Share

Chapter 2

Maylin keluar dari taksi yang ditumpanginya, lalu berjalan dengan tangan menggenggam dua ikat bunga besar berwarna putih. Langkahnya berhenti di tempat yang telah menjadi tujuannya dari awal.

Maylin duduk berjongkok menghadap dua gundukan tanah yang ada di hadapannya. Bunga yang dibawanya, ia letakkan di atas masing-masing gundukan tanah di hadapannya. Kemudian mengelus-elus kedua batu nisan yang ditancapkan di gundukan tanah itu secara bergantian.

Maylin tersenyum melihat nama yang terukir di kedua batu nisan tersebut seraya meneteskan sebutir air mata sedih. Ia mendesah pelan. Nama yang terukir di dua batu itu, satunya adalah nama seseorang yang sangat ia cintai dan satunya lagi adalah nama buah hatinya yang pergi sebelum dilahirkan.

“Mengapa kau hanya membawa anak kita, Wan? Mengapa tidak membawaku pergi bersama kalian? Dengan begitu, aku tidak perlu mengetahui aib kedua orang tuaku.” Beberapa ungkapan hati dituturkan keluar oleh Maylin, terdengar begitu menyayat hati.

Ia sungguh-sungguh merindukan sosok Darwan dalam hidupnya. Rasanya Tuhan bersikap tidak adil untuknya. Apakah kesalahan yang diperbuat kedua orang tuanya, dirinya lantas tak pantas mencecap kebahagiaan?

“Tadi aku pergi menemui pria itu. Kau tahu pemandangan apa yang kulihat di sana?” Maylin tertawa keras-keras seiring air mata menitik jatuh dari kelopak matanya.

"Pria itu mengusap kepala putrinya dengan begitu lembut dan mereka tertawa bahagia bersama-sama. Dulu dia pernah melakukan hal yang sama padaku dan Rayla. Mengingat semua itu, kini hanya membuatku semakin membencinya,” imbuhnya dengan derai air mata.

Langit yang mendung kian lama kian pekat gelapnya. Angin dan guruh petir silir berganti. Tak lama kemudian, hujan turun mengguyur jalanan.

“Akan kurebut kebahagiaan mereka. Senyum di bibir mereka akan berubah menjadi tangisan yang tak akan terlupakan. Aku berharap kau membantuku dari sana, Wan.” Suara Maylin yang penuh kebulatan hati, teredam derasnya hujan yang mengguyur tubuhnya.

Air matanya yang telah bercampur dengan air hujan, tertiup bersama angin kencang. Udara dingin menusuk tulang-tulang rusuk yang menembus kulit putihnya. Namun, tidak dapat mengalihkan rasa sakit di hatinya.

Seandainya aku tahu bahwa tumbuh dalam keluarga yang tidak utuh terasa sepedih ini, dan seandainya saja aku tahu kebahagiaanku bersamamu hanya sesingkat ini, aku pasti memilih untuk tidak pernah dilahirkan ke dunia. Batinnya.

*****

Darwan Bimala dan Maylin Pramanta, mereka berdua telah berpacaran sejak sekolah menengah pertama. Darwan seorang pria dengan memiliki kesabaran yang luar biasa, mengingat sifat Maylin yang keras kepala dan bertemperamen mudah meledak.

Darwan selalu mengutamakan kepentingan Maylin. Baginya, kebahagiaan Maylin merupakan kebahagiannya sendiri juga. Oleh karena itu, Maylin begitu dimanjakan sehingga wanita itu menjadi ketergantungan pada Darwan.

Maylin sendiri pun merasa beruntung dapat bertemu dengan pria seperti Darwan. Hidupnya menjadi lebih berwarna setelah kehadiran Darwan. Bahkan, ia mendapatkan curahan kasih sayang dari kedua orang tua pria itu yang tidak ia dapatkan dari keluarganya sendiri.

Akan tetapi, hidup selalu penuh bahagia nyatanya tidak ada yang bersifat abadi. Takdir seakan tidak mengenal itu semua. Apa yang sudah diatur oleh takdir, kita tidak dapat mengaturnya. Tidak peduli apakah kita siap menghadapi dan menerimanya atau tidak.

Setengah tahun yang lalu, Maylin yang tengah mengidam meminta Darwan untuk mengantarkannya ke sebuah rumah makan. Padahal, jarak dari rumah ke tempat itu cukup jauh. Dibutuhkan waktu lebih dari setengah jam untuk sampai di sana. Namun, seperti biasa Darwan tidak menolak apa pun permintaan Maylin.

Dalam perjalanan pulang, hujan turun dengan derasnya. Darwan sudah melajukan mobilnya dengan sangat hati-hati. Akan tetapi, akibat seorang sopir yang tengah membawa truk boks dalam keadaan mengantuk, kecelakaan pun tak terelakkan. Truk tersebut menabrak mobil Darwan, lalu terguling hingga berpindah jalur.

Maylin sempat melihat tubuh Darwan yang berlumuran darah di aspal jalanan sebelum kesadarannya hilang beberapa detik kemudian akibat rasa sakit yang menggerogoti seluruh tubuhnya.

Mereka segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, dalam perjalanan menuju rumah sakit, kondisi Darwan tengah mengalami perdarahan di dalam jaringan otak. Perdarahan tersebut mengakibatkan pembengkakan otak dan menyebabkan matinya sel-sel di otak.

Begitu tiba di rumah sakit, nyawa Darwan tidak dapat diselamatkan sedangkan Maylin mendapatkan benturan keras pada bagian perutnya sehingga membuatnya mengalami perdarahan hebat.

Kondisi janin yang masuk terlalu dalam ke dinding rahimnya, mengakibatkan dirinya harus segera melakukan operasi histerektomi. Maylin pun dipaksa kehilangan tiga hal sekaligus dalam hidupnya. Perasaan kehilangan yang sangat mendalam membuatnya rapuh.

Ketika mengingat tentang Darwan, ia merasakan sesak dan setiap melihat foto kebersamaan mereka membuatnya menangis tanpa henti. Ia juga tidak berani memejamkan kedua kelopak matanya untuk tidur sebab peristiwa kecelakaan itu selalu hadir dalam mimpinya. Semua itu semakin membuat dirinya tersiksa serta mulai kehilangan kewarasannya.

Rayla yang menemukan adiknya mengkonsumsi obat tidur hingga hampir merenggut nyawa karena overdosis, menganjurkan Maylin untuk pergi ke psikiater. Tidak ingin membuat kakaknya bersedih, Maylin akhirnya bersedia menjalani sesi terapi.

Kondisinya kini sudah lebih stabil. Meskipun begitu, obat anti depresan tetap selalu ia bawa sebab kejadian kecelakaan tersebut membuat dirinya mengalami gangguan stress pascatrauma.

*****

Elian Grayson Carter, pria blasteran Inggris, bergegas turun dari mobil, lantas berlari ke sisi yang satunya dan membuka pintunya, membopong tubuh dingin Maylin.

Frida Lewis terkejut penuh keheranan melihat kondisi putra sulungnya dan Maylin dengan tubuh basah kuyup oleh hujan. “Astaga! Apa yang telah terjadi pada Maylin?" Frida setengah berlari mengikuti langkah Elian menuju kamar Darwan.

Elian membaringkan tubuh dingin Maylin di atas ranjang. Tubuh wanita itu membiru, mengigil kencang dengan gigi menggeretak. Tingkat kesadarannya semakin menurun.

“Mom, tolong ganti pakaian Maylin. Aku telepon dokter.” Elian beranjak keluar dari kamar, lalu segera menghubungi dokter pribadi mereka.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Maylin? Kalian pergi ke mana? Mengapa basah kuyup?” Disertai raut wajah penuh cemas, Frida kembali melayangkan beberapa pertanyaan yang masih belum mendapatkan jawaban dari putranya.

“Tadi aku pergi ke pemakaman Darwan dan aku menemukan Maylin sudah berada di sana dalam keadaan terbaring di sisi makam dengan tubuh basah kuyup serta kulit yang teramat dingin. Aku tidak tahu berapa lama Maylin kehujanan, Mom.” Elian merasakan sesak yang teramat sangat ketika melihat kondisi Maylin yang begitu miris.

“Segera ganti pakaianmu yang basah itu, lalu minum air hangat. Mom di sini menjaga Maylin,” perintah Frida sembari menyalakan pemanas ruangan agar suhu tubuh Maylin tidak semakin menurun dikarenakan hipotermia.

“Tapi—” Elian tidak dapat menyelesaikan ucapannya karena sang ibu menyelanya.

“Mom yakin Maylin akan merasa bersalah apabila kau jatuh sakit setelah menolongnya. Tentunya kau tidak berharap Maylin semakin menjauhimu, ‘kan?”

Merasa ucapan ibunya benar, Elian mengangguk menurut. Setelah membasuh tubuh dengan air hangat dan berganti pakaian, Elian kembali ke kamar Darwan untuk melihat keadaan Maylin.

“Dokter Ryan sudah datang memberi suntikan dan obat. Beruntung Maylin mengalami hipotermia sedang.” Frida meletakkan kompres hangat untuk membantu menghangatkan calon menantu sekaligus putri angkatnya dengan telaten. Ia memang sudah menganggap Maylin seperti anak kandungnya sendiri.

“Apa Mom tahu mengapa Maylin tidak ingin pulang ke rumahnya sendiri?” tanya Elian tiba-tiba. Ia terheran ketika mendapati Maylin tinggal bersama ibu dan ayah tirinya.

Ia sama sekali tidak keberatan bila Maylin tinggal berapa lama pun yang wanita itu butuhkan. Justru kehadiran Maylin dapat menghilangkan rasa kesepian ibunya setelah Darwan meninggal.

Elian memiliki apartemen sendiri dan tinggal di sana. Meskipun begitu, terkadang ia masih pulang dan bermalam satu atau dua hari atas permintaan ibunya.

“Restin dan Maylin sedang bertengkar. Untuk sementara waktu, Maylin menetap di sini sampai kemarahannya reda,” jawab Frida.

Sebenarnya Elian masih ingin tahu masalah apa yang sedang terjadi pada Maylin. Namun, ia tak ingin Frida menaruh curiga padanya, maka ia pun tak bertanya lagi.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yenny Oktavia
Makaish mmuachh ^^
goodnovel comment avatar
Dvilia
Semangat kk...️
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status