Share

Delapan

Aku mengantar mas Ilham hingga masuk ke dalam mobil ambulan. Adel mengikuti mereka dari belakang. Menatap mobil berwarna putih dengan sirene berbunyi nyaring.

Para tetangga mengintip di balik jendela ada juga yang keluar rumah melihat apa yang terjadi.

"Pak Ilham dibawa ke rumah sakit, Bu Intan?" tanya tetangga depan rumahku.

"Iya, Pak. Biar ditangani oleh pihak yang lebih ahli."

"Iya Bu. Betul sekali. Kasihan pak Ilham menjerit kesakitan."

"Iya Pak. Maaf kalau menganggu kenyamanan Anda. Saya permisi Pak. Mau masuk ke dalam. Ada yang harus saya kerjakan," pamitku.

"Semoga pak Ilham lekas sembuh," ungkapnya.

"Iya Pak, terima kasih." Aku tersenyum ramah. Pandangan tetanggaku terlihat sinis dan tersenyum kaku. Aku menangkap sorotan mata yang tak suka.

Kutepis semua yang ada di kepala. Sudah terbiasa jika tetangga iri hati, julid atau apapun.

Langkahku terhenti ketika mendengar tante Vivi berbicara dengan ketiga anaknya.

"Bagus, sekarang kita bisa tenang di sini. Melakukan apa saja di rumah ini."

"Bener, Ma. Di sini enak dan luas. Lisa bisa bawa teman-teman Lisa ke sini."

Ternyata mereka ingin jadi benalu di rumah ini. Menumpang hidup di rumahku. Dasar tak tahu malu. Melanjutkan langkahku dengan sedikit membusungkan dada.

"Kalian masih di sini rupanya. Kapan perginya?" usirku secara halus.

Menjatuhkan bongkok di sofa, melipat kaki dengan tatapan angkuh.

"Ck, kamu lupa dengan status Rita di sini?" ucap tante Vivi. Ia melipat tangannya tak kalah angkuh.

"Oh iya, aku lupa kalau Rita istri mas Ilham. Istri siri." Menekan kata terakhir agar mereka sadar.

"Mau siri atau sah, sama saja. Tak ada perbedaan." Wanita yang berpenampilan merasa muda menatap tajam ke arahku.

"Kami akan tinggal di sini sampai mas Ilham sembuh," ucap Rita.

"Kamu yakin kalau mas Ilham sembuh? Kalian saja tak menolongnya sewaktu ia ketakutan."

"Kami menolongnya. Jangan asal bicara kamu!" hardik tante Vivi.

"Mengikat kedua tangan di ranjang dan menutup mulut dengan lakban. Apa itu disebut menolong? Kalian lucu!" Aku tertawa, menertawakan mereka.

Mereka tak berani mengeluarkan suaranya.

"Rita juga nyonya rumah ini sama seperti kamu. Rumah ini milik Ilham!" Tante Vivi terlihat emosi. Matanya memerah.

"Hanya aku nyonya di rumah ini. Tak ada nyonya lain." Menyandarkan punggung ke sofa.

"Jangan serakah kamu! Lihatlah aku sedang mengandung anak mas Ilham. Aku berhak tinggal di rumah ini!" hardik Rita tak terima.

"Siapa yang serakah? Aku atau kamu?"

"Intan, kamu harus mau berbagi dengan Rita. Kamu harus sadar kalau Ilham memiliki dua istri artinya Rita juga berhak mendapatkan apa yang kamu dapatkan."

"Bener kata Mama. Mba Intan harus rela berbagi. Berbagi hati, rumah, dan uang." Lisa mulai mengeluarkan suaranya.

"Berbagi dengan pelak*r? Mimpi kalian!" teriakku.

"Aku bukan Pelak*r! Aku istri mas Ilham." Rita bangkit dari duduknya. Ia tak terima dengan tuduhanku.

"Kamu pelak*r! Memberikan tubuhmu hingga hamil dan suamiku terpaksa menikahimu. Kalau saja kamu tak melakukan hal murahan," sindirku.

"Kurang ajar kamu Intan! Aku bukan wanita seperti itu!"

Aku tertawa menatap raut wajahnya. Ia tak terima dengan sebutan itu.

"Wanita sepertimu cocok dengan julukan itu. Mur*han!"

Rita menyiram air teh yang berada di atas meja ke wajahku. Aku menatapnya dan menghampiri wanita itu. Melayangkan tangan ke udara.

Plak!

"Pergi kalian dari rumahku atau kalian akan menyesal!" ancamku.

"Coba saja usir kami! Kami tak akan pergi," teriak lelaki yang turun dari tangga. Riko melempar empat cctv mini ke arahku.

Tersenyum menyeringai dengan mata jahatnya. Entah bagaimana ia menemukannya.

"Kami sudah mengetahui rencana busukmu. Biarkan kami tinggal di sini atau aku akan membuat dirimu menderita."

Menatap mereka berempat yang menatapku tajam. Satu lawan empat. Apa mungkin aku menang di perdebatan ini.

"Kami akan tinggal di sini. Sampai anak ini lahir," ungkap Rita dengan percaya diri. Ia mengelus perut yang sedikit menonjol.

"Dan kamu harus menafkahi Rita selama Ilham tak ada," sahut Riko membela adiknya.

Berusaha menenangkan diri dengan tertawa. Setidaknya, kegugupanku tak terlihat.

"Nafkah apa yang kamu inginkan? Nafkah batin atau nafkah lima belas ribu sehari? Bukannya, kamu telah mendapatkan selama kalian berzina," sindirku. Melangkah ke belakang menjauhkan diri dari mereka.

"Kami melakukannya dengan suka sama suka. Tak ada paksaan dari kami."

"Kamu yakin tak ada paksaan atau kamu berusaha memasukkan obat per*ngsang."

Mereka diam tak berani mengelak. Artinya mereka telah melakukannya.

"Ilham mencintai Rita melebihin dirimu."

Ucapan tante Vivi membuat hatiku nyeri. Apa begitu besarnya cinta suamiku untuknya.

Aku menghela napas panjang. Sepertinya harus mengalah tapi bukan kalah. Aku akan mengikuti permainan mereka. Sampai mana mereka akan bertahan.

"Baiklah aku setuju kalian tinggal di sini sampai suamiku sembuh." Aku melangkah ke atas menuju kamar Bayu--anakku. Menutup pintu dan menguncinya.

Memandang langit-langit kamar agar air mata tak jatuh ke pipi. Foto kami terpajang di kamar anakku. Bingkai yang besar.

Segera menurunkannya dan meletakkan di belakang lemari. Tak ingin mengingat kenangan manis bersamanya.

Aku tak boleh lemah. Harus mendapatkan apa yang seharusnya aku miliki. Tak ingin jatuh ke tangan orang yang salah. Semua ini milikku bukan miliknya.

Mereka bermain keroyok. Lihat saja akan aku buat kalian tak betah dan angkat kaki dari rumah ini. Berapa lama kalian akan bertahan.

Mengambil ponsel di kantung bajuku. Menghubungi Adel dan menanyakan keadaan mas Ilham.

"Intan, suamimu gila beneran. Obat apa yang kamu berikan kepadanya?"

Ternyata, ia sudah sadar. Apa mungkin mas Ilham gila beneran. Aku bisa mendengar jeritannya di ponselku.

Apakah dia meminum sesuai takarannya atau over dosis. Kalau over dosis ia pasti sudah keracunan obat. Ada yang tak beres.

****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Cut Mira Kartika
bagus ceritanya saya suka,saya suka
goodnovel comment avatar
Ayu Novita
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status