Share

Chapter 6

Pengajuan Maylin mengenai keinginannya untuk pindah ke kantor utama Carter Corporation langsung saja disetujui oleh Elian. Tanpa banyak bertanya, pria itu segera menugaskan bagian human resources departemen untuk mengurus segala macam kebutuhan mutasi tersebut.

Maylin berdalih hendak mencari suasana baru ketika mengatakan alasannya pada sang ibu dan kakak. Meski kedua wanita itu merasa keberatan, tetapi akhirnya mereka pun dapat memahaminya.

Mereka berharap dengan meninggalkan tempat yang memiliki kenangan menyakitkan, Maylin dapat fokus menata kembali hidupnya dan mencari kebahagiaan baru.

*****

Leonel Norman duduk di kursi pengunjung salah satu café terkenal di kota ini seraya menunggu Maylin datang. Ia sudah membuat janji temu dengan wanita itu beberapa hari yang lalu.

Sebelum tiba di tempat ini, ia mengunjungi kantor milik Deonartus terlebih dahulu. Ingatannya kembali tatkala sahabatnya itu memberikan peringatan disertai dengan tatapan menghunus tajam padanya.

'Kau boleh bermain dengan wanita mana pun, tetapi tidak dengan Maylin. Dia adikku. Kalau kau tetap keras kepala juga, kau masih harus berhadapan dengan Elian Grayson Carter. Pria itu menaruh perasaan kepada Maylin sejak lama.'

Leonel belum pernah jatuh cinta. Ia memang player, wanita kencannya sering berganti-ganti. Namun, tidak ada satu pun dari wanita tersebut yang mampu mengikat Leonel pada suatu hubungan.

Apakah dirinya kini jatuh cinta kepada seorang wanita yang memiliki tujuan hidup hanya untuk membalas dendam? Entahlah, ia menyangsikan perasaannya sendiri.

*****

“Kak Leo! Kak Leo!” Maylin kembali dengan suara yang lebih keras, memanggil pria di hadapannya yang tampak sedang melamun. Kerutan di dahi memperlihatkan pria itu sedang memikirkan sesuatu, entah itu apa.

Leonel terkesiap dan tersadar dari lamunannya. Sorot matanya menatap lekat Maylin sementara wanita yang ditatap membalas tatapan itu dengan mata penuh tanda tanya.

“Kak Leo sudah lama menunggu?”

Pertanyaan yang dilontarkan Maylin, lantas membuat Leonel menarik bibirnya membentuk senyum lebar. “Untuk wanita manis sepertimu, mau berapa lama pun, aku rela dan setia menunggu,” goda Leonel sembari mengerlingkan matanya.

“Kalau begitu, ingatkan aku agar lain kali datang sedikit lebih lama dari waktu yang telah dijanjikan. Aku mau tahu seberapa besar kesabaran yang Kak Leo miliki.”

Leonel tertawa pelan mendengar jawaban dari bibir Maylin. Netra matanya tidak berhenti mengamati wanita itu dengan intens.

Biasanya, rayuan gombal yang dikeluarkannya dapat membuai wanita mana pun yang ia temui dan akan berakhir di atas ranjang. Namun, berbanding terbalik dengan tanggapan yang diberi Maylin. Membuat Leonel merasa tersentil karenanya.

“Kak Leo bawa apa yang kubutuhkan?”

Alih-alih menjawab, Leonel mengungkapkan keluar sebuah permintaan yang menjadi pikirannya dalam beberapa hari belakangan ini setelah mengambil napas panjang. “Stay here, please … aku tidak mau kau pergi.”

Wajah Maylin tampak terkejut sebab ia tidak mengira Leonel akan berucap seperti itu. “Kak Leo tahu apa alasanku pergi, bukan? Aku harus melakukannya agar mereka mendapatkan balasannya.”

“Aku mengerti, Sweety, tetapi … London tempat yang sangat jauh. Kalau aku sedang merindukanmu, apa yang harus kulakukan?” Leonel berucap lirih sembari memandang wanita berwajah cantik natural itu dengan tatapan memohon.

“Oh come on, Kak. Teknologi zaman sekarang semakin canggih. Kita bisa melakukan video call.”

“Aku tahu, tetapi ….” Leonel tidak tahu bagaimana menjelaskan keberatannya tanpa membuat wanita di hadapannya ini berbalik marah padanya.

“Aku tak akan berubah pikiran sebelum aku mendapatkan apa yang kuinginkan,” ujar Maylin dengan penuh penekanan.

Leonel dapat melihat amarah serta kebencian yang terlihat begitu jelas di balik netra cokelat milik Maylin. Ia membuang napas frustrasi.

Merasa tidak ada kesempatan untuk mempertahankan Maylin tetap berada dalam jangkauannya, mau tak mau ia harus membantu wanita itu. Di balik diri wanita itu yang terlihat kuat di luar, sesungguhnya ada kerapuhan yang tersimpan dalam dirinya.

Leonel mengeluarkan sebuah flash disk dari saku jaketnya dan memberikan pada Maylin. “Semua data informasi anggota keluarga Osborn ada di dalam. Auristela Allisya Osborn memiliki seorang adik laki-laki yang menetap di kota London. Hubungan kerja sama antara Carter dan Osborn sudah berjalan sejak lama. Bahkan, sebelum Scott Cole Osborn datang ke kota ini. Kebetulan yang tidak terduga, bukan?”

Maylin mendengarkan dengan penuh perhatian seraya menganggukkan kepalanya sesekali. “Mungkin karena itulah mereka berharap Elian dan Vlora dapat menikah.”

“So, apa rencanamu? Balas dendam seperti apa yang akan kau lakukan di sana?” tanya Leonel tanpa menutupi rasa penasarannya.

“Jujur saja, aku masih belum tahu, tetapi pastinya aku masih membutuhkan bantuan Kak Leo. Apakah Kakak bersedia membantuku? Mengenai tarif pelayanan Kak Leo, berapa pun harganya tidak menjadi masalah bagiku.”

Seulas senyum tipis tersungging dari bibir Leonel. Ia menopang kepalanya dengan satu tangan di meja. Sebuah ide melintas dalam kepalanya. Ia akan mencoba keberuntungannya saat ini. “Kau tahu kalau aku tidak kekurangan uang, ‘kan? Sebagai gantinya, bagaimana kalau berkencan denganku?”

Maylin memasang wajah berpikir. Tidak lama kemudian, ia mengulas senyum manis di bibirnya yang tipis. “Berhubung karena aku akan segera pergi dari kota ini dan sepertinya Kak Leo sedang kehabisan stok wanita untuk diajak kencan, maka adik manis ini bersedia menjadi teman kencan Kakak.”

Suara gelak tawa yang keluar dari mulut Leonel terdengar seketika. Ia tidak pernah merasa bosan saat menghabiskan waktu bersama Maylin. Wanita itu memiliki daya tarik tersendiri dengan sifat spontanitasnya.

“Tapi … tempat kencannya, aku yang tentukan,” ujar Maylin menambahkan.

“Mau di mana? Restoran mewah? Hotel bintang lima?” Leonel menyebutkan tempat berkencan yang memberi kesan romantis sehingga umumnya disukai para wanita.

Maylin bersedekap. Senyuman yang terpatri di wajahnya semakin lebar ketika dua patah kata meluncur keluar dari mulut manisnya. “Markas Eagle.”

*****

Dalam dunia mafia, Leonel Norman dikenal sebagai mafia dark web yaitu menjual informasi dan memberikan pelayanan jasa menerobos sistem keamanan komputer untuk tujuan tertentu sesuai permintaan klien.

Namun, tidak ada yang tahu bahwa Leonel Norman membentuk perkumpulan rahasia yang diberi nama Eagle, bergerak di bidang kriminal seperti perdagangan narkoba dan obat ilegal. Terkecuali Deonartus Surbakti, sahabat sekaligus bos yang menanamkan modal pada usaha dark webnya.

Leonel mendirikan dua organisasi itu bukan semata-mata demi uang, melainkan untuk mewujudkan cita-cita kakak sepupu, Hugo Norman, dengan merintis usaha dark web, sedangkan Eagle dibangun secara khusus untuk mengetahui keberadaan pembunuh sepupunya sekaligus melatih dirinya agar bisa membalaskan dendam.

Sepuluh tahun yang lalu, Hugo Norman tewas akibat bom di salah satu negara Eropa Selatan. Ketika itu polisi memberi keterangan bom dipasang oleh teroris untuk mengancam warga negara tersebut. Akan tetapi, tangan kanan sepupunya memberi tahu bahwa rival pria itulah yang menaruh bom di dalam mobil. Sayangnya, mereka tidak memiliki bukti kuat untuk menangkap sang pelaku.

Hubungan Leonel dengan sang sepupu yang terpaut delapan tahun darinya, begitu akrab sejak ia masih kecil. Bahkan, sang sepupu mengajarinya berbagai macam segala praktik di dunia hitam.

Untuk memperlancar misinya dalam melacak musuh, Eagle beraksi di tangan bayangan hitam sehingga tak akan ada yang menyadari keberadaan Eagle. Namun, hingga sampai saat ini Leonel masih belum menemukan titik terang sebab musuh melakukannya secara bersih dan tanpa jejak.

Karena Eagle bersikap rahasia, tentunya Leonel menolak permintaan Maylin yang menjadikan markas Eagle sebagai tempat kencan mereka. Namun, betapa sulitnya menyingkirkan rasa penasaran yang begitu kuat pada diri Maylin. Setelah menggunakan berbagai macam cara, akhirnya Leonel Norman mengizinkan wanita itu berkunjung ke markasnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status