Bab. 75 Tubuh Rehan berbalik badan meninggalkan tempat dengan wajah sedih dan kecewa. Apakah aku akan ditinggal oleh mereka setelah mengetahui pekerjaanku. Perkejaan yang aku kerjakan beberapa tahun hingga menghasilkan cuan mengoda. "Rehan!" panggilku. Ia tak menolehkan wajah ke belakang. Rasanya hatiku sakit. Ternyata semua orang banyak yang tak suka dengan pekerjaan ini. Aku harus bagaimana menghadapi masalah kali ini?"Rehan ...." Suaraku merendah seakan mengiba agar pemuda itu tak pergi. Mungkin, ia tak percaya dengan kabar di medsos tetapi di depan matanya aku mengakui semuanya. "Lihatlah, kekasihmu saja tak terima pekerjaan kotormu. Kasihan sekali dirimu." Mereka tertawa mengejekku. "Diam! Jangan ikut campur!" Kutunjuk wajah lelaki yang tak bisa menjaga mulutnya. Ingin ku robek mulut kotor mereka dengan belati tajam. Sayang sekali hal itu dapat menjerat diriku dan masuk ke dalam jeruji penjara. Tentu saja tak mau menghabiskan sisa hidup di dalam penjara. "Cuih, kamu itu so
Bab 76Kuikuti langkahnya yang menuntun diri ini ke suatu tempat. Penutup mata belum juga dilepaskan begitu juga ikatan tangan di belakang pinggangku. Hingga ikatan itu terbuka tetapi kedua tanganku dipegang oleh dua tangan berbeda. Kini tanganku berada di atas bahu terikat lebih kencang dari sebelumnya. Aku merasakan seperti melayang di udara. Tanah tak terpijak dari kakiku. Ya Tuhan, apakah hidupku telah berakhir. Kakiku tak menyentuh tanah, apa yang dilakukan mereka kepadaku. Ya Tuhan, selamatkan aku. "Argh! Lepaskan aku!" Sakit, itu yang aku rasa. Kedua tanganku ditarik paksa hingga tubuh ini melayang. Begitu kejamnya mereka, aku tak bersalah. Aku yakin mereka telah diprovokasi oleh orang lain. "Ini pembalasan kami untukmu, Nona!" teriak suara barito yang duduk di depan. Aku masih mengenali suara itu. "Lepaskan aku! Aku pastikan kalian masuk penjara!""Sebelum kamu memenjarakan kami. Kami akan melenyapkan nyawamu tanpa sisa." Tawa mereka mengema, hatiku nyeri. Bagaimana den
Bab 77Langkah kakiku sudah berada di daratan, bersembunyi di pepohonan. Melangkah menuju mereka. Hanya ada tiga orang yang berada di sana lalu ke mana sisanya.Hingga tubuhku mendekati mereka tanpa disadari oleh siapapun. Aku penasaran siapa dibalik ini semua, hingga kedua netra tak sengaja menangkap sosok lelaki yang aku kenal. Sialan! Tenyata dia pelakunya. Mengepalkan tangan sekuatnya. Aku harus segera pergi sebelum mereka mengetahui kepergianku. Langkah kakiku perlahan menjauh, batu kerikil menyakiti telapak kaki tak peduli asalkan aku selamat. Hingga rintihan keluar dari bibir ini. Beling menancap di telapak kaki. Tanpa kusadari tangan seseorang membekam mulutku kasar dan menyeret tubuh ini. "Ha ... ha ... ha .... Mau kabur ke mana lu?" tanyanya memeluk tubuhku dari belakang. Ingin berteriak atau menendang, sepertinya ia sudah tahu taktik ini. "Hei kalian bodoh! Wanita itu di sini." Teriaknya ke arah mereka. Hingga Kedua netra kami berhadapan, pemuda yang berada di balik
"Kamu, Serly!" sapaku hingga tak mengenalinya mengapa pakaiannya seperti itu. "Iya, kamu tak mengenalku, ya?" tanyanya dengan gaya genit. "Kenapa kamu datang sendiri. Mana yang lain?" "Mereka sibuk. Aku bawakan ini untukmu." Menyodorkan paper bag dan beberapa plastik hitam kepadaku. "Apa ini?" Melihat paper bag dan memberikan plastik hitam kepada Bude Lasmi. Kubuka perlahan. Beberapa dress cantik tetapi terlalu terbuka. Aku mengernyit heran kepadanya. "Untuk apa ini?""Untukmu." "Aku tak suka." Meletakkan paperbag itu. "Aku tahu. Aku juga tak suka." Serly tertawa terbahak-bahak. Hingga kedua netra kami mengeluarkan embun. "Bagaimana keadaan di luar sana?" Aku sudah lama tak keluar, ingin tahu keadaannya. "Lebih baik," jawaban singkat terlontar dari bibirnya. Tak membuatku puas baik hati dan pikiran. "Mama dan Bayu?" Serly tersenyum menatapku. Mengapa ia tersenyum seperti itu hingga membuatku semakin penasaran saja. "Serly?"Tangan lentik wanita yang kini sudah berganti pa
Bab 79 Kedua netra ku mendadak mengantuk, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Aku pamit undur diri untuk istirahat kepada Reyhan yang masih duduk menikmati kopinya. Beberapa pisang masih berada di atas piring. "Aku pamit ke kamar," ungkapku menguap berkali-kali dan menutup dengan telapak tangan. "Istirahatlah. Siapkan mentalmu besok." Reyhan mengulum senyum, penampakan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. "Siap Bos!" Kulangkahkan kaki ke kamar, Serly masih terlelap dengan memeluk guling. Kuselimuti tubuh gadis mengenakan kaos lengan panjang dan celana pendek. Aku ikut terbaring di ranjang yang sama. Kedua telingaku mendengar suara dua manusia yang sedang bercakap. Membuka perlahan mata ini dan melihat sisi ranjang. Tak ada sahabatku di sana karena penasaran aku bangkit dan menghampiri suara tersebut hingga kedua indera pendengaran mencerna pembicara mereka. "Apa kamu yakin dengan bukti itu?" tanya Reyhan masih duduk di tempat yang tadi. Entah bagaimana Serly bisa be
"Itu orangnya!" Tunjuk salah satu dari mereka ketika melihat aku keluar dari mobil. Wartawan lain ikut menoleh ke arah teriakkan pria itu. Mereka berlari berbondong-bondong menghampiri di parkiran mobil. Reyhan segera memeluk bahuku dan melangkah menuju gedung yang kini berada di depan mata. Tak hanya Reyhan melindungi dari kejaran para wartawan. Beberapa pria berpakaian keamanan ikut menghadang mereka. Begitu sulit melangkah, para wartawan seperti tak memberikan ruang kepada kami. Beberapa pertanyaan terlontar dari bibir mereka. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan terlontar. Melangkah lurus tanpa mau melihat ke bawah karena akulah Intan yang selalu menjadi wanita tangguh. Hingga kami masuk ke dalam ruang sidang. Jantungku berdegup kencang melihat keadaan di dalam. Hakim belum duduk di kursi tertinggi. Adel dan Cheri juga ada di dalam. Mereka menghampiri dan memeluk tubuh ini. "Kamu jangan cemas. Kita hadapi bersama-sama," ucap Adel. "Iya, tenang saja. Semua akan beres." Reyha
Sejak lamaran mendadak itu aku dan Reyhan semakin dekat dan aku merasakan hal yang sama dengan pemuda itu. Setiap hari kami bertemu. Kalau Reyhan sibuk ia hanya menghubungiku melalui video call. "Mama!" Bayu keluar dari mobil dan berlari ke arahku. Anak itu sudah semakin besar. Wajahnya mirip sekali dengan Mas Ilham. "Bayu, akhirnya kamu pulang." Kupeluk anakku, kerinduan yang mengebu terobati. "Tentu saja pulang. Aku rindu Mama. Bagaimana liburan Mama?" tanyanya menatap wajahku lekat. Tubuh Bayu bertambah gemuk. Mamaku pasti sangat memanjakannya. Kulirik Mama dan Reyhan yang sudah berdiri dekatku. Mungkin saja mereka terpaksa berbohong untuk menutupi permasalahan yang telah aku hadapi. "Cukup menyenangkan dan banyak pelajaran yang Mama ambil." Mencium pipi gembul Bayu gemas. "Kenapa tak mengajakku?" tanyanya merajuk. "Kamu saja tak mengajak Mama." Bayu menatapku. "Kita seri Ma." Kami terkekeh geli mendengarnya. Reyhan berdehem di saat kami telah menyelesaikan makan siang ka
"Mirip sekali." Om Leo menatapku tak berkedip. Mulutnya sedikit menganga akupun heran dengan pria yang akan menjadi calon mertuaku. Berkali-kali Tante Lusi, mama Reyhan menyenggol tubuh suaminya dengan sikut. Hanya saja pandangan Om Leo tak lepas dari wajahku. "Maaf Om. Mirip siapa?" Aku berani bertanya karena ucapan pria yang seumuran almarhum papa menatapku tak berkedip. Seperti melihat seseorang di masa lalu. "Oh, mirip seseorang. Ayo kita duduk Ma." Om Leo menarik kursi untuk istrinya. Wajah wanita itu tampak masam mungkin bisa diartikan cemburu. Apakah karena Om Leo berkata demikian, aku mirip seseorang. Apakah aku akan memiliki mertua seperti sebelumnya. Semoga saja tidak terjadi seperti dulu. Sebelum mereka datang kami sudah memesan makanan agar tak lama menunggu-nunggu. "Sekarang kamu kerja di mana?" tanya Om Leo kepadaku sambil menikmati makan malam. "Entahlah Om. Belum ada planning. Perusahaanku masih bisa digunakan karena itu miliki sendiri." Sayang sekali kalau dijual