.

"Iya, ganggu tidur orang aja!" timpal adik iparku. Ia mengerucutkan bibirnya. Kekesalannya dilontarkan kepadaku. Tak menghargai sebagai kakak iparnya.

"Mas pingsan, tergeletak di lantai. Ponsel, Mas retak," ujar Rita. Ia menyerahkan ponselku yang tak menyala. Bagian layarnya hancur dan kartu sim tak ada.

Ternyata aku pingsan, setelah melihat penampakan di ponsel. Melemparnya ke dinding lalu pingsan hingga terjatuh ke lantai.

"Kepala aku pusing." Memijit kening yang terasa menonjol. Nyeri, ketika disentuh. Mungkin terbentur lantai sangat keras.

"Mas, juga kayak anak kecil. Takut sama hantu. Gak ada hantu. Ini aja gak ada apa-apa."

"Tadi Mas lihat sendiri. Mereka berada di sana dan di sana." Menunjukkan letak penampakan yang aku lihat.

Mereka terdiam dan saling mendekat.

"Mas juga lihat penampakan. Ketika melakukan panggilan video call dengan Intan," jelasku kepada mereka. Berharap percaya dengan apa yang kualami.

"Oh, jadi kamu menghubungi Intan. Pantas saja. Rasakan kamu telah berani main belakang." Dada Rita naik turun. Nada suaranya naik satu oktaf.

"Intan istri aku juga. Aku tak main belakang. Ternyata, yang aku hubungi adalah hantu."

"Sudah! Sudah! Kamunya aja yang penakut. Mama ngantuk mau lanjut tidur lagi. Ayo bubar, kembali ke kamar." Tante Vivi melirikku tajam.

"Kalau ngomong jangan ngawur kamu. Bikin kesel orang aja."

"Rita ...," panggilku dengan memelas.

"Apa! Tidurlah aku cape!" bentaknya. Matanya melotot seperti ingin menerkam.

"Jangan lupa obat kamu minum!"

Aku menganggukkan kepala dan mengulas senyum terpaksa.

**

Surat yang kami tunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Hasil SWAB yang kami lakukan beberapa hari lalu.

Semua mendapatkan amplop putih sesuai nama yang tertulis. Empat amplop sudah dibagikan.

"Yes, akhirnya bebas!" Lisa berteriak dan melompat setelah mengetahui hasilnya.

Mama Vivi juga terlihat senang. Bibirnya mengulum senyum. Rico terlihat acuh dan melempar hasil tersebut ke lantai.

"Mas, lihat hasilmu." Rita menatapku. Ia terlihat pucat. Tangannya membuka kertas dengan mengarah ke atas." Negatif," ucapnya dengan riang.

Kini, tinggal aku. Membuka amplop perlahan dan membaca hasilnya. Mereka semua menatap ke arahku dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Mataku menatap mereka satu persatu.

"Mas ...."

**

Setelah hasil tes keluar, hidupku semakin kacau bukan karena positif melainkan suara-suara yang datang pada malam hari. Aku berteriak seperti kesurupan.

Mereka masih mengikutiku. Terkadang mengajakku berbicara. Aku menjawabnya dengan datar.

Kadang suara itu datang pada siang hari membuat diriku merendamkan tubuhku di bak kamar mandi berjam-jam hingga tertidur di dalamnya.

Rita menatapku ketakutan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku. Ia tak ingin menyentuh dan memberi ketenangan di saat aku membutuhkannya.

"Mas, kamu kenapa?" Ia masuk ke kamar setelah mendengar suara kesakitan dari bibir ini.

"Rita ... tolong aku. Mereka tak suka aku menikahimu. Tolong ...." Aku mengulurkan tangan agar ia mengapainya. Namun, wanita yang baru kunikahi beberapa hari enggan menghampiri.

Aku tak berhenti berteriak meminta tolong kepada mereka. Sehingga,

Rico dan tante Vivi mengikatku di ranjang dan menutup mulutku dengan lakban hitam.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Lisa. Mereka berkumpul di dalam kamar seolah-olah aku adalah mangsa.

Rita keluar kamar, wajahnya terlihat pasrah.

Mereka masih tinggal di rumah mewahku. Intan tak pernah menghubungiku karena ponselku mati total.

"Lebih baik cari sesuatu yang dapat dijual. Perhiasan atau uang terselip di lemari." Ide tante Vivi menelusuri kamarku dan Intan.

"Iya, duit kita hampir habis. Tak mungkin kita minta kepadanya. Ayo, Ma. Aku bantu cari." Lisa menimpali dengan semangat.

Tante Vivi mencoba membuka lemari Intan namun, terkunci semua. Lalu mencoba mencari di lemari pakaianku. Hanya ada kosmetik dan parfum milik Intan di meja rias.

"Tak ada apa-apa. Ke mana perhiasan si Intan." Tangan mertuaku masih sibuk mencari sesuatu.

"Hei, Ilham. Ke mana hartamu? Tak ada apa-apa di rumah ini?" tanya tante Vivi. Ia terlihat geram.

Aku diam tak bergerak sedikitpun. Tubuhku lemas tak berdaya. Lelah karena berteriak meraung-raung memanggil nama Intan dan Rita.

Terkadang tatapan yang kosong dan lupa untuk semuanya. Melupakan anak dan istri-istriku. Tertawa melihat adegan menangis di televisi.

"Sepertinya dia gila." Ucapan Rico membulatkan mata mereka.

Aku juga terkejut. Apa mungkin aku seperti itu atau karena stres. Aku mengelengkan kepala. Menolak untuk gila. Tak mungkin lelaki tampan dan kaya raya yang selalu diincar semua wanita tiba-tiba gila akibat pernikahan yang kedua.

Tak mungkin, tak akan ada yang percaya. Aku hanya merasa menyesali perbuatanku kepada Intan dan Bayu. Memaksa mereka menerima Rita dan keluarganya.

"Kita bawa ke rumah sakit jiwa," ucap Rico. Mereka menganggukkan kepala tanda setuju.

Tak ada bos besar yang menjadi gila karena persoalan sepele ini. Aku memberontak sekuat tenaga agar tali ini terlepas.

Berteriak di dalam hati." Tidak! Aku tak mau ke rumah sakit."

Mereka meninggalkanku di dalam kamar seorang diri dan menutup pintu rapat. Sepasang mata tersenyum menyeringai di pojok kamar. Ia tertawa seakan-akan aku kalah.

***

Akhirnya, Intan pulang ke rumah. Ia menatapku dari pintu kamar. Rita berada di belakangnya.

Tak ada rasa rindu di mata wanita itu. Wanita yang telah aku khianati cintanya.

Tangannya melepas lakban di mulutku dengan cepat. Rasa sakit dan nyeri di bagian tersebut.

"Intan kamu pulang," sapaku dengan nada rindu.

"Aku pulang untuk membawamu ke tempat yang tepat. Kamu jangan khawatir. Tetaplah menurut apa yang aku perintahkan."

Segerombolan orang berpakaian serba putih masuk ke kamar. Mereka mengelilingiku. Menatap dengan tajam seolah-olah aku adalah mangsa yang empuk.

"Bawa dia!" perintah Intan.

"Tidak, jangan! Kalian mau bawa aku ke mana? Aku mohon! Aku tidak gila hanya stres. Intan! Tolong Mas!" teriakku mereka memegang tubuhku yang memberontak. Melawan sekuat tenaga, aku tak mampu.

Seorang wanita berpakaian sama menghampiriku dengan tangan memegang alat suntik. Jarum itu menusuk ke bagian lengan. Seketika tubuhku melemas dan terpejam. Rasanya seperti melayang di udara.

"Intan, Bayu maafkan papa," lirihku dalam tidurku.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status