Tampak sesosok wanita berwajah cantik tanpa pulasan makeup, berjalan masuk ke dalam sebuah restoran yang selalu ramai pengunjung. Restoran itu telah beroperasi belasan tahun. Berkat semangat dan keuletan dari pemiliknya, usaha kulinernya itu terus berkembang hingga seperti saat ini.
Tentunya tak akan ada kesuksesan yang didapat seseorang tanpa adanya pengorbanan. Seseorang perlu mengorbankan tenaga, waktu, pikiran atau pun yang lainnya bila ingin meraih atas apa yang diniatkan atau diimpikan.
Ada sebab maka akan ada akibat. Sebab kita mengorbankan sesuatu, maka akibatnya pun akan kita dapatkan. Namun, di antara semua pengorbanan itu, hanya waktu yang tidak dapat diputar kembali bila kita telah kehilangan itu waktu. Entah kehilangan waktu untuk keluarga maupun untuk diri sendiri.
“Hai, Maylin. Apa kabar?” Salah satu pekerja restoran menyapa hangat kepada wanita itu.
“Mama ada di ruangannya?” Maylin menolehkan kepalanya, memandang ke pegawai yang telah bekerja lama di restoran milik ibunya, Restin Banara.
Setiap kali dirinya datang ke restoran ini, hatinya merasa tercubit, sebab demi mengembangkan usaha kuliner tersebut, Restin telah menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk mengurus bisnisnya daripada memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
“Ibu ada di dalam bersama Rayla. Deon juga ikut datang, tapi sekarang dia sedang ke toilet.”
“Terima kasih, Alice.” Kemudian Maylin berjalan menuju ruang kerja ibunya dan berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat.
Tangannya terangkat memutar kenop pintu perlahan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dari celah pintu yang telah terbuka sedikit, indra pendengarnya menangkap suara Rayla yang penuh emosi dari dalam ruangan.
“Bukannya Mama mengatakan kalau restoran ini bergabung dengan teman Mama?”
“Mama terpaksa berbohong. Bekerja sebagai asisten dapur, gajinya tidak cukup untuk membiayai kalian. Maka itu, saat Frans datang memberikan bantuan dalam bentuk uang yang tidak sedikit, Mama membuang ego mama dan menerima uang itu,” tukas Restin berapi-api.
Kedua netra cokelat milik Maylin membulat lebar. Jantungnya kini berdebar cepat. Kenyataan tentang biaya pendidikan dan hidup mereka selama ini ternyata adalah pemberian dari pria itu membuat emosinya bergejolak seketika.
“Berapa jumlah uang pemberian dari bajingan itu, Ma? Kembalikan semua uang itu padanya! Aku tidak sudi menggunakan uangnya walau hanya sepeser pun!” hardik Maylin masuk ke dalam ruangan hingga membuat Restin dan Rayla terkesiap melihatnya.
Maylin mengira rahasia yang disimpan Restin hanya satu hal itu saja. Namun, tidak disangka masih ada rahasia-rahasia lain yang tidak ia ketahui.
Dalam perdebatan kali ini, mau tak mau Rayla yang telah mengetahui rahasia itu terlebih dahulu pun menceritakan kepada adiknya. Tentang aib orang tuanya dan sebuah kebenaran dibalik keluarga mereka tercerai berai.
Rayla Pramanta dan Maylin Pramanta adalah kakak beradik yang usianya terpaut dua tahun. Sejak Frans Pramanta, sang ayah, pergi meninggalkan mereka ketika usia mereka masih dini, Rayla dan Maylin saling menghibur dan menyemangati satu sama lain sementara Restin terpuruk dalam kesedihannya, membenamkan diri dengan kesibukan-kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk mereka berdua.
Kepergian Frans meninggalkan luka teramat dalam bagi sepasang kakak beradik itu sehingga masing-masing memiliki trauma tersendiri. Rayla yang tak mudah jatuh cinta pada pria dan takut untuk membangun rumah tangga sedangkan Maylin berambisi untuk membentuk keluarga sendiri yang harmonis dan bahagia.
Namun, sayangnya ambisi itu harus dikubur. Akibat peristiwa kecelakaan yang menimpa diri Maylin setengah tahun yang lalu, menjadikan dirinya sebagai wanita yang tidak sempurna lagi.
“Maafkan atas kesalahan yang kami buat tanpa sadar telah menyakiti kalian. Mama lupa kewajiban Mama sebagai orang tua yang seharusnya melindungi kalian. Sungguh, Mama ingin memperbaiki semuanya.” Sepasang netra cokelat gelap milik Restin menatap kedua putrinya dengan air mata yang mengalir deras.
Restin menyesali telah kehilangan waktu bersama kedua putrinya. Ia terlalu larut dalam lukanya sehingga melupakan bahwa anak-anaknya ketika itu membutuhkan kehadirannya. Ia telah gagal menjadi orang tua yang teladan bagi anaknya.
Kedua netra Maylin menangkap lembaran kertas yang tergeletak di atas meja. Ia lantas meraih kertas itu dan membacanya dengan suara bergetar. “Frans Osborn.”
Kemudian ia tertawa mengejek. “Bajingan itu sekarang menjadi pengusaha sukses setelah membuang nama pemberian keluarganya sendiri?”
“Berhentilah menyebut papamu dengan sebutan bajingan, Maylin! Seburuk apa pun pria itu, dia tetap papamu,” tegur Restin.
“Dia bukan papaku! Papaku sudah meninggal!” Maylin menjerit kencang hingga kedua netranya membelalak, menatap Restin dengan nyalang.
Air matanya tak terbendung lagi. Setetes air mata lolos dari salah satu sudut matanya, disusul tetesan berikutnya hingga kemudian menjadi aliran deras membasahi wajahnya.
Setelah ayahnya pergi, seiring berjalannya waktu, Maylin terus memupuk kebencian pada pria itu. Easa benci itu kini semakin dalam begitu dirinya tahu ternyata kehadirannya tak berarti apa-apa bagi pria itu.
*****
Entah sudah berapa lama Maylin berdiri di depan gedung pencakar langit milik Osborn Corporation. Gedung pencakar langit yang jauh dari kata sederhana karena memiliki tampilan yang luar biasa mewah dan kokoh.
Ia hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung itu, namun urung ketika sepasang netra cokelatnya menangkap sesosok pria yang bertubuh tinggi dan masih terlihat tegap untuk umurnya yang memasuki kepala lima. Meskipun waktu telah berselang selama belasan tahun, tetapi kenangan wajah pria itu masih melekat kuat dalam ingatannya.
Seluruh tubuhnya terasa kaku melihat pria itu tengah tertawa bahagia bersama seorang wanita muda dengan memiliki kemiripan wajah pria itu. Dadanya bergemuruh kuat menahan amarah dan tangis. Kilasan masa lalu yang menyakitkan, berputar kembali dalam benaknya.
Ada pepatah mengatakan darah itu lebih kental dari air, tapi sering kali hanya air yang ada ketika kita butuh sementara darah entah ada di mana. Mungkin bagi pria itu, keluarga dari istri pertamanya lah yang lebih dianggap sedarah dengannya.
Kedua netra Maylin tak bisa lepas dari pemandangan itu hingga akhirnya sosok mereka menghilang masuk ke dalam mobil, lalu melintas pergi tanpa menyadari kehadirannya.
Mendadak amarahnya menjadi membara. Semua kekecewaan, kekesalan dan ketidaksenangan membuatnya tak mampu lagi menahan emosinya. Dalam hidupnya, hanya satu hal yang membuatnya menyesal dilahirkan ke dunia ini. Alangkah baiknya jika dirinya bukan lah anak dari Frans Osborn.
Maylin keluar dari taksi yang ditumpanginya, lalu berjalan dengan tangan menggenggam dua ikat bunga besar berwarna putih. Langkahnya berhenti di tempat yang telah menjadi tujuannya dari awal.Maylin duduk berjongkok menghadap dua gundukan tanah yang ada di hadapannya. Bunga yang dibawanya, ia letakkan di atas masing-masing gundukan tanah di hadapannya. Kemudian mengelus-elus kedua batu nisan yang ditancapkan di gundukan tanah itu secara bergantian.Maylin tersenyum melihat nama yang terukir di kedua batu nisan tersebut seraya meneteskan sebutir air mata sedih. Ia mendesah pelan. Nama yang terukir di dua batu itu, satunya adalah nama seseorang yang sangat ia cintai dan satunya lagi adalah nama buah hatinya yang pergi sebelum dilahirkan.“Mengapa kau hanya membawa anak kita, Wan? Mengapa tidak membawaku pergi bersama kalian? Dengan begitu, aku tidak perlu mengetahui aib kedua orang tuaku.” Beberapa ungkapan hati dituturkan keluar oleh Maylin, terdengar begitu menyayat hati.Ia sungguh-s
“Aku pulang kalau sudah menemukan pekerjaan baru. Aku tidak mau seharian penuh berada di dalam rumah.”Maylin segera memberi alasan ketika Rayla dan Deonartus Surbakti, tunangan Rayla, bertandang ke rumah Frida. Rayla dan Deon tengah berusaha membujuk Maylin agar kembali pulang ke rumah.“Bagaimana kalau bekerja di kantor Elian?” Frida tiba-tiba mengucapkan keluar pemikirannya. “Kebetulan Elian sedang mencari sekretaris. Biar Maylin saja yang menempati posisi itu.”“Tapi aku membutuhkan yang sudah berpengalaman sebab pekerjaan sekretarisku sangat banyak. Akan memakan waktu lebih lama kalau aku masih mau mengajari yang tidak memiliki basic sekretaris, Mom,” jawab Elian.“Diterima saja dulu Maylin sebagai sekretarismu. Siapa tahu dia memiliki persyaratan yang kau butuhkan.” Frida mengusulkan idenya itu semata-mata agar hubungan Elian dan Maylin kembali dekat seperti dulu.Sejak Elian melanjutkan pendidikannya ke negara kelahiran putra sulungnya itu, entah mengapa hubungan Elian dengan D
Disebuah rumah sederhana, terdapat beberapa orang tengah berkumpul di ruang tamu, mengobrol sembari membahas tentang pengiring pengantin pria dan wanita pada acara pernikahan Deonartus Surbakti dan Rayla Pramanta. “Yang akan menjadi bridesmaidnya adalah aku, Bella dan Alice,” ucap Maylin dengan nada yang tak terbantahkan. Ia percaya dengan mitos bahwa hanya wanita single yang boleh menjadi bridesmaid agar mereka dapat menemukan jodohnya di antara barisan groomsmen yang ada. “Ini pernikahanku, Lin. Biarkan aku yang mengambil keputusan.” Rayla mencebik kesal sebab adiknya dengan seenaknya mengatur pengiring di acara pernikahannya nanti. “Tapi bagaimana kalau setelah Agatha menjadi bridesmaid, dia dan Peter malah bercerai?” Maylin menyerang Rayla dengan pertanyaan balik. “Hei! Cinta kami tidak sedangkal itu!” pekik Agatha yang segera memprotes ucapan Maylin yang terdengar sangat mengerikan itu. “Lalu groomsmennya siapa saja?” tanya Bella mengalihkan topik pembicaraan. Rayla, Agatha
2 Tahun kemudian “Hari ini apa saja jadwalku, Lin?” Elian berjalan masuk ke ruang kerjanya setelah rapat bersama para direksi berakhir. Tangannya bergerak melonggarkan dasi yang melingkar di kerah bajunya. “Tidak ada, Pak.” Maylin mengambil jaket setelah pria itu melepaskan baju luar itu, kemudian menggantungkannya pada standing hanger yang terletak di sudut ruangan. Dua tahun menjadi Sekretaris Elian, membuatnya sedikit banyak mengetahui kebiasaan pria itu. Elian melirik Maylin dari sudut ekor matanya. Mengingat dirinya akan segera pergi meninggalkan wanita itu, ada perasaan tidak rela dalam hatinya. Haruskah ia membawa juga wanita itu pergi bersamanya? Seminggu yang lalu, ia mendapatkan telepon dari sang ayah, meminta padanya untuk kembali ke London dan mengurus kantor pusat di sana. Elian sempat menolak sebab ia tidak mau kehilangan Maylin untuk kedua kalinya. Cukup satu kali saja ia melakukan kesalahan. Akan tetapi, sang ayah tidak menerima penolakan terlebih atas sikap impusi
Pengajuan Maylin mengenai keinginannya untuk pindah ke kantor utama Carter Corporation langsung saja disetujui oleh Elian. Tanpa banyak bertanya, pria itu segera menugaskan bagian human resources departemen untuk mengurus segala macam kebutuhan mutasi tersebut. Maylin berdalih hendak mencari suasana baru ketika mengatakan alasannya pada sang ibu dan kakak. Meski kedua wanita itu merasa keberatan, tetapi akhirnya mereka pun dapat memahaminya. Mereka berharap dengan meninggalkan tempat yang memiliki kenangan menyakitkan, Maylin dapat fokus menata kembali hidupnya dan mencari kebahagiaan baru. ***** Leonel Norman duduk di kursi pengunjung salah satu café terkenal di kota ini seraya menunggu Maylin datang. Ia sudah membuat janji temu dengan wanita itu beberapa hari yang lalu. Sebelum tiba di tempat ini, ia mengunjungi kantor milik Deonartus terlebih dahulu. Ingatannya kembali tatkala sahabatnya itu memberikan peringatan disertai dengan tatapan menghunus tajam padanya. 'Kau boleh berm
Seorang wanita berparas cantik, berbalut dress hitam fit body dengan aksen sheer dan berpotongan model strapless, dengan tergesa-gesa melangkah mendekati sesosok pria yang sedang duduk di antara pengunjung restoran. Meskipun penampilan pria itu terlihat kasual, tetap saja tidak mengurangi ketampanan yang dimilikinya. “Sudah lama menunggu?” tanya Vlora setelah mendaratkan pantat dengan sempurna di atas kursi depan Elian seraya tersenyum simpul. Elian mengulurkan segelas smoothies blueberry ke arah Vlora yang diterima oleh wanita itu, lalu diteguknya minuman tersebut. Bertahun-tahun mengenal Vlora, ia paham betul dengan kebiasaan apa saja yang dikonsumsi wanita itu untuk menjaga berat badannya tetap ideal. “Tidak terlalu lama hingga aku sudah menghabiskan secangkir frappuccino dan ini adalah cangkir kedua,” kelakar Elian yang disambut tawa renyah oleh Vlora. “Anyway, terima kasih atas minumannya. Kau sangat memahami kebiasaan dan kesukaanku, Honey.” Sudah menjadi kebiasaan Vlora mema
“Pertama, genggam grip pistol dengan weapon hand secara penuh dan konsisten. Genggam dengan erat karena genggaman tersebut akan memberikan resistensi ke arah weapon hand saat pistol meletus. Jangan lupa, finger off. Telunjuk mengarah ke depan sejajar dengan laras. Saat kau sudah siap menembak, jari telunjuk weapon hand siap menekan pelatuk.” “Seperti ini?” Maylin mengikuti instruksi dari Leonel tentang cara menggenggam pistol yang efektif. Leonel memperbaiki posisi telapak tangan Maylin pada bagian weapon hand. “Tidak boleh ada jarak antara beaver tail dan selaput antara jempol dan telunjuk.” Ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Maylin, ia merasakan sensasi jantung yang berdetak kuat, tidak beraturan secara tiba-tiba. Shit! Ia belum pernah merasakan perasaan seperti ini tatkala berdekatan dengan wanita lainnya. “Prinsip ini berguna untuk memberikan tahanan saat ada recoil ke belakang dan mengarahkan recoil agar moncong tetap stabil menghadap ke depan,” imbuh Leonel sembari beru
Taksi yang ditumpang Maylin berhenti di depan coffe shop yang begitu ramai oleh pengunjung sebab sekarang adalah jam istirahat pegawai kantor. Setelah membayar ongkos, ia bergegas turun.Maylin menebarkan pandangan matanya ke sekeliling bagian outdoor dan akhirnya menangkap sosok wanita dalam usia tiga puluh tahun dengan kecantikan yang memesona bagi siapa saja yang melihatnya, tengah duduk seraya memainkan ponselnya. Ia mendengus kencang. Sepasang netranya memandang wanita itu dengan penuh kebencian.Konflik yang terjadi antara kedua orang tua mereka, membuatnya mendapatkan perlakuan tidak adil. Mengapa rahasia mereka tidak dibawa saja sampai ajal datang menjemput? Dengan begitu, ia tak akan tahu rahasia dibalik keluarganya yang tidak utuh, juga tidak perlu hidup dengan menaruh dendam. Sungguh Tuhan tak adil padanya.Maylin menarik kursi, lantas duduk di atasnya dengan posisi tegak dan punggung yang bersandar pada sandaran kursi. Dagunya di angkat tinggi-tinggi agar terlihat angkuh.