Share

Chapter 5

2 Tahun kemudian

“Hari ini apa saja jadwalku, Lin?” Elian berjalan masuk ke ruang kerjanya setelah rapat bersama para direksi berakhir. Tangannya bergerak melonggarkan dasi yang melingkar di kerah bajunya.

“Tidak ada, Pak.” Maylin mengambil jaket setelah pria itu melepaskan baju luar itu, kemudian menggantungkannya pada standing hanger yang terletak di sudut ruangan. Dua tahun menjadi Sekretaris Elian, membuatnya sedikit banyak mengetahui kebiasaan pria itu.

Elian melirik Maylin dari sudut ekor matanya. Mengingat dirinya akan segera pergi meninggalkan wanita itu, ada perasaan tidak rela dalam hatinya. Haruskah ia membawa juga wanita itu pergi bersamanya?

Seminggu yang lalu, ia mendapatkan telepon dari sang ayah, meminta padanya untuk kembali ke London dan mengurus kantor pusat di sana. Elian sempat menolak sebab ia tidak mau kehilangan Maylin untuk kedua kalinya. Cukup satu kali saja ia melakukan kesalahan.

Akan tetapi, sang ayah tidak menerima penolakan terlebih atas sikap impusilfnya dua tahun yang lalu. Elian hanya diberi waktu dalam kurang dari dua minggu harus segera kembali ke tempat kelahiran pria itu.

“Maylin …,” Keraguan menyelinap masuk dalam hati Elian. Ia masih belum memberi tahu hal ini pada wanita di hadapannya.

“Ada apa?”

“Daddy akan melakukan perjalanan bisnis ke Paris dan Australia. Beliau meminta padaku agar kembali mengurus kantor pusat di sana.”

“Berapa lama kau di sana?” Raut wajah Maylin tampak terkejut mendengar kabar yang baru saja diucapkan keluar dari bibir Elian.

“Kau tidak lupa kalau aku lahir di sana, bukan? Pulang ke kota kelahiranku, artinya aku akan berada di sana dalam waktu yang lama atau mungkin selamanya.” Helaan napas keluar dari mulut Elian. “Daddy memberiku waktu dua minggu. Tiket sudah dibooking beliau. Aku tidak bisa menolaknya.”

Sebuah keheningan menyeruak di antara mereka. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Elian yang tengah dilanda kecemasan, berharap wanita itu mengatakan berniat ikut pergi bersamanya sementara Maylin berpikir tentang pembalasan dendamnya yang belum berakhir.

“Kau … adakah sesuatu yang ingin kau katakan?” tanya Elian kemudian, setelah beberapa saat Maylin tidak mengucapkan sepatah kata.

“Mami Frida sudah tahu tentang ini?”

Kepala Elian bergeleng. “Rencananya akhir pekan aku akan membicarakannya.”

“Mami pasti akan sedih mendengarnya.”

“Bagaimana denganmu? Apa kau merelakanku pergi meninggalkanmu? Meninggalkan negara ini?” Dengan serta-merta Elian melontarkan rentetatan pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya.

“Sebagai sahabat, tentu aku merasa kehilangan dirimu, El. Namun, kau pergi untuk menjalankan kewajibanmu sebagai anak dari ayahmu. Kalau bukan kau yang melakukannya, lantas siapa lagi? Tetapi … kali ini kau tak akan seperti dulu tidak pernah menghubungiku sekali pun, ‘kan?”

Elian menertawakan dirinya dalam hati. Apa yang dia harapkan dari wanita di hadapannya yang hanya menganggapnya sebagai sahabat? Walau dua tahun sudah berlalu dan keakraban mereka sudah lebih erat, tetap saja perhatian darinya tidak mampu menerobos masuk ke dalam hati wanita itu.

“Aku pasti akan merindukanmu, Maylin.” Elian mencoba menarik bibirnya membentuk senyuman, meskipun hatinya kecewa. Terkadang senyuman menjadi pilihan terbaik di tengah rasa sedih yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

*****

Netra mata Maylin menatap lurus ke arah wanita yang tengah duduk di antara kursi kosong. Wanita itu tiba-tiba menghubunginya, mengatakan bahwa ia berada di lobby gedung Carter Corporation.

“Tidak perlu berbasa-basi. Katakan ada hal apa dan segera angkat kaki Anda dari tempat ini!” tukas Maylin seraya mendaratkan pantatnya di kursi berhadapan dengan wanita itu.

Maylin menilik penampilan wanita di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tubuh langsing itu berbalut mini dress hitam ketat tanpa lengan. Polesan makeup di area wajahnya membuat kecantikannya yang tidak memudar seiring dengan bertambahnya usia, terpancar sempurna.

Kuakui wanita ini memang lebih cantik daripada mama. Manusia ternyata memang makhluk yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Batin Maylin.

“Apakah ibumu tidak pernah mengajarimu tata krama? Beginikah caranya bersikap pada orang yang lebih tua darimu?” Auristela memandang Maylin dengan sinis, lalu kembali berkata dengan mencemooh. “Ah, aku lupa. Tukang perebut pria orang, tidak perlu diragukan lagi tata krama mereka tentunya nol besar. Ternyata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”

Maylin berdengus kencang sembari memutar mata malas. “Hubungan yang hanya berlangsung satu arah, sampai kapan pun tak akan membuahkan hasil. Suami Anda sebenarnya bisa saja memutuskan untuk terus setia kepada Anda dengan tidak mempedulikan atau menepis wanita lain yang mencoba masuk ke dalam hidupnya. Jadi, apakah selalu tukang perebut pria orang yang bersalah? Lalu apa gunanya kata setia?”

“Kau ….” Auristela menggeram marah. Ia berusaha mengendalikan emosinya agar tidak terpancing oleh perkataan Maylin.

“Dengar, Nyonya Osborn! Seandainya saja aku tahu bahwa aku terlahir sebagai anak dari Frans Pramanta, aku pasti memilih untuk tidak pernah dilahirkan ke dunia ini! Seorang pria bajingan dan egois. Mementingkan kebahagiaan dirinya sendiri daripada anak-anaknya. Vlora memang putrinya, tapi dia masih punya dua putri lainnya. Meskipun anak haram, tetapi setiap tetes darah yang mengalir dalam tubuh kami adalah darahnya juga!” Sorot mata Maylin terlihat menyala saat mengatakannya.

“Kalau begitu, tidak sepatutnya kau merebut pria kakak tirimu!”

Maylin tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan Auristela yang menurutnya terdengar lucu. “Kakak tiri? Apakah Vlora juga punya nama keluarga Pramanta? Vlora Pramanta?” tanyanya dengan nada menyindir.

“Aku hanya punya satu kakak dengan nama keluarga sama seperti milikku. Rayla Pramanta.” Maylin merasa puas saat melihat wanita berwajah cantik itu tidak mampu membalas kalimatnya.

“Jadi, Anda mencariku untuk membantu putri Anda memperjuangkan pria yang dia cintai?” Maylin mengangkat dagunya dan melemparkan tatapan menusuk pada wanita di hadapannya. “Well, Vlora sungguh beruntung mendapatkan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Mengharukan sekali.”

Auristela tidak menggubris sindiran dari mulut Maylin. Ia menebalkan telinganya, berpura-pura tidak mendengar semua itu demi kebahagiaan putrinya. Baginya, tidak ada hal lain yang lebih penting daripada masa depan anaknya.

“Elian dan Vlora akan bertunangan. Kami sudah membuat kesepakatan itu sejak lama. Berhentilah mengejar Elian. Jangan sampai perbuatanmu malah mempermalukan dirimu sendiri,” ucap Auristela berdusta.

Maylin tertawa kecil. “Bagaimanakah caranya mereka bertunangan kalau Elian segera kembali ke London?”

“London?” Auristela terkejut mendengar ucapan Maylin. Pasalnya, ia tidak tahu menahu tentang kabar itu dari bibir Vlora maupun suaminya.

“Bukankah Anda bilang mereka berdua akan bertunangan? Kenapa Anda bisa tidak tahu? Sungguh aneh. Aku ragu ucapan Anda barusan pasti hanya karangan belaka.”

“Aku tidak berbohong tentang kesepakatan kami yang ingin menikahkan mereka berdua— ” Belum selesai Auristela menyelesaikan kalimatnya, Maylin menginterupsi.

“Waktu Anda terbuang dengan cuma-cuma, Nyonya Osborn.” Maylin berdiri dari tempatnya duduk seraya memberikan senyum lebar. “Melihat Anda begitu gigih menginginkan putri Anda bahagia, justru membuatku semakin ingin merebut semua sumber kebahagiaan yang kalian miliki. Terima kasih atas kunjungan Anda datang kemari. Selanjutnya, aku tahu apa yang harus kulakukan,” ucap Maylin kemudian berlalu meninggalkan Auristela.

Lagi-lagi Auristela menggeram marah. “Aku belum selesai berbicara dengannya, tapi dia pergi begitu saja. Dasar anak haram yang tidak punya etika!”

Maylin mendengar ucapan Auristela barusan, tapi ia lebih memilih melanjutkan langkah kakinya daripada membuang waktunya dengan wanita egois itu. Maylin menggeser kode kunci pada layar ponselnya lantas menghubungi seseorang yang ia yakin dapat membantunya.

Beberapa saat hanya terdengar nada panggil hingga berhenti dan digantikan oleh suara Leonel Norman.

[Apakah kau merindukanku, Sweety?]

Maylin terkekeh geli mendengar rayuan Leonel yang reputasinya tidak berbeda jauh dengan Deonartus Surbakti, kakak iparnya. Sejak ia mengetahui usaha bisnis gelap Leonel, hubungan mereka berdua kini semakin akrab. Bahkan, Maylin tidak ragu mengeluarkan curahan hatinya tentang kedua orang tuanya kepada pria yang baru dikenalnya selama dua tahun lebih.

Padahal, Maylin tidak pernah mau memberikan jawaban dari pertanyaan Elian perihal mengenai dirinya dan keluarga Osborn. Saat itu, Auristela bertandang menemui Rayla di kantor milik Deonartus. Kebetulan Maylin dan Elian juga ke sana dan pria itu menyaksikan pertengkaran antara Maylin, Rayla dan Auristela.

“Seingatku Scott Cole Osborn berasal dari Inggris, ‘kan? Tolong berikan aku informasi tentang semua anggota keluarga Osborn, tak terkecuali keluarga mereka yang berada di Inggris sampai saat ini.” Tanpa menghiraukan gurauan Leonel, Maylin segera mengucapkan keluar permintaannya.

[Untuk apa? Bukankah kau telah berhasil menjauhkan Elian dan Vlora?]

“Dua minggu lagi Elian akan kembali ke London. Aku memutuskan untuk pergi bersamanya ke sana. Hanya menjauhkan Vlora dan Elian tidak cukup membuatku merasa puas. Aku ingin membalaskan dendam dengan lebih menyakitkan,” desis Maylin sembari mengepalkan tangan erat-erat.

Ada keheningan sesaat sebelum Leonel berucap di seberang sana.

[Baiklah. Aku akan menghubungimu lagi.]

“Terima kasih, kak Leo. Kau tenang saja, aku pasti membayar jasamu seperti klienmu lainnya.” Maylin mengakhiri sambungan teleponnya. Ia menajamkan mata dan berjalan dengan mantap menuju lantai tempatnya bekerja.

Ia akan mengutarakan niatnya langsung kepada Elian. Ia berharap pria itu menyetujuinya. Pertemuan singkat antara dirinya dan Auristela tadi, membuat Maylin memutuskan melanjutkan balas dendamnya di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status