"Semoga Mbak tetap tabah ya, Mbak. Nur sangat sedih, Mbak. Nur baru saja menikah belum satu bulan, tapi Mbak malah bercerai dari Mas Aryo. Benar-benar nyesek hati Nur, Mbak."
Kuseka bulir bening yang sudah berjatuhan sejak setengah jam yang lalu. Mendadak dada sesak dan ikut iba karena kakak kandungku Mbak Widya baru saja diceraikan oleh suaminya, Mas Aryo. Tak ada penjelasan detail dari kakak ipar, dia hanya langsung pergi dengan membawa tas hitam berukuran agak besar. Yang sakunya sudah butut sebelah.
"Hiks, Mbak akan menjanda, Nur, Mbak akan menjanda. Hiks." Lagi isakan tangis dan ingus ibaratnya naik turun dari hidung Mbak Widya. Kakak kandungku satu-satunya, dan kami memang hanya hidup berdua setelah orang tua meninggal. Aku dan Mbak Widya masih tinggal satu atap. Karena aku baru saja menikah, Bang Panjul sang suami belum bisa membelikanku hunian. Tapi tidak apa-apa, semoga kedepannya usaha Bang Panjul makin melejit dan legit seperti lapis.
"Rujuk, Mbak, gimana? Kan belum talak tiga. Baru keluar dari mulut saja." Aku berusaha menyarankan walaupun tak tahu badai apa yang sedang mereka hadapi.
"Gak bisa, Nur, rujuk gimana? Mas Aryo sudah pergi!" tangis Mbak Widya lagi. Suaranya itu menimbulkan sayatan tajam di hati yang melekat dengan empedu ini.
Mas Aryo orang Jawa Tengah. Dia bekerja di sana sebagai tukang las gergaji. Aku tidak begitu faham, tapi Mas Aryo sudah menikah dengan Mbak Widya sejak dua tahun yang lalu. Sayang, mereka belum diberikan keturunan oleh Sang Maha Agung.
Selama ini rumah tangga mereka Kupikir baik-baik saja. Mas Aryo pulang sebulan bahkan dua bulan sekali, dan nafkah lahir ia kirimkan lewat no rekening. Mbak Widya punya rekening, sedangkan aku belum punya. Jadi, dia gampang soal transfer-transferan.
Entah mengapa, kali ini Mas Aryo pulang, namun langsung mengucap kata talak. Aku saja tidak tahu ada angin apa, tahu-tahu sudah ambruk bak diterpa puting beliung.
Namaku Nurul Wiranti. Putri bungsu pasangan almarhum orang tua yang nyawanyanya telah terenggut di saat perjalanan menuju tempat ziarah. Innalilahi, Yang Maha Agung menginginkan mereka lebih dini. Sungguh bagiku seperti mimpi. Tapi seiring berjalannya waktu, aku dan Mbak Widya harus menerimanya dengan ikhlas. Tepat hari kemarin, kepergian Ibu dan Bapak sudah genap lima tahun.
Usiaku saat ini 26 tahun. Dipersunting Bang Panjul yang usianya 28 tahun, karena saat itu dia terpincut olehku saat aku sering jualan rempeyek keliling komplek. Dia orang sini, masih satu kecamatan, namun bekerja di luar kota ikut proyek bangunan yang Alhamdulillah dia sudah jadi pemborong kecil-kecilan. Sebenarnya bukan pemborong, hanya saja dia sekarang sedikit demi sedikit telah bekerjasama dengan pabrik kayu di daerah kami untuk suplai barang. Jadi, Bang Panjul sekarang ada penghasilan sampingan sebagai penyedia barang. Kuharap nanti dia bisa jadi pemborong yang sukses.
"Hiks, Nur, Mbak mau ke kamar dulu. Mbak mau coba telepon Mas Aryo. Mbak harap dia bisa tarik kata talaknya tadi." Tangisan Mbak Widya belum berhenti. Aku menanyakan asal mula mereka bertengkar pun, belum berani. Takutnya Mbak Widya depresi. Karena setahuku, dia begitu mencintai Mas Aryo. Sampai-sampai Mbak Widya selalu berdandan super seksi saat Mas Aryo pulang. Ah, entahlah, semoga nanti aku bisa tahu alasan mereka jadi begini. Bagai petir menyambar saja diterimanya di hatiku.
Lekas kupersilahkan Mbak Widya untuk ke kamarnya yang berseberangan dengan kamarku dengan Bang Panjul. Untungnya pintu kamar sudah dibuat pintu, tidak gorden Seperti dulu. Jadi, kalau ada kegiatan wajib malam dengan para suami, kami bisa lebih rapi.
Mas Panjul pergi pagi pulang larut. Kadang, bila harus lembur, dia pulang tiga hari sekali. Selebihnya belum tahu, karena kami baru menikah selama tiga minggu. Tragedi talak ini belum diketahui oleh Mas Panjul, mungkin nanti saja aku ceritakan setelah dia pulang. Karena nanti sore, dia akan segera tiba. Sudah lembur kemarin, dan tidak pulang. Tadi hape layar sentuh milikku namun bukan apel tergigit memberitahukan kalau sang pujaan akan pulang hari ini. Ya, hari ini hari Sabtu, kalau hari Minggu, biasanya memang libur.
Aku diberi nafkah seminggu tiga ratus ribu. Untuk beli beras dan juga kebutuhan sehari-hari. Karena belum ada anak, aku rasa masih cukup. Apalagi makan kami tidak begitu mewah. Sesekali ingin makan daging sapi, paling akan diberi uang lebih oleh Bang Panjul. Aku juga tahu seberapa gajinya sebagai tukang. Aku faham.
Akhirnya kepulangan suami pun sudah pada waktunya. Aku menyambut dia di teras, karena detik-detik kepulangan sudah kuketahui. Motor matic pabrikan Honda itu pun kini sudah terparkir di halaman sempit rumah ini.
"Assalamualaikum, Dek," sapanya manis sembari melepas helm. Dia memanggilku dengan sebutan adik kalau di umum seperti ini, tapi kalau di kamar, dia menyebutku dengan sebutan sayang. Romantis, tapi kalau terdengar orang jadi malu. Makanya kami sepakat, panggil saja abang dan adek saat di luar.
Kulandaskan kecupan dari bibir bergincu merah dari sebuah liptint bau chery yang harganya hanya 20 ribuan, tapi nyaman dipakai. Kalau mahal-mahal seperti merek-merek yang dipakai Mbak Widya, aku belum mampu beli. Maksudnya bukan belum mampu, tapi belum sampai hati. Kebeli lipstik 80 ribu, tapi makan pasti tiga hari hanya dengan kepala ikan asin. Tidak bisa begitu. Andai diberi uang lebih, baru akan membelinya.
"Ayok, Bang, kita makan. Eh, tapi Abang mandi dulu, ya. Nanti Nur siapin makannya." Aku berkata lagi.
"Iya, iya. Mas Aryo di mana, kok sepi? Bukannya hari ini pulang, ya?" tanya Bang Panjul sembari membuka kaos kaki. Lalu tasnya kuraih, sedangkan sepatu sudah dilepas sejak tadi. Bukan gaya-gayaan setelan sepatu pantofel, tapi sepatu sneaker dan kaos kaki ini supaya tidak kedinginan saat berkendara membelah jalan raya.
Aku sempat tersendat saat pertanyaan itu terlontar. Ada irisan luka yang kurasa akan Mbak Widya, namun belum bisa aku jelaskan sekarang. "Nanti aku jawab ya, Bang. Ayok Abang mandi dulu."
Mungkin Bang Panjul heran dengan ekspresi wajahku. "Loh, kok jadi asem?" protesnya.
"Gak apa-apa, Bang, ini sedikit sakit perut. Tadi makan seblak," jawabku konyol. Memang tadi makan seblak Teh Ayu, tapi tidak sakit perut. Hihi.
Hingga pada akhirnya sampailah di momen penjelasan. Bang Panjul sempat heran, kenapa kami makan hanya berdua. Dan kini akan aku jelaskan.
Aku juga tak berani membangunkan Mbak Widya yang tadi sedang lelap. Dia pasti masih sedih, jadi tak tega membuyarkan istirahatnya.
"Bang, jadi … jadi Mas Aryo tadi pulang, tapi … tapi dia langsung jatuhkan talak ke Mbak Widya. Dan Mas Aryo sudah bawa pakaiannya semua."
Bang Panjul yang baru saja meneguk sedikit teh hangat pun kini tersentak kaget. "Apa? Talak?" Bola matanya seperti akan loncat memakan bola mataku.
"Heem." Kujawab dengan bibir merapat diiringi anggukkan kepala.
"Astaga."
"Iya, Bang. Kasihan Mbak Widya. Nur juga gak tahu, apa alasan Mas Aryo sampai langsung berkata talak. Bingung," lanjutku dengan tatapan beralih ke dasar lantai bertehel. Bukan keramik, karena masih peninggalan Ibu dan Bapak dulu.
"Hemh?" Lagi Bang Panjul kaget. Tapi, bola matanya kini gerak-gerak seperti ingin mengungkapkan sesuatu. Ada rona wajah sedikit memerah juga di pipinya seperti dibubuhi blush on kalau bahasa kerennya.
"Kok merah pipi Abang, Bang?"
Setelah jatuh pertanyaan barusan, sontak Bang Panjul tergesa-gesa meraih gagang gelas tinggi hadiah dari sebuah minuman suplemen penyegar tubuh berwarna ungu yang ada gambar kukunya. Singkat Bang Panjul menghabiskan teh hangat tersebut.
Aku pun heran. Tapi berpikir kalau dia pasti kehausan. Menyusuri jalan, dari Bandung kota ke sini itu lama.
"Abang cari angin dulu ya, Dek. Dan lagi butuh pekerja juga nih, Abang, mau cari orang," pamitnya setelah makan.
"Oh, iya, siap, Bang." Aku ikut beranjak.
"Oiya, nanti pakai parfum yang Abang belikan tadi, ya. Ini 'kan malam Minggu. Hihi," pesannya sebelum pergi. Aku pun hanya tersenyum malu. Tadi dia membelikanku parfum kecil nan wanginya semerbak, dan khusus untuk bertempur di ranjang. Ih, aku jadi malu.
"Ehem." Aku pun manggut, karena dia belum pergi dan masih menatap parasku. Akhirnya dia pun kini sudah meninggalkan meja makan jadul ini untuk segera mencari orang yang akan ikut bekerja dengannya.
Soal parfum, katanya itu memang khusus dan ia beli saat lewat di beranda tiktok. Hadeuh, dia memang sering buka-buka aplikasi seperti itu. Sedangkan ku tidak punya, karena memori sudah full. Bagaimana tidak, hanya RAM 1 GB saja.
Semakin hari, rasa cintaku semakin berlebih pada Bang Panjul. Dia itu tinggi, meski hitam tapi manis. Ya, manis-manis gurih. Apalagi membayangkan malam bercandu. Aw, aku suka geli sendiri.
***
Malam tadi aku melakukan rutinitas malam bersama suami. Eh, maksudnya di atas ranjang menggunakan parfum yang amat wangi yang baru dia beli dari tiktok itu. Entah kenapa dia ada ide pakek beli-beli segala. Sepertinya nurutin artis-artis di film. Atau para conter coretor, pwuah, maksudnya content creator di YouTube dan di tiktok sana. Sekarang kan jaman umbar-umbar tata cara bermalam. Tadi malam saja si Bang Panjul tunjukkan gaya baru. Aku baru tahu gaya bercinta seperti itu. Sebelumnya juga aku tidak pernah menonton video-video tak senonoh, kecuali kalau tak sengaja lewat di film Bollywood dan Hollywood itu pun sebatas melihat dari teman.Dan perlu diketahui, aku ini tidak secerdas Mbak Widya. Kalau di sekolah saja kakak kandungku itu sering masuk tiga besar, paling mentok 5 besar, sedang aku paling bagus ya masuk 10 besar. Itu pun juara sepuluhnya.Mbak Widya dengan aku wajahnya mirip-mirip tipis. Jelas saja, karena kami satu produk. Tapi yang namanya sebrojolan, pastinya punya sifa
"Hah, sempak ini? Kok mirip yang dipakek Bang Panjul semalam? Ah iya, merek dan warnanya sama." Aku menelisik dalam hati. Sempat ada perasaan aneh, tapi semalam jelas aku dengar nama Mas Aryo di kamar inj. Bahkan sedang mendesah-desah dengan Mbak Widya, sampai lupa apa dia pakai dalaman?"Nur–."Akhirnya Mbak Widya sudah kembali. Aku dalam keadaan memegang sempak dengan dijinjing menggunakan jari telunjuk dan ibu jari karena tadi ingin memastikan."Hup." Aku kaget lalu menjatuhkan lagi sempak itu. Mbak Widya bola matanya melebar seperti ingin jatuh saja copot dari kelopaknya."Hah?" Mbak Widya terkaget-kaget. Tapi aku juga harus menanyakan, kok sempak Mas Aryo sama dengan yang dipakai Bang Panjul semalam? Bukankah aku sering lihat jemuran sempak Mas Aryo, beda merek?Mbak Wiyda seperti melihat hantu. Ah, harus aku tanyakan."Nur, kamu kok ih, pegang-pegang sempak itu. Lancang kamu, Nur!" Mbak Widya marah dan secepat kilat menjiwir sempak yang sudah aku jatuhkan ke lantai. Ia masukkan
Bergetar terus dada ini sejak tadi menepi kenyataan kalau sempak Bang Panjul hilang satu. Sampai-sampai berjalan pun lututku ikut lemas. Aku fasih betul, aku orangnya apik dan dalaman pribadi Bang Panjul itu tidak ada yang hilang sebelum ini. Jumlahnya aku hafal, dia bukan artis yang punya sempak banyak gonta-ganti 30 kali dalam sebulan. Huwh … kuelus dada, berharap sesuatu hal aku lihat untuk memastikan. Tidak mungkin tikus bawa kain segi tiga itu dan kebetulan yang warna itu.Aku saat ini dari arah dapur, namun agak heran melihat Mbak Widya yang baru saja seperti jalan dari arah kamarku. "Mbak?" Kutegur dia secepatnya. Wajah Mbak Widya biasa saja, sepertinya tidak ada yang aneh. "Eh, Nur, kamu di sana? Mbak cariin kamu." Dia menjawab tanpa ada mimik wajah keraguan yang kutangkap."Ngapain Mbak cari aku?" Aku masih agak kesal, "nyari aku jam segini 'kan gak mungkin di kamar," sambungku menyanggah."Jangan ketus, Nur, Mbak mau pinjam lagi casan hapemu. Oiya, kamarmu lantainya ngeres
Liurku terteguk seketika. Jemari yang tadinya jijik, hidung yang tadinya takut kebauan, kini seperti memperlihatkan kebisaannya untuk mengendus dan menyelidik. Nur, kamu tidak pintar, tapi kamu selalu bisa menilai sesuatu dari pengalaman. Dan betapa terenyuhnya batin ini sekarang. Sempak yang dengan sadis kuendus ini ternyata baunya masih seperti baru. Ya, masih bau-bau obat celup pabrikan. Ini sama dengan sempak yang aku beli 20 ribu tiga di pasar Senen. Tapi yang dagangnya aku kenal, dia masih orang sini. Karena di jembatan tol setiap Senin ada pasar tumpah. Ah, aku sekarang malah jadi detektif celana dalam. Kampret!Heurkh! Benar-benar Mbak Widya sedang bermain-main dengan ini semua. Lantas kenapa di malam itu Mbak Widya bermain dan sebut-sebut nama Mas Aryo? Dan suamiku saat itu ada di kamar mandi. Apa mungkin Bang Panjul lempar dalamannya ke kamar Mbak Widya? Dan kalau iya, kakak kandungku itu pasti akan marah dan jijik.Berkali-kali liur ini kuteguk sembari terus memperhatika
"Eh, Nur?"Setibanya di toko sederhana Mbak Yuyun, aku disapanya lebih dulu. Lantas mana mungkin aku tidak menjawab sapaannya."Assalamualaikum, Mbak, saya ada yang mau dibeli," jawabku setelah mengucap salam. Mbak Yuyun melihatku lebih dulu, jadi aku salam belakangan. Dia memang orangnya santai dan ramah. Asli orang sini."Oh, iya, silahkan. Dipilih-pilih, ya!" seru Mbak Yuyun yang usianya lebih tua dari Mbak Widya beberapa tahun. Aku pun langsung menuju ke arah di mana lingerie bermacam-macam warna tergantung dengan harga yang sudah tertera di bandrol.Karena kami tidak begitu kaku, lantas mengobrol adalah hal yang tidak pernah luput. Sembari aku mencari lingerie yang pantas, Mbak Yuyun bicara. "Tadi juga Mbakmu kemari, Nur." Mendengar kalimat yang agak sedikit menohok di telinga ini pun aku sejenak menahan nafas. Kulirik Mbak Yuyun dan dia tak melirikku. Tapi masih sibuk berkutat.Teg!"Mbak siapa, Mbak?" tanyaku heran. Mungkin saja yang dimaksud bukan Mbak Widya."Ya Widya, Mbakm
Malam ini Bang Panjul sudah pulang. Dia sedang ke kamar mandi, dan dia meminta aku untuk pakai lingerie yang ia suruh itu. Langsung saja aku pun memakainya namun yang diberi dari Mbak Widya. Yang warna gold, renda-renda menggairahkan, bahannya lumayan bagus, kalau digigit pun sepertinya agak kuat. Karena terkadang gaya Bang Panjul itu seperti anjing menerkam mangsa. Taringnya menggigit.Aku pun segera rebahan di atas kasur sengaja supaya terlihat menggoda. Tapi ingin kulihat juga ekspresi dia saat aku memakai aroma ini dan lingerie ini. Ya, siapa tahu dia yang kreditkan ini untuk Mbak Widya.Dia sudah balik dari kamar mandi. "Nur Sayang?" Suaranya manja, hueeek."Ehem, Bang?" Aku menjawab manja juga.Keningnya mengkerut heran. "Kenapa gak pakai yang warna merah menyala? Gak ada, ya? Warna gold itu kamu dapat dari mana? Kok parfum kamu juga beda? Gak seperti yang Abang kasih." Ia jalan mendekat sembari menggaruk benda pusakanya hal biasa yang pria lakukan jika sudah kembali dari kamar
"Jangan-jangan …." Dia semakin membelalakkan kelopak matanya."Apaan? Jangan mikir aneh-aneh ya." Tanggapan dia sama dengan Mbak Widya tadi. Hemh!"Jangan-jangan Abang pernah masuk ke kamar Mbak Widya lalu nyuri parfumnya, ya? Ngaku, Bang! Jangan-jangan Abang juga nyelidikin dari mana Mbak Widya beli parfum itu, ya? Sampai Abang beli dari tiktok kata Abang." Aku dengan enak bicara seakan jadi wanita yang benar-benar bodoh dan polos berkata begitu.Aku benar-benar melihat hembusan nafasnya yang seperti plong itu sembari mengusap keringat di jidat. "Huwh … kok kamu tahu, Nur? Emang sih, hihi, Abang tapi gak masuk kamar Mbakmu, Abang nanya aja, parfum apa dan dari mana. Tapi Abang belinya yang beda, masak iya sama sih, Nur. Ntar ketuker lagi pas kamu gak sengaja di kamar Mbak Widya, ada Mas Aryo dia langsung nubruk kamu." Pintar sekali bahasanya Bang Panjul ini. Karena sudah kurang bergairah, jadinya aku memancing dia untuk bergaya yang cepat keluarnya. Dan aku berhasil, hemh! Kalau lama
Aku seperti kucing yang ingin buang hajat. Untung saja kursi dari kain, bukan dari kayu, jadi tubuhku bisa tersembunyikan. Kalaupun Bang Panjul balik lagi ke kamar, aku akan pura-pura dari dapur juga. Tapi, aku curiga, dia akan ke kamar Mbak Widya.Dan kini batang hidung Bang Panjul sudah terlihat. Dia kembali dari kamar mandi, tapi airnya masih terdengar berjatuhan. Dia tidak menutup kerannya, hingga aku pun benar-benar heran. Apa yang aku lihat sekarang? Dia berjinjit pelan ke arah kamar Mbak Widya. Astaghfirullahaladzim!Aku sampai sesak melihatnya. Posisiku yang jongkok takut ketahuan ini pun sekarang agak merangkak. Dia benar-benar kulihat masuk ke dalam kamar Mbak Widya. Sadis, ini adalah pemandangan yang begitu menyakitkan. Semprul kamu, Bang! Kamu semprul, Mbak.Berkali-kali aku mengelus dada beristighfar untuk menetralisir getaran tubuh yang kini sudah bisa dibilang guncangan. Lutut lemas, dada sesak, bola mata pun kini malah tanpa permisi berair. Bagaimana perasaan seorang