Share

Skandal Sempak Hilang Satu

"Hah, sempak ini? Kok mirip yang dipakek Bang Panjul semalam? Ah iya, merek dan warnanya sama." Aku menelisik dalam hati. Sempat ada perasaan aneh, tapi semalam jelas aku dengar nama Mas Aryo di kamar inj. Bahkan sedang mendesah-desah dengan Mbak Widya, sampai lupa apa dia pakai dalaman?

"Nur–."

Akhirnya Mbak Widya sudah kembali. Aku dalam keadaan memegang sempak dengan dijinjing menggunakan jari telunjuk dan ibu jari karena tadi ingin memastikan.

"Hup." Aku kaget lalu menjatuhkan lagi sempak itu. Mbak Widya bola matanya melebar seperti ingin jatuh saja copot dari kelopaknya.

"Hah?" Mbak Widya terkaget-kaget. Tapi aku juga harus menanyakan, kok sempak Mas Aryo sama dengan yang dipakai Bang Panjul semalam? Bukankah aku sering lihat jemuran sempak Mas Aryo, beda merek?

Mbak Wiyda seperti melihat hantu. Ah, harus aku tanyakan.

"Nur, kamu kok ih, pegang-pegang sempak itu. Lancang kamu, Nur!" Mbak Widya marah dan secepat kilat menjiwir sempak yang sudah aku jatuhkan ke lantai. Ia masukkan ke keranjang cucian seperti membuang tikus burik.

"Bukan lancang, Mbak, aku masuk ke kamar ini juga atas ijin Mbak 'kan, Mbak, mau ambil casan. Nah, aku lihat sempak mirip sama sempak Bang Panjul–."

Belum selesai bicara, Mbak Widya sudah membungkam mulutku dengan kalimatnya. "Heh, sembarangan kamu ya, Nur! Enak aja, memang cuma si Panjul yang punya sempak seperti itu! Orang lain juga punya, termasuk Mas Aryo!" celetuknya menyanggah. Ya, memang benar, semua pria pasti punya sempak yang sama dengan cara kebetulan.

"Tapi aku sering lihat jemuran Mbak kalau Mas Aryo pulang, mereknya beda. Bang Panjul juga badannya tinggi besar, lingkar pinggangnya juga tak akan sekecil itu." Aku menerobos menyelidik. Jangan-jangan Mbak Widya dengan Mas Aryo mencuri sempak suamiku.

"Heh, Nur, ngomong ya dijaga. Mana ada sempak si Panjul di sini? Memangnya aku berhubungan sama dia lalu lupa sempak, ya? Astaga, nyebut, Nur, nyebut!" Mbak Widya malah memaparkan hal yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan. Kenapa dia sampai kepikiran kalau mereka berhubungan lalu lupa sempak? Padahal aku hanya menduga, mereka mencuri sempak Bang Panjul yang 20 ribu dapat 3 biji. Sedangkan Mas Aryo, dia kan sempaknya yang lumayan mahal. Yang belinya pakai dus, harganya 60 ribu dapat 3 biji.

Aku lantas heran. "Mbak kok mikir ke sana? Nur hanya menduga Mbak nyuris sempak suami Nur loh, Mbak. Eh, jangan-jangan Mbak sama Mas Aryo nyuri dari jemuran yang masih belum kering bener ya, Mbak? Halah, Mbak ngaku saja, Mbak. Mbak kan suka beli sempak yang mahal. Itu tuh yang tadi 20 rebu dapat tiga," cerocosku.

Namun, setelah mendengar cerocosanku barusan, wajah Mbak Widya malah memerah. Ah, ketangkap basah dia, jangan-jangan dia mencuri sempak Bang Panjul. Kurang ajar mereka. Apa tidak jijik? 

"Em … ah sudahlah, waktu itu Mbak ke pasar Senen, dan beli sempak itu kepaksa. Meski murah ya gak apa, yang penting gak bolong wadahnya," kata Mbak Widya dengan rona pipi yang masih merah.

Aku sama sekali tidak percaya. "Bohong kamu, Mbak. Lantas, kenapa kamu gugup begitu? Dan satu lagi ya, mana mungkin tuh sempak muat di pinggang Mas Aryo! Kasihan dia, jadi kepaksa sesak pakek sempak itu. Keterlaluan Mas Aryo. Apa dia tidak tahu kalau Bang Panjul ada sedikit koreng di dekat pantatnya. Ih." Aku sengaja menjijikan supaya dia tidak berani lagi mencuri sempak Bang Panjul.

"Ih, jijik, Nur, jijik! Lakimu korengan? Sebelah mana?"

Lah, dia malah menanggapi korengan suamiku dan bertanya di sebelah mana. Semprul si Mbak Widya, untuk apa dia tanya, apa mau lihat?

"Itu privasi, Mbak. Dan kalau Mbak tahu juga untuk apa, gak pakai Mbak ini. Yang harusnya jijik itu kan cuma aku sama Mas Aryo yang pakai sempaknya. Ntar Mas Aryo ketular, ih!" Bahuku menggidik jijik.

"Ih, pergi, pergi! Mbak mau tidur lagi. Dan jangan comot-comot barang Mbak ya lain kali. Ih!" Mbak Widya sewot sekali.

"Ya sudah, ini aku mau bawa casan aja, Mbak. Makanya terapti kalau udah bertempur." Aku memberi masukan, kenapa pula Mas Aryo sampai lupa pakek kostum mininya. Haduh, pasti dia sejak awal sudah pakai sempak itu. Makanya dia pakai malam tadi. Mungkin terburu-buru karena takut ketahuan aku.

Menjelang siang hari Mbak Widya masih ketus dan kesal, sepertinya gegara aku menuduh Mas Aryo mencuri sempak Bang Panjul. Ah, masak iya juga. Ya mungkin memang beli, tapi ukurannya kekecilan, jadi ditinggal. Ya, pasti begitu. Aku harus positif tingting, mana bisa pria semacam Mas Aryo curi daleman, harkh.

Saat ini aku sedang merapikan pakaian. Angkat jemuran, karena mentari sinarnya terik sekali, jadi jemuran sudah kering semua. Tepat di pukul dua siang, sudah kering sempurna. Apalagi yang kainnya tipis-tipis.

Aku langsung melipat pakaian itu. Ada yang Mbak Widya, aku biarkan saja melumuk tak aku lipat. Kesal aku sama dia. Kalau tidak suuzon, tapi tadi wajahnya merah sekali ketakutan. Hah, sudahlah aku maafkan saja.

Menuju lipatan baju ke yang kecil-kecil, seperti dalamanku dan juga dalaman Bang Panjul.

Deg!

Sungguh aku kaget. Otak ini yang IQ-nya dibawah standar kalau di tes di sekolah, masih mengingat sebuah sempak yang dipakai Bang Panjul semalam. Kenapa tidak ada? Dan aku baru ingat tidak begitu memperhatikan saat tadi subuh mencucinya. Ada tidak ya tadi saat dicuci? Dan semalam dia pakai warna yang sama yang aku temukan di kamar si Mbak Widya.

Jantungku malah berdegup kencang. Namun aku langsung buru-buru cari di bawah tali jemuran, takutnya terbang dan dibawa kucing tetangga ke jalan raya. Bisa malu tingkat Bu Kades aku.

Nihil, tidak ada. Di kamar pun tidak ada, di mana-mana tidak ada. Karena jelas sekali, aku sudah membersihkan kamar dari baju-baju kotor.

Lekas aku ada pikiran untuk cek ke lemari. Karena aku bukan orang kaya yang punya sempak satu lemari, jadi jumlahnya masih kuhafal dan kuingat. Aku pernah sekali membelikan sempak 20 rebu dapat tiga, dan bawa Bang Panjul ada tujuh biji. Jadi, dia hanya punya sepuluh sempak setelah pindah ke rumah ini, dan tadi dibawa empat. Pasti sisanya ada enam di lemari.

Gegas aku cek.

"Satu, dua, tiga, empat …." Dalam hati aku berhitung. Ternyata di lemari hanya ada empat, satu lagi baru diangkat dari jemuran karena yang kemarin, dan baru sadar, memang sempak Bang Panjul yang warna merah marun, namun masih bagus karena masih baru, itu tidak ada. Hanya ada yang warna coklat dan hitam, karena waktu itu aku beli 20 ribu, tiga warna.

Entah kenapa hatiku malah menyelisik. Ini benar-benar aneh, kenapa sempak yang dipakai saat kami bertempur malam itu tidak ada di jemuran. Dan malah tadi subuh aku menemukan sempak yang sama di kamar Mbak Widya. Kalau Mas Aryo beli, harusnya punya Bang Panjul ada. Tapi, kalau dia mencuri, mana bisa dipakai dalam waktu bersamaan. Sedangkan aku melihat semalam Bang panjul pakai sempak itu, dan tadi subuh Mbak Widya bilang kalau itu milik Mas Aryo.

Dadaku kini benar-benar sesak. Lalu teringat dengan omongan Mbak Widya saat nyerocos tadi, soal memang Mbak tidur dengan lakimu. Itu, aku padahal tidak berpikir ke sana.

Ada sresetan di seluruh tubuhku ini. Agak bergejolak di perut dan seperti mual. Bola mataku saja kini berair. Aku memang begini kalau panik. Melipat pakaian pun terabaikan karena memikirkan skandal dalaman. 

Astaga, aku memang wanita yang tidak begitu cerdik. Tapi aku harus meneliti apa yang sebenarnya terjadi. Mas Aryo, aku harus mencari tahu dari dia. Bagaimanapun caranya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
diyah dhee
Yawlaaa thor, perkara sempak aja bisa bikin perut kram ......... Antara polos sma ogeb emang beda tipisss yak ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status