Share

Bukan Kebetulan

Liurku terteguk seketika. Jemari yang tadinya jijik, hidung yang tadinya takut kebauan, kini seperti memperlihatkan kebisaannya untuk mengendus dan menyelidik. 

Nur, kamu tidak pintar, tapi kamu selalu bisa menilai sesuatu dari pengalaman. 

Dan betapa terenyuhnya batin ini sekarang. Sempak yang dengan sadis kuendus ini ternyata baunya masih seperti baru. Ya, masih bau-bau obat celup pabrikan. Ini sama dengan sempak yang aku beli 20 ribu tiga di pasar Senen. Tapi yang dagangnya aku kenal, dia masih orang sini. Karena di jembatan tol setiap Senin ada pasar tumpah. 

Ah, aku sekarang malah jadi detektif celana dalam. Kampret!

Heurkh! Benar-benar Mbak Widya sedang bermain-main dengan ini semua. Lantas kenapa di malam itu Mbak Widya bermain dan sebut-sebut nama Mas Aryo? Dan suamiku saat itu ada di kamar mandi. Apa mungkin Bang Panjul lempar dalamannya ke kamar Mbak Widya? Dan kalau iya, kakak kandungku itu pasti akan marah dan jijik.

Berkali-kali liur ini kuteguk sembari terus memperhatikan segitiga yang warna dan ukurannya persis sama. Ah, dan apa yang aku lihat lagi sekarang? Begitu tersentak hebat dada ini. Sesak sudah bila dirasa, dan seakan musnah saja jiwa ini. Terkutuk kau Mbak Widya, kenapa celana ini masih ada mereknya di bagian lingkar pinggang. Aku ingat juga saat membeli benda yang sama, ada dua perekat sebagai mereknya. Yang satu sebagai ukuran, dan satunya bandrol harga. Dan jni, ada ukuranannya belum dilepas, M, yang artinya medium. Sedangkan Mas Aryo setahuku kalau lihat di jemuran, pakaian XL.

Ah, lesu sudah lututku saat ini. Tadinya pikiranku yang jingkrak-jingkrak ingin mencecar, seakan nyawa ini lenyap seketika. Seluruh tubuh gemetar, bahkan tangan ini pun begitu kebas. Mana mungkin? Mana mungkin Bang Panjul semalam ke kamar Mbak Widya? Bahkan, kami sudah bertempur, dan apa iya nama yang disebut Mbak Widya itu hanya tipu daya? Bisa sekali dia!

Sialan!

Aku melempar sempak yang baru saja kuselidik kebenarannya. Tapi, bodohnya aku, lebih baik kuambil lagi dan akan aku simpan untuk kujadikan bukti. Tapi, aku akan simpan ini di lemarinya Mbak Widya. Aku akan pura-pura tidak tahu kalau celana dalam ini baru. Mungkin aku memang bodoh, sehingga Mbak Widya tak hati-hati dalam menunjukkan bukti. Bahkan aku juga masih ingat dengan baunya yang agak amis, tapi sekarang tidak sama sekali. Ya, ini memang sempak baru. Akan sengaja juga tak aku copot mereknya. 

Karena sudah terlanjur, ya aku cuci saja pakaian Mbak Widya dengan cara kuinjak-injak dengan kaki, bukan dengan tangan lagi. Saking geramnya dan saking penasarannya, apa sebenarnya hal yang terjadi dengan Mbak Widya. Apalagi aku sama sekali tidak menemukan kecurigaan dari keduanya. Kalau ada suamiku, Mbak Widya cuek bebek, bahkan bertatapan pun tak pernah aku pergoki.

Menginjak-injak pakaian Mbak Widya aku mengibaratkan sedang menginjak-injak dirinya. Entah permainan apa yang ia lakukan dengan sempak ini? Ah, dan aku faham, kenapa dia menyuruhku untuk mencuci pakaian ini, dan satu lagi, kini aku benar-benar tak percaya dengan IQ rendah ini, malah pikiran laknat muncul, kalau Mbak Widya lah yang sengaja menyebar bulir-bulir tanah di kamar, supaya aku menyapu dan aku membersihkan semuanya dengan apik. Lantas aku menemukan dalaman Bang Panjul yang kupikir hilang itu.

Ah …

Kini kakiku seakan tak bernyawa lagi saat menginjak-injak pakaian Mbak Widya. Setelah ada dugaan membagongkan barusan, ini si hati kecil malah menyuarakan keyakinannya, bahwa yang aku pikirkan ini benar.

Gusti Allah … andai aku punya banyak uang, pasti akan kupasang CCTV di rumah untuk mengintai pergerakan Mbak Widya dan Bang Panjul. Biadab, masak iya kami menikah hanya belum satu bulan, tapi dia telah main serong dengan kakak kandungku? 

Tidak, Nur, meski kamu urakan, kamu tidak boleh menebar fitnah di otakmu. Cerdik, Nur, cerdik, walaupun kamu dianggap oon oleh Mbakmu.

Kulanjutkan mencuci pakaian Mbak Widya dengan penuh amarah. Entah bersih atau tidak, yang jelas saat ini bibirku manyun mengulum emosi. Bahkan pakaian Mbak Widya saja saat aku bersihkan malah menggunakan kekuatan Mpu Tantular. Kuremas dan kuperas sekuat tenaga, sampai-sampai tubuh yang gemetaran ini berkeringat deras.

Wekk!

Deg!

Kaget dengan suara barusan. Ah, ternyata pakaian Mbak Widya yang mini dan tipis sobek seketika di tanganku. Jelas aku kaget dan gugup. Bisa saja Mbak Widya marah karena hal ini. Ah, tapi pada akhirnya pikiranku masa bodoh! Bahkan ada ide brilian untuk merobek semua bajunya, tapi tidak, jangan sampai aku brutal hingga pada akhirnya dia menaruh kecurigaan terhadapku. 

Meski kamu tidak cantik dan glowing seperti mbakmu, Nur, tapi kamu bisa kan main cantik?

Batinku seakan menyuarakan dukungan bak supporter klub sepak bola. Ah, iya, aku harus bisa cerdik. Entah bagaimana, aku harus bisa. 

Sampai usai menjemur pakaian Mbak Widya di pinggir rumah, karena sekarang sudah sore, jadi aku tidak menjemur di jemuran biasa. Takutnya awan itu malah menangis melihat kondisi pikiranku, yang akhirnya hujan badai. Lalu akan capek angkat jemuran, jadinya aku angin-anginkan saja.

Tiba-tiba terdengar hape berbunyi. Gegas aku segera menjemput bola meraih hape layar towel itu yang tersimpan di meja. 

Bang Panjul wajahnya sudah mampang di layar. Aku memang kuper, tapi aplikasi hijau selalu kupakai karena sudah terdownload dulu. Meski ya hanya ini, karena seperti yang aku bilang, memori penuh. Nah, aku juga tidak pernah melihat status Mbak Widya dan Bang Panjul yang mencurigakan. Ah, tapi mana iya kalau bangsat menampakkan kegilaannya. Pasti punya taktik sendiri.

"Ya, halo, Bang?" Aku berusaha menyembunyikan bibir yang bergetar yang pada akhirnya menghasilkan suara yang menggigil. Sebenarnya aku ingin menjerit sampai burung yang terbang berjatuhan saking kerasnya. Kenapa? Karena skandal di sempak itu. 

"Halo, Sayang. Oiya, Abang gak jadi nginep di sini. Abang mau pulang nanti sore. Kamu siapin makanan yang lezat, ya." 

Aneh, tadi saat pergi katanya akan menginap, tapi sekarang berubah pikiran. Tapi aku harus sumringah. "Oh, iyakah, Bang? Aduh, aku jadi kangen dan gak sabar nunggu Abang." Padahal bibirku ini komat-kamit dimainkan sedemikan rupa sampai ingin menggigit hape ini.

"Sama, Abang juga kangen sama kamu, Sayang. Makanya, karena Abang juga tidak perlu di sini, ada yang handle, jadinya Abang mau pulang aja. Oiya, uang yang kemarin Abang kasih masih ada? Sisa berapa?" Langsung Bang Panjul bahas soal uang. Aku yang masih menggerutu kesal pun terus saja bersandiwara seperti aktor Hollywood papan atas.

"Oh, kenapa memangnya? Masih ada dua ratus ribu, Bang." Aku menjawab sok manis. Untung saja bukan video call, jadi aku bebas berekspresi.

"Oh enggak. Kamu beli itu sana, em … beli pakaian seksi. Beli lingerie gitu loh, Yang. Yang warnanya merah menyala, ya! Atau seadanya saja yang penting seksi. Abang lihat waktu itu di toko Mbak Yuyun ada. Kamu beli di sana saja, ya. Sudah ada bandrolnya juga. Nanti uangnya Abang ganti dua kali lipat." 

Mendengar titahannya itu membuat bulu kudukku merinding membayangkan malam nanti, tapi tetap saja, pikiran liar laknat menuduh dia selingkuh masih mendominasi.

"Ah, Abang, aku kan malu. Ah." Sengaja aku sedikit mendesah supaya penyelidikan Nur nanti lancar jaya. Kuharap beribu harap, si tikus atau kucing tetangga membawa sempak suamiku itu. Bukan ada hubungannya dengan Mbak Widya. Dan aku harap, Mbak Widya melakukan itu semua supaya aku tidak curiga atas hal yang tidak pernah terjadi.  

"Aduh, si jagur langsung kencang denger suara kamu yang begitu, Sayang. Aduh, makin ingin cepet pulang aja. Tapi, tetep harus nunggu nanti. Nanti aku sampai pukul tujuh ya ke rumah." Dia bicara dengan ayu, meski namanya Panjul.

"Emh, Abang, ah. Nur jadi … AW!" Aku bar-bar begini ya? Tapi ini akan bagus untuk melancarkan semuanya. Lagipula aku berkata begitu dengan suami, bukan dengan siapa-siapa.

"Aw, kamu ih, gemes deh. Ya udah, Abang kerja dulu ya, Sayang. Muach!" Dia mengecupkan bibir untukku di udara sana.

"Ih, Abang. Malu ah, Bang, nanti didenger Mbak Widya. Dia ada di sini, lagi duduk di kursi." Aku sengaja berbisik-bisik menjawabnya. Sebenarnya aku malas saja mengecup muuach, muach. Suasana hatiku masih belum mereda emosinya. Untuk memonyongkan bibir mengecup itu terlalu berat bagiku untuk detik ini.

"Ah kok gitu sih? Emang Mbak Widya ada di sana, ya? Abang pikir lagi di luar ke minimarket. Hihi."

Deg!

Entah kenapa aku jadi teringat, kalau Mbak Widya tadi ijin ke minimarket untuk beli bedak. Dan memang dia tidak ada di sini, aku saja maksudnya tadi hanya bercanda supaya tidak memonyongkan bibir untuk pura-pura beri dia kecupan.

Ah, dadaku memanas lagi. Tadinya sedikit mereda kagum dengan penyelidikan yang aku lakukan, kini malah sesak lagi dengan pernyataan Bang Panjul barusan. Dia hanya pura-pura sok tebak Mbak Widya di minimarket, atau memang dia benaran tahu? Arkh, tubuhku seperti akan meledak seperti dipasang bom waktu.

"Nur, Nur Sayang?" Sapaan manja Bang Panjul tak berhasil meredakan pikiran liar ini. Kalau aku menganga, ini kenapa rasanya ingin menangis dan berteriak. Bibirku bergetar semakin kuat. Ah, kenapa ini? Kenapa semuanya jadi serba kebetulan begini?

"Nur, masih di sana?" tanyanya agak heran karena belum ada jawaban.

Ah, aku ada ide. Gegas aku menjauh dari hape sekitar lima meteran, hampir dekat ke kamar mandi. "Ah, iya, Bang? Aku lagi balikin ini, ceplok telor! Bentar ya, Bang!" Aku sengaja berteriak untuk menyuarakan hati yang begitu gundah gulana.

"Oh, lagi goreng, ya?" Dia juga mengencangkan suara.

"Iya, Bang! Bentar, ya!" Aku menyahut dengan bola mata yang sudah matang mendadak dengan rona merah sepertinya. Malah, kini berkaca-kaca seakan-akan sedang mengiris bawang merah lalu menangis menjatuhkan bulir beningnya.

"Ya sudah, Abang tutup, ya. Dah, Sayang!"

"Hem, iya, Bang!" 

Setelah tak terdengar lagi suaranya, aku pun segera meraih lagi benda pipih yang sudah jadul di jamannya ini. Sialan, jangan-jangan Bang Panjul sedang chatingan dengan Mbak Widya, sampai-sampai dia bisa menduga Mbak Widya di minimarket. Dan terkadang, kepolosan dan kebodohanku ini mengantarkan untuk memperkuat bukti. Andai aku tidak berbohong ada Mbak Widya tadi, pasti aku tidak akan tahu perihal prasangka ini. Heurkh!

Awas saja kalau sampai kalian benar ada main, Mbak, Bang! Kukebiri milikmu, Bang! Dan kamu, Mbak, akan aku bakar rambut bawahmu itu. Harkh!

Namun meski kesal, aku pun segera menuju toko pakaian sederhana milik Mbak Yuyun. Aku akan membeli lingerie. Di sana serba ada, dari mulai sandal, sepatu, dalaman, luaran, kerudung, sampai peralatan dan perlengkapan bayi juga ada. Aku akan segera bergegas. Ah, dan aku juga akan tanyakan berapa harga CCTV pada Mbak Yuyun. Dia kan tokonya dipasang kamera pengintai itu. Ya, mungkin saja bisa kubeli.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ayyubi _
bahas sempak doang 2 bab lebih, jd males bacanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status