Share

Permainan Kakak Kandungku Yang Janda
Permainan Kakak Kandungku Yang Janda
Penulis: Kom Komala

Aku Baru Menikah, Mbak Widya Ditalak

"Semoga Mbak tetap tabah ya, Mbak. Nur sangat sedih, Mbak. Nur baru saja menikah belum satu bulan, tapi Mbak malah bercerai dari Mas Aryo. Benar-benar nyesek hati Nur, Mbak." 

Kuseka bulir bening yang sudah berjatuhan sejak setengah jam yang lalu. Mendadak dada sesak dan ikut iba karena kakak kandungku Mbak Widya baru saja diceraikan oleh suaminya, Mas Aryo. Tak ada penjelasan detail dari kakak ipar, dia hanya langsung pergi dengan membawa tas hitam berukuran agak besar. Yang sakunya sudah butut sebelah.

"Hiks, Mbak akan menjanda, Nur, Mbak akan menjanda. Hiks." Lagi isakan tangis dan ingus ibaratnya naik turun dari hidung Mbak Widya. Kakak kandungku satu-satunya, dan kami memang hanya hidup berdua setelah orang tua meninggal. Aku dan Mbak Widya masih tinggal satu atap. Karena aku baru saja menikah, Bang Panjul sang suami belum bisa membelikanku hunian. Tapi tidak apa-apa, semoga kedepannya usaha Bang Panjul makin melejit dan legit seperti lapis.

"Rujuk, Mbak, gimana? Kan belum talak tiga. Baru keluar dari mulut saja." Aku berusaha menyarankan walaupun tak tahu badai apa yang sedang mereka hadapi.

"Gak bisa, Nur, rujuk gimana? Mas Aryo sudah pergi!" tangis Mbak Widya lagi. Suaranya itu menimbulkan sayatan tajam di hati yang melekat dengan empedu ini.

Mas Aryo orang Jawa Tengah. Dia bekerja di sana sebagai tukang las gergaji. Aku tidak begitu faham, tapi Mas Aryo sudah menikah dengan Mbak Widya sejak dua tahun yang lalu. Sayang, mereka belum diberikan keturunan oleh Sang Maha Agung.

Selama ini rumah tangga mereka Kupikir baik-baik saja. Mas Aryo pulang sebulan bahkan dua bulan sekali, dan nafkah lahir ia kirimkan lewat no rekening. Mbak Widya punya rekening, sedangkan aku belum punya. Jadi, dia gampang soal transfer-transferan.

Entah mengapa, kali ini Mas Aryo pulang, namun langsung mengucap kata talak. Aku saja tidak tahu ada angin apa, tahu-tahu sudah ambruk bak diterpa puting beliung.

Namaku Nurul Wiranti. Putri bungsu pasangan almarhum orang tua yang nyawanyanya telah terenggut di saat perjalanan menuju tempat ziarah. Innalilahi, Yang Maha Agung menginginkan mereka lebih dini. Sungguh bagiku seperti mimpi. Tapi seiring berjalannya waktu, aku dan Mbak Widya harus menerimanya dengan ikhlas. Tepat hari kemarin, kepergian Ibu dan Bapak sudah genap lima tahun.

Usiaku saat ini 26 tahun. Dipersunting Bang Panjul yang usianya 28 tahun, karena saat itu dia terpincut olehku saat aku sering jualan rempeyek keliling komplek. Dia orang sini, masih satu kecamatan, namun bekerja di luar kota ikut proyek bangunan yang Alhamdulillah dia sudah jadi pemborong kecil-kecilan. Sebenarnya bukan pemborong, hanya saja dia sekarang sedikit demi sedikit telah bekerjasama dengan pabrik kayu di daerah kami untuk suplai barang. Jadi, Bang Panjul sekarang ada penghasilan sampingan sebagai penyedia barang. Kuharap nanti dia bisa jadi pemborong yang sukses.

"Hiks, Nur, Mbak mau ke kamar dulu. Mbak mau coba telepon Mas Aryo. Mbak harap dia bisa tarik kata talaknya tadi." Tangisan Mbak Widya belum berhenti. Aku menanyakan asal mula mereka bertengkar pun, belum berani. Takutnya Mbak Widya depresi. Karena setahuku, dia begitu mencintai Mas Aryo. Sampai-sampai Mbak Widya selalu berdandan super seksi saat Mas Aryo pulang. Ah, entahlah, semoga nanti aku bisa tahu alasan mereka jadi begini. Bagai petir menyambar saja diterimanya di hatiku. 

Lekas kupersilahkan Mbak Widya untuk ke kamarnya yang berseberangan dengan kamarku dengan Bang Panjul. Untungnya pintu kamar sudah dibuat pintu, tidak gorden Seperti dulu. Jadi, kalau ada kegiatan wajib malam dengan para suami, kami bisa lebih rapi.

Mas Panjul pergi pagi pulang larut. Kadang, bila harus lembur, dia pulang tiga hari sekali. Selebihnya belum tahu, karena kami baru menikah selama tiga minggu. Tragedi talak ini belum diketahui oleh Mas Panjul, mungkin nanti saja aku ceritakan setelah dia pulang. Karena nanti sore, dia akan segera tiba. Sudah lembur kemarin, dan tidak pulang. Tadi hape layar sentuh milikku namun bukan apel tergigit memberitahukan kalau sang pujaan akan pulang hari ini. Ya, hari ini hari Sabtu, kalau hari Minggu, biasanya memang libur.

Aku diberi nafkah seminggu tiga ratus ribu. Untuk beli beras dan juga kebutuhan sehari-hari. Karena belum ada anak, aku rasa masih cukup. Apalagi makan kami tidak begitu mewah. Sesekali ingin makan daging sapi, paling akan diberi uang lebih oleh Bang Panjul. Aku juga tahu seberapa gajinya sebagai tukang. Aku faham.

Akhirnya kepulangan suami pun sudah pada waktunya. Aku menyambut dia di teras, karena detik-detik kepulangan sudah kuketahui. Motor matic pabrikan Honda itu pun kini sudah terparkir di halaman sempit rumah ini.

"Assalamualaikum, Dek," sapanya manis sembari melepas helm. Dia memanggilku dengan sebutan adik kalau di umum seperti ini, tapi kalau di kamar, dia menyebutku dengan sebutan sayang. Romantis, tapi kalau terdengar orang jadi malu. Makanya kami sepakat, panggil saja abang dan adek saat di luar.

Kulandaskan kecupan dari bibir bergincu merah dari sebuah liptint bau chery yang harganya hanya 20 ribuan, tapi nyaman dipakai. Kalau mahal-mahal seperti merek-merek yang dipakai Mbak Widya, aku belum mampu beli. Maksudnya bukan belum mampu, tapi belum sampai hati. Kebeli lipstik 80 ribu, tapi makan pasti tiga hari hanya dengan kepala ikan asin. Tidak bisa begitu. Andai diberi uang lebih, baru akan membelinya. 

"Ayok, Bang, kita makan. Eh, tapi Abang mandi dulu, ya. Nanti Nur siapin makannya." Aku berkata lagi.

"Iya, iya. Mas Aryo di mana, kok sepi? Bukannya hari ini pulang, ya?" tanya Bang Panjul sembari membuka kaos kaki. Lalu tasnya kuraih, sedangkan sepatu sudah dilepas sejak tadi. Bukan gaya-gayaan setelan sepatu pantofel, tapi sepatu sneaker dan kaos kaki ini supaya tidak kedinginan saat berkendara membelah jalan raya.

Aku sempat tersendat saat pertanyaan itu terlontar. Ada irisan luka yang kurasa akan Mbak Widya, namun belum bisa aku jelaskan sekarang. "Nanti aku jawab ya, Bang. Ayok Abang mandi dulu." 

Mungkin Bang Panjul heran dengan ekspresi wajahku. "Loh, kok jadi asem?" protesnya.

"Gak apa-apa, Bang, ini sedikit sakit perut. Tadi makan seblak," jawabku konyol. Memang tadi makan seblak Teh Ayu, tapi tidak sakit perut. Hihi.

Hingga pada akhirnya sampailah di momen penjelasan. Bang Panjul sempat heran, kenapa kami makan hanya berdua. Dan kini akan aku jelaskan. 

Aku juga tak berani membangunkan Mbak Widya yang tadi sedang lelap. Dia pasti masih sedih, jadi tak tega membuyarkan istirahatnya.

"Bang, jadi … jadi Mas Aryo tadi pulang, tapi … tapi dia langsung jatuhkan talak ke Mbak Widya. Dan Mas Aryo sudah bawa pakaiannya semua."

Bang Panjul yang baru saja meneguk sedikit teh hangat pun kini tersentak kaget. "Apa? Talak?" Bola matanya seperti akan loncat memakan bola mataku.

"Heem." Kujawab dengan bibir merapat diiringi anggukkan kepala.

"Astaga."

"Iya, Bang. Kasihan Mbak Widya. Nur juga gak tahu, apa alasan Mas Aryo sampai langsung berkata talak. Bingung," lanjutku dengan tatapan beralih ke dasar lantai bertehel. Bukan keramik, karena masih peninggalan Ibu dan Bapak dulu.

"Hemh?" Lagi Bang Panjul kaget. Tapi, bola matanya kini gerak-gerak seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Ada rona wajah sedikit memerah juga di pipinya seperti dibubuhi blush on kalau bahasa kerennya.

"Kok merah pipi Abang, Bang?" 

Setelah jatuh pertanyaan barusan, sontak Bang Panjul tergesa-gesa meraih gagang gelas tinggi hadiah dari sebuah minuman suplemen penyegar tubuh berwarna ungu yang ada gambar kukunya. Singkat Bang Panjul menghabiskan teh hangat tersebut.

Aku pun heran. Tapi berpikir kalau dia pasti kehausan. Menyusuri jalan, dari Bandung kota ke sini itu lama.

"Abang cari angin dulu ya, Dek. Dan lagi butuh pekerja juga nih, Abang, mau cari orang," pamitnya setelah makan.

"Oh, iya, siap, Bang." Aku ikut beranjak.

"Oiya, nanti pakai parfum yang Abang belikan tadi, ya. Ini 'kan malam Minggu. Hihi," pesannya sebelum pergi. Aku pun hanya tersenyum malu. Tadi dia membelikanku parfum kecil nan wanginya semerbak, dan khusus untuk bertempur di ranjang. Ih, aku jadi malu. 

"Ehem." Aku pun manggut, karena dia belum pergi dan masih menatap parasku. Akhirnya dia pun kini sudah meninggalkan meja makan jadul ini untuk segera mencari orang yang akan ikut bekerja dengannya.

Soal parfum, katanya itu memang khusus dan ia beli saat lewat di beranda tiktok. Hadeuh, dia memang sering buka-buka aplikasi seperti itu. Sedangkan ku tidak punya, karena memori sudah full. Bagaimana tidak, hanya RAM 1 GB saja.

Semakin hari, rasa cintaku semakin berlebih pada Bang Panjul. Dia itu tinggi, meski hitam tapi manis. Ya, manis-manis gurih. Apalagi membayangkan malam bercandu. Aw, aku suka geli sendiri. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status