"Eh, Nur?"
Setibanya di toko sederhana Mbak Yuyun, aku disapanya lebih dulu. Lantas mana mungkin aku tidak menjawab sapaannya.
"Assalamualaikum, Mbak, saya ada yang mau dibeli," jawabku setelah mengucap salam. Mbak Yuyun melihatku lebih dulu, jadi aku salam belakangan. Dia memang orangnya santai dan ramah. Asli orang sini.
"Oh, iya, silahkan. Dipilih-pilih, ya!" seru Mbak Yuyun yang usianya lebih tua dari Mbak Widya beberapa tahun. Aku pun langsung menuju ke arah di mana lingerie bermacam-macam warna tergantung dengan harga yang sudah tertera di bandrol.
Karena kami tidak begitu kaku, lantas mengobrol adalah hal yang tidak pernah luput. Sembari aku mencari lingerie yang pantas, Mbak Yuyun bicara. "Tadi juga Mbakmu kemari, Nur."
Mendengar kalimat yang agak sedikit menohok di telinga ini pun aku sejenak menahan nafas. Kulirik Mbak Yuyun dan dia tak melirikku. Tapi masih sibuk berkutat.
Teg!
"Mbak siapa, Mbak?" tanyaku heran. Mungkin saja yang dimaksud bukan Mbak Widya.
"Ya Widya, Mbakmu!" jawabnya luwes tanpa ada kebohongan. Dengan apik Mbak Yuyun merapikan kembali pakaian yang sedang ia raih itu, padahal ada satu orang pegawainya juga. Eh, tapi dia sedang melayani pembeli di sebelah Timur.
Kupikir, untuk apa Mbak Widya kemari?
Gerakkanku yang sedang memilah dan memilih lingerie pun terhenti. Tapi santai, aku tak boleh terlihat mencurigakan. "Oh, Mbak Widya. Beli apa dia ya, Mbak? Apa beli pakaian buat kado temannya, ya?" ujarku berbohong lagi, padahal aku mana tahu ada temannya yang mau nikahan.
"Kado? Ah masak iya beli kado sempak sih, Nur. Hihi."
DWUARRRR!
Seperti bom atom yang meledak di tengah aku sedang bersenda gurau tralala. Pemberitahuan yang disampaikan oleh Mbak Yuyun barusan menyambar tepat di ulu hatiku. Ada getaran yang tadi hampir lenyap, dan kini datangnya tiba-tiba tanpa permisi membuat batinku sakitnya luar dalam. Seperti coklat yang lumer di mulut, luar dalam.
Untungnya Mbak Yuyun tidak melihat ekspresi wajahku yang berubah. Dia masih santai merapikan pakaian-pakaian itu.
Karena gemas dan kesal, kuremas sekuat tenaga lingerie di hadapan. Ya, kain secuwil ini adalah barang yang akan aku beli sesuai permintaan Bang Panjul.
Aduh, benar-benar dadaku sesak seketika. Pahit sekali informasi itu. Tapi ini sudah skenario-Nya membawaku ke toko ini.
"Oiya, Nur, Mbakmu 'kan baru tadi kemari, bukankah dia sering belanja di supermarket, ya? Tadi sih Mbak Yun juga aneh lihat dia kemari, eh beli daleman pria. Astaga, apaan ya Mbak ini." Tiba-tiba Mbak Yuyun menyanggah ucapannya. Aku yang masih sesak nafas pun hanya bisa tersenyum saja. Jadi benar, sempak yang aku temukan itu baru. Dan dibeli dari sini? Memang aku juga waktu di pasar Senin, belinya dari karyawan Mbak Yuyun.
Heurkh! Astaghfirullah, astaghfirullahaladzim!
Sejenak aku mengelus dada beristighfar. Kecurigaanku ini semakin diperkuat oleh fakta-fakta yang ada. Buktinya benar, sengaja Mbak Widya beli dalaman murah yang kata Mbak Yuyun saja, dia tidak pernah kemari.
"Em, oh, gitu ya, Mbak. Mungkin lagi butuh barang itu, tapi uangnya pas-pasan ga ada buat ongkos. Makanya belanja ke sini. Belanja baju juga, Mbak?" ujarku sok hepi.
"Gak, gak beli baju. Ya itu, dalaman doang, Nur. 20 rebu 'kan dapat tiga. Tapi Mbakmu belinya satu saja, sepuluh rebu."
Ah, jiwa detektifku semakin meronta-ronta. Bulu kuduk ini merinding takut kalau apa yang kutakutkan sejak hari ini itu malah nyata. Tidak, aku benar-benar tidak sanggup. Kenapa begini? Niatku ingin segera mempunyai momongan sepertinya harus ditunda dulu. Sebelum aku benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri kalau dugaan itu benar. Atau, kebenaran kalau aku hanya keliru.
"Oh begitu ya, Mbak. Oiya, Mbak, di toko Mbak dipasang CCTV, itu harganya berapa, Mbak? Mahal ya?"
Pasti Mbak Yuyun heran kenapa aku langsung bertanya begitu. "Kenapa, Nur? Mau beli, ya?" tangap Mbak Yuyun.
"Bukan, Mbak. Tapi suami saya katanya mau beli CCTV untuk di rumah majikannya. Tapi dia akan beli sendiri gitu. Kalau ada sisanya, ya buat bonus. Hihi." Ah, apaan aku ini? Tapi biarlah, demi penyelidikan aku berani konyol.
"Oh, gitu. Macem-macem, Nur hargamah. Datang langsung ke toko, ada yang mulai dari ratus ribuan, sampai jutaan, Nur. Bentuknya juga 'kan ada yang gede kayak itu tuh," tunjuk Mbak Yuyun ke arah kamera, "ada juga yang kecil sekali. Yang kecil itu biasanya untuk penyelidikan gitu, Nur. Mungkin harganya lebih mahal. Eh, entah lebih murah. Soalnya itu juga yang beli suami, Mbak. Dan semakin canggih, semakin mahal."
Dan setelah aku mendapat informasi kisaran harga, lantas aku pun segera pulang ke rumah. Setelahnya tadi Mbak Yuyun mencandaiku membuat diri ini malu, yang katanya pengantin baru beli lingerie. Huwh, tapi bukan itu yang aku hiraukan, tapi kebenaran kalau Mbak Widya beli sempak baru.
Saat ini aku sudah sampai di rumah, dan ternyata Mbak Widya sudah pulang. Buktinya, pintu membuka dan sandalnya juga ada.
"Darimana, Nur?" tanyanya. Pucuk dicinta, Mbak Widya pun nongol batang hidungnya.
"Dari depan, Mbak, dari toko Mbak Yuyun. Ini, habis beli pakaian, disuruh Bang Panjul." Sengaja aku jujur.
"Pakaian apa? Kok disuruh-suruh?" herannya.
Belum juga kujawab, Mbak Widya sudah merampas kresek berisi pakaian tipis rajut-rajut itu. Heurkh, selalu saja dia begitu, mentang-mentang aku adiknya.
"Lingerie?"
Dia membeberkan kain yang bagiku itu minim sekali. Tapi kalau untuk di ranjang, memang bisa lebih menarik. Warnanya merah menyala dengan renda-renda yang memanjakan.
"Heem."
"Nur, beli yang gini di toko Mbak Yuyun 'kan murah. Bisa sobek cepet ini kalau mainnya ganas!" celetuk Mbak Yuyun yang bicara tanpa ada sensor. Eh, sama seperti aku.
"Ah, sini, Mbak. Bang Panjul katanya gak akan jadi nginep di sana. Dia mau pulang nanti malem," rebutku.
"Ah, aku juga punya, Nur. Malah lebih mahal. Itu cuma puluh ribuan, milik Mbakmu di kamar itu harganya ratusan ribu. Limited edition!" cetusnya mengejek. Halah, sok ngartis, kalau dibakar, tetap saja jadi abu.
"Mau mahal mau murah, yang penting yang punyanya gak murahan, Mbak. Barangmah gakpapa murah, asal bisa dipakek."
Mendengar lantunan kalimat mutiaraku, seketika tatapan Mbak Widya menajam. Dia seakan marah dan terejek. Kalau merasa tidak murahan, seharusnya pandangannya bisa diperhalus. Tapi dia malah melotot.
"Apa maksudmu?" Mbak Widya merajuk.
"Maksudnya, Mbak tidak perlu mengejek punyaku. Punya Mbak mahal ya gak apa-apa."
Belum sampai hati aku bicara menegang pada saudaraku satu-satunya ini. Mungkin belum waktunya. Dan kalau sampai Mbak Widya tahu aku curiga, dia pasti main lebih rapi. Jangan sampai terjadi. Mau hitam atau putih, aku harus segera mendapatkan kejelasan nantinya.
Sabar, Nur, sabar.
Aku terus beristighfar dalam hati. Mbak Widya masih begitu marah sepertinya atas perkataanku. Dia merasa terejek rupanya.
"Hemh. Nanti kalau mau, aku kasih warna yang suamimu suka. Pasti dia akan klepek-klepek." Dengan menyunggingan bibir, sepertinya Mbak Widya kurang sadar. Dia berlalu ke kamar dengan jumawa, tapi aku gagal fokus dengan kalimat tadi. Apa maksudnya yang disukai suamiku? Harkh.
"Hah, apa maksud kamu, Mbak?"
Seketika seperti tersentak kaget, Mbak Widya menghentikan langkahnya lalu belum mampu menoleh ke arahku.
"Em, maksudnya, kamu itu harus pintar manjakan suami. Cari warna kesukaannya. Mungkin dia suka warna apa. Nanti Mbak kasih. Mbak banyak stok lingerie!" sanggahnya. Aku yakin, dia sedang menyembunyikan sesuatu.
"Mbak?" Aku jalan perlahan mendekatinya. Kali ini baru kulihat wajah Mbak Widya merah merona seperti tomat matang. Dia gugup karena pandanganku lekat.
"Apaan kamu, Nur?" Tapi dia berusaha menyembunyikan kegugupannya. Ingin kumakan saja Mbak Widya andai aku kanibal.
Aku akan sengaja membuat dia panik. "Mbak, jangan-jangan …." Mati kamu, Mbak, sampai saat ini wajahmu malah semakin memerah.
"Apa? Jangan-jangan apa? Jangan nuduh yang gak-enggak ya, Nur!" Dia merajuk cepat panik.
Telunjukku mendekat ke bola matanya, seperti di film-film yang akan menuduh tapi dramatis sekali.
"Nur!" Mbak Widya wajahnya semakin panik.
"Mbak …."
Dia semakin mundur dan panik. Keningnya bahkan kini rembes dengan keringat. Hadeuh, oke, siap-siap saja kamu, Mbak.
"Nur, eh! Turunkan pandanganmu!" titahnya takut.
"Mbak … jangan-jangan Mbak diam-diam tahu kesukaan suamiku, ya? Tahu warna kesukaan Bang panjul? Warna apa, Mbak? Jadi selama ini Mbak perhatian ya sama ipar Mbak dan adik Mbak ini. Aduh, Mbak benar-benar Mbak yang baik. Kalau gitu, mana, minta lingeri punya, Mbak. Yang udah gak dipakek juga gak apa-apa."
Seperti habis melahirkan si kuning, Mbak Widya kini menatapku dengan lega. Dia mengelus dada lalu bicara, "huwh … kirain kamu nuduh yang macem-macem, Nur. Mbak tadinya gak habis fikir!" lanjutnya.
Parasku yang kurang glowing ini memasang wajah santai. Padahal, jauh di lubuk hati yang paling dalam, batinku menjerit, kenapa Mbak Widya berekspresi ketakutan seperti tadi? Dan aku hanya perlu bukti mata telanjang untuk memastikannya. Dan sekarang, aku sudah punya rencana.
"Mbak, mana? Mana minta lingerienya. Aku adikmu ini, 'kan? Warna paporit suamiku apa, Mbak?" Aku terus meminta seperti anak yang konyol.
"Favorit, bukan paporit, Nur. Sudah, Mbak ambilkan. Lagian Mbak sudah punya yang baru." Pada akhirnya Mbak Widya masuk ke kamarnya, dan aku mengekor di belakangnya.
Betapa terkejutnya aku melihat banyak sekali lingerie di lemarinya. Sepertinya lebih dari sepuluh, dan warnanya tidak ada yang sama. Tapi di sisi lain, ada juga lingerie yang sama, warnanya sama, tapi sepertinya model terbaru.
"Mbak, banyak sekali itu?" Aku terpana dengan konyolnya.
"Hadeuh, wajib bagi istri." Lalu dia meraih lingerie warna emas. Atau nama kerennya itu gold, "nih, pasti suamimu suka. Dia pasti klepek-klepek. Lihat mereknya, ini merek bagus."
Aku pun menampan. "Wow, keren." Kuakui memang ini begitu bagus. Bahannya juga lumayan beberapa tingkat lebih baik.
"Dah, kamu keluar. Mbak mau mandi. Oiya, kalau ada Mas Aryo ke mari, diam-diam, kamu jangan nguping ya, Nur! Awas saja!"
Eh, Mbak Widya malah sewot dan langsung mengusirku. "Siap, Mbak, semoga bisa rujuk lagi."
"Iya, ini lagi tahap rayuan. Kamu faham dengan Mbakmu ini 'kan?" jelasnya.
Aku manggut-manggut. "Faham, Mbak, faham. BTW, makash ya, Mbak. Ini lingerie buat aku, ya? Oiya, ini parfumnya wangi banget, Mbak." Memang dua lubang hidungku menelisik rapi aroma mewah ini.
"Iya, itu parfum mahal. Sudah Mbak semprot. Sudah, sana!" Dia mengusirku lagi, dan akhirnya aku pun segera ke kamar.
Sampai di kamar, aku ada ide untuk memakai lingerie gold ini nanti malam saat Bang Panjul tiba. Apa dia akan menatap aneh? Kalau iya, begitu keterlaluan sekali.
***
Malam ini Bang Panjul sudah pulang. Dia sedang ke kamar mandi, dan dia meminta aku untuk pakai lingerie yang ia suruh itu. Langsung saja aku pun memakainya namun yang diberi dari Mbak Widya. Yang warna gold, renda-renda menggairahkan, bahannya lumayan bagus, kalau digigit pun sepertinya agak kuat. Karena terkadang gaya Bang Panjul itu seperti anjing menerkam mangsa. Taringnya menggigit.Aku pun segera rebahan di atas kasur sengaja supaya terlihat menggoda. Tapi ingin kulihat juga ekspresi dia saat aku memakai aroma ini dan lingerie ini. Ya, siapa tahu dia yang kreditkan ini untuk Mbak Widya.Dia sudah balik dari kamar mandi. "Nur Sayang?" Suaranya manja, hueeek."Ehem, Bang?" Aku menjawab manja juga.Keningnya mengkerut heran. "Kenapa gak pakai yang warna merah menyala? Gak ada, ya? Warna gold itu kamu dapat dari mana? Kok parfum kamu juga beda? Gak seperti yang Abang kasih." Ia jalan mendekat sembari menggaruk benda pusakanya hal biasa yang pria lakukan jika sudah kembali dari kamar
"Jangan-jangan …." Dia semakin membelalakkan kelopak matanya."Apaan? Jangan mikir aneh-aneh ya." Tanggapan dia sama dengan Mbak Widya tadi. Hemh!"Jangan-jangan Abang pernah masuk ke kamar Mbak Widya lalu nyuri parfumnya, ya? Ngaku, Bang! Jangan-jangan Abang juga nyelidikin dari mana Mbak Widya beli parfum itu, ya? Sampai Abang beli dari tiktok kata Abang." Aku dengan enak bicara seakan jadi wanita yang benar-benar bodoh dan polos berkata begitu.Aku benar-benar melihat hembusan nafasnya yang seperti plong itu sembari mengusap keringat di jidat. "Huwh … kok kamu tahu, Nur? Emang sih, hihi, Abang tapi gak masuk kamar Mbakmu, Abang nanya aja, parfum apa dan dari mana. Tapi Abang belinya yang beda, masak iya sama sih, Nur. Ntar ketuker lagi pas kamu gak sengaja di kamar Mbak Widya, ada Mas Aryo dia langsung nubruk kamu." Pintar sekali bahasanya Bang Panjul ini. Karena sudah kurang bergairah, jadinya aku memancing dia untuk bergaya yang cepat keluarnya. Dan aku berhasil, hemh! Kalau lama
Aku seperti kucing yang ingin buang hajat. Untung saja kursi dari kain, bukan dari kayu, jadi tubuhku bisa tersembunyikan. Kalaupun Bang Panjul balik lagi ke kamar, aku akan pura-pura dari dapur juga. Tapi, aku curiga, dia akan ke kamar Mbak Widya.Dan kini batang hidung Bang Panjul sudah terlihat. Dia kembali dari kamar mandi, tapi airnya masih terdengar berjatuhan. Dia tidak menutup kerannya, hingga aku pun benar-benar heran. Apa yang aku lihat sekarang? Dia berjinjit pelan ke arah kamar Mbak Widya. Astaghfirullahaladzim!Aku sampai sesak melihatnya. Posisiku yang jongkok takut ketahuan ini pun sekarang agak merangkak. Dia benar-benar kulihat masuk ke dalam kamar Mbak Widya. Sadis, ini adalah pemandangan yang begitu menyakitkan. Semprul kamu, Bang! Kamu semprul, Mbak.Berkali-kali aku mengelus dada beristighfar untuk menetralisir getaran tubuh yang kini sudah bisa dibilang guncangan. Lutut lemas, dada sesak, bola mata pun kini malah tanpa permisi berair. Bagaimana perasaan seorang
Geram aku dibuatnya. Saat ini lantas aku masih menggedor-gedor pintu kamar mandi. "Bang … Bang …." Suaraku sepertinya akan terdengar ke kamar Mbak Widya. Lihat saja, akan dari mana si Panjul muncul! Kakiku masih sakit, untung tidak sampai keseleo parah. Ini gegara emosi sampai kaki gremet lalu terkulai. Jatuhlah. Untung aku punya jurus lari marathon. Heurkh! Kalau digrebek sendiri, mereka pasti bisa melawanku. Harusnya nanti panggil RT saja. Setelah aku dapatkan di mana surat-surat warisan itu. Asetnya di mana pun aku tidak tahu. Astaga, Mbak Widya jahat sekali. "Bang … Abang di dalam, gak? Nur mau pipis!" Lagi aku berteriak. Belum ada jawaban sedikit pun. Mereka berdua pasti panik dan memyudahi aktivitas yang belum terjadi. "Bang, Nur buka, ya? Ini pengen pipis banget!" Mulut ini tak henti berteriak ngoceh. Lumayan panas di dadaku tersalurkan dengan teriakan ini. Namun, baru saja kuancam akan membukanya, tiba-tiba Bang Panjul muncul dari arah lain. Dia begitu kaget melihat ini.
Tiba-tiba Mbak Widya muncul. Dia sudah ganti kostum pakai piyama lengan pendek, juga rambutnya sudah agak semrawut. Ah, bisa sekali dia akting. Tadi pakai lingerie orange menyala, sekarang cling langsung seperti Jini Oh Jini ganti baju."Eh, Mbak, maaf ya, Mbak. Tadi aku mau ke kamar mandi, lama sekali Bang Panjul. Eh, malah nongol dari arah sana." Aku menunjuk ke arah pintu. Benar-benar ingin sekali kumakan mereka berdua mentah-mentah, tapi balik lagi, aku ini normal, hanya makan daging hewan saja. "Hadeuh, kamu ini, Nur! Berisik!" Mbak Widya marah."Maaf, Mbak. Maaf aku ganggu aktivitas tidur Mbak, ya. Namanya serumah ya gini, Mbak. Andai aku punya uang banyak, pasti akan aku belikan rumah besar, biar dari kamar ke kamar itu bisa pakek motor, Mbak, saking jauhnya. Ah, duit dari mana tapi." Sengaja aku ngoceh halu seperti burung beo. Aku selalu begitu terlihat udik sekali pasti di pandangan Bang Panjul. Bodo amat, tapi dengan begini, mereka pasti akan terus berpikir aku ini bodoh se
"Eh, Nur, masuk, Nur, masuk!"Aku sudah sampai di kediaman Pak RT dan Bu RT. Disapanya langsung dan dipersilahkan masuk oleh Bu RT, karena Pak RT sedang keluar katanya. Aku gerak cepat ingin tahu asal-usulku sebenarnya. Seingatku, sejak kecil aku memang tinggal di sini. Tanya ke tetangga dekat, mereka juga hanya tahunya Mbak Widya anak dari ibu dan bapak saja. Entah bagaimana ceritanya. Dan kebanyakan di sini tetangga baru, bukan orang asli sini."Ada keperluan apa, Nur? Tumben kemari?" Bu Ida langsung bertanya pada inti kedatanganku. Dia usianya di atas almarhumah ibu, jadi pasti tahu asal-usul Mbak Widya."Begini, Bu, maaf. Nur sebenarnya …."Begitu panjang lebar aku bertanya mengenai Mbak Widya dan almarhum orang tua. Dan aku juga menunjukkan sebuah foto yang usang dan sudah luntur itu pada Bu Ida.Benar-benar ingin kuketahui kebenarannya. Siapa pria itu? Kalau di foto anak kecil itu aku, jelas bukan, bola matanya bukan aku, apalagi hidungngnya. Jelas itu mirip Mbak Widya."Nur, i
Balik ke rumah emosiku bukannya meredam tapi malah semakin tersundut. Harta almarhum bapak masih ada? Dan aku anaknya sama sekali tidak tahu? Kehidupan apa ini?Mbak Widya dan Bang Panjul sudah keluar selama tiga jam, mereka satu pun belum ada yang kembali. Tapi, baru saja aku selesai masukannya beras untuk dimatangkan, tiba-tiba Mbak Wdiya pun pulang."Nur, Nur!" Dia meneriakiku."Apa, Mbak?"Dan begitu terkejutnya aku. Mbak Widya pulang dengan kantong-kantong belanjaannya. Dapat duit sebanyak itu dari mana dia? Dari Bang Panjul?"Belanja, Mbak?" heranku. Menyelidik jati dirinya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Rambutnya juga sudah berganti model."Nur, sebentar lagi Mbak mau ajak kamu pindah rumah. Rumah ini boleh dijual ya? Karena Mbak udah punya rumah baru yang bagus. Biar agak luas."Jleb!"Rumah baru?" Aku terkaget-kaget bukan main. Uangnya dari mana?"Iya, Nur. Mbak dapat rezeki. Dapat lotre, ditambah uang tabungan Mbak yang cukup untuk beli rumah. Gimana?"Kalimatnya ba
"Mbak, bukannya tadi suruh aku cepet-cepet ya? Mbak masih ngapain?" Kami akan segera pindah, ya mau bagaimana lagi, rumah ini sudah dijual dengan harga yang aku ketahui. "Iya, sebentar. Kamu sana dulu!" Dia mengusirku. Bukannya sibuk ikut bawa barang, ini malah diam di belakang rumah. Sedang apa pula dia? Jangan-jangan ada sesuatu."Ayok, Mbak!" Aku coba memaksa."Kamu dulu ke sana. Mbak lagi ini … lagi cari sesuatu. Oiya, barang Mbak masih ada di kamar Beberapa. Angkatin gih!" Dia menyuruhku lagi. Penasaran, sebenarnya apa yang ingin dia lakukan?"Iya deh, Mbak, iya. Cepetan ya, Mbak. Bukannya Mbak yang maksa kita pindah," ujarku sedikit kesal."Iya, iya, sana kamu, Nur!" Alhasil aku pun pergi saja. Tapi, hanya pura-pura. Ingin kuselidik apa yang sebenarnya yang Mbak Widya cari. Namun, yang kulihat Sekarang dia itu bukan sedang mencari. Seperti ada sesuatu di tangannya, dan dia juga seperti memegang korek api.Degh!Hatiku sudah lebam dengan kecurigaan yang tiada akhir. Begitu kag