"Jangan-jangan …." Dia semakin membelalakkan kelopak matanya.
"Apaan? Jangan mikir aneh-aneh ya." Tanggapan dia sama dengan Mbak Widya tadi. Hemh!
"Jangan-jangan Abang pernah masuk ke kamar Mbak Widya lalu nyuri parfumnya, ya? Ngaku, Bang! Jangan-jangan Abang juga nyelidikin dari mana Mbak Widya beli parfum itu, ya? Sampai Abang beli dari tiktok kata Abang." Aku dengan enak bicara seakan jadi wanita yang benar-benar bodoh dan polos berkata begitu.
Aku benar-benar melihat hembusan nafasnya yang seperti plong itu sembari mengusap keringat di jidat. "Huwh … kok kamu tahu, Nur? Emang sih, hihi, Abang tapi gak masuk kamar Mbakmu, Abang nanya aja, parfum apa dan dari mana. Tapi Abang belinya yang beda, masak iya sama sih, Nur. Ntar ketuker lagi pas kamu gak sengaja di kamar Mbak Widya, ada Mas Aryo dia langsung nubruk kamu." Pintar sekali bahasanya Bang Panjul ini. Karena sudah kurang bergairah, jadinya aku memancing dia untuk bergaya yang cepat keluarnya. Dan aku berhasil, hemh! Kalau lama-lama, malah semakin sakit rasanya.
"Duh, kalau begini jadi cepet ya, Sayang, tapi enak." Bang Panjul merebahkan diri di sampingku. Dia telah berhasil mengeluarkan uneg-uneg dari belalai bawahnya itu.
"Heem. Aku lelah, Bang, mau tidur boleh? Atau mau lagi?" Aku pura-pura menawarkan namun dengan wajah ngantuk.
"Ah, sudah saja, Abang puas kok. Tidur aja, Sayang, Abang juga mau tidur. Yang nyenyak ya, Nur Sayang." Dia mengecup pucuk keningku, lalu aku pun segera tidur nyenyak. Tapi, pura-pura.
Karena pikiran ini penat, mana bisa tidur nyenyak, tapi Bang Panjul di sampingku hanya diam. Dia tidak bergerak ke mana-mana, apa dia tidur? Hurkh, jadi detektif konyol malam ini tidak akan melihat apa-apa?
Ini sudah setengah jam sejak kami mengakhiri pertempuran. Aku masih melek, tapi tidak bergerak sedikit pun, karena ini sedang pada masa penyelidikan.
Tapi, aku agak haus, ada niatan untuk bangkit, namun tiba-tiba suara ranjang berderit membuatku kaget. Sepertinya Bang Panjul bergerak. Dan iya, dia gerak. Aku pun mengurungkan niat ke dapur.
"Sayang," katanya dengan suara mendesah.
Aku sengaja diam meski sebenarnya mendengar. Pura-pura memejamkan mata, entah dia mau mengajak lagi bertempur atau apa.
"Sayang," ucapnya lagi mencuwil tubuhku sedikit. Tapi anehnya, dia seperti beranjak, karena suara risbang yang tertekan yang terbuat dari kayu ini menyuarakan kesaktiannya akibat ditimpa beban dalam satu titik.
"Sayang. Nur!"
Teg!
Ada bayangan tangan di depanku. Sedikit melek seperti orang yang tidurnya membuka separuh. Aneh, Bang Panjul melayang-layangkan telapak tangannya di udara, seakan-akan memeriksa, aku sudah tidur atau belum. Kini badannya ada di hadapanku.
"Sayang. Ehm!" Dia menyebut kata itu lagi lalu berdehem. Seperti berharap kalau aku ini lelap sekali. Lantas, aku pura-pura beringsut dan balikan arah tidurku. Jadi kini membelakangi dirinya yang sedang berusaha memeriksa aku sudah tidur atau belum.
Tak kusangka, dia malah mendekatkan guling supaya aku seperti memeluk dirinya. Hingga kini aku lihat jalan dia berjinjit medekati pintu seperti rampok ingin maling ikan asin. Dibukanya pintu dengan pelan, lalu menutup kembali dengan pelan pula. Aku benar-benar kaget dibuatnya.
Gegas aku pun segera bangun dengan pelan-pelan supaya risbang ini tidak bersuara krit … krit … krit.
Keadaanku yang masih pakai lingerie ini pun segera kututup dengan cardigan yang belinya dari pasar tumpah juga. Aku belum berani buka pintu, takut Bang Panjul masih ada di baliknya.
Eh, aku kini mendengar suara air jatuh dari keran ke ember. Karena jarak dari kamar ke air agak jauh, aku pun segera keluar dari kamar dan sekarang sembunyi di balik kursi secepat kilat.
***
Aku seperti kucing yang ingin buang hajat. Untung saja kursi dari kain, bukan dari kayu, jadi tubuhku bisa tersembunyikan. Kalaupun Bang Panjul balik lagi ke kamar, aku akan pura-pura dari dapur juga. Tapi, aku curiga, dia akan ke kamar Mbak Widya.Dan kini batang hidung Bang Panjul sudah terlihat. Dia kembali dari kamar mandi, tapi airnya masih terdengar berjatuhan. Dia tidak menutup kerannya, hingga aku pun benar-benar heran. Apa yang aku lihat sekarang? Dia berjinjit pelan ke arah kamar Mbak Widya. Astaghfirullahaladzim!Aku sampai sesak melihatnya. Posisiku yang jongkok takut ketahuan ini pun sekarang agak merangkak. Dia benar-benar kulihat masuk ke dalam kamar Mbak Widya. Sadis, ini adalah pemandangan yang begitu menyakitkan. Semprul kamu, Bang! Kamu semprul, Mbak.Berkali-kali aku mengelus dada beristighfar untuk menetralisir getaran tubuh yang kini sudah bisa dibilang guncangan. Lutut lemas, dada sesak, bola mata pun kini malah tanpa permisi berair. Bagaimana perasaan seorang
Geram aku dibuatnya. Saat ini lantas aku masih menggedor-gedor pintu kamar mandi. "Bang … Bang …." Suaraku sepertinya akan terdengar ke kamar Mbak Widya. Lihat saja, akan dari mana si Panjul muncul! Kakiku masih sakit, untung tidak sampai keseleo parah. Ini gegara emosi sampai kaki gremet lalu terkulai. Jatuhlah. Untung aku punya jurus lari marathon. Heurkh! Kalau digrebek sendiri, mereka pasti bisa melawanku. Harusnya nanti panggil RT saja. Setelah aku dapatkan di mana surat-surat warisan itu. Asetnya di mana pun aku tidak tahu. Astaga, Mbak Widya jahat sekali. "Bang … Abang di dalam, gak? Nur mau pipis!" Lagi aku berteriak. Belum ada jawaban sedikit pun. Mereka berdua pasti panik dan memyudahi aktivitas yang belum terjadi. "Bang, Nur buka, ya? Ini pengen pipis banget!" Mulut ini tak henti berteriak ngoceh. Lumayan panas di dadaku tersalurkan dengan teriakan ini. Namun, baru saja kuancam akan membukanya, tiba-tiba Bang Panjul muncul dari arah lain. Dia begitu kaget melihat ini.
Tiba-tiba Mbak Widya muncul. Dia sudah ganti kostum pakai piyama lengan pendek, juga rambutnya sudah agak semrawut. Ah, bisa sekali dia akting. Tadi pakai lingerie orange menyala, sekarang cling langsung seperti Jini Oh Jini ganti baju."Eh, Mbak, maaf ya, Mbak. Tadi aku mau ke kamar mandi, lama sekali Bang Panjul. Eh, malah nongol dari arah sana." Aku menunjuk ke arah pintu. Benar-benar ingin sekali kumakan mereka berdua mentah-mentah, tapi balik lagi, aku ini normal, hanya makan daging hewan saja. "Hadeuh, kamu ini, Nur! Berisik!" Mbak Widya marah."Maaf, Mbak. Maaf aku ganggu aktivitas tidur Mbak, ya. Namanya serumah ya gini, Mbak. Andai aku punya uang banyak, pasti akan aku belikan rumah besar, biar dari kamar ke kamar itu bisa pakek motor, Mbak, saking jauhnya. Ah, duit dari mana tapi." Sengaja aku ngoceh halu seperti burung beo. Aku selalu begitu terlihat udik sekali pasti di pandangan Bang Panjul. Bodo amat, tapi dengan begini, mereka pasti akan terus berpikir aku ini bodoh se
"Eh, Nur, masuk, Nur, masuk!"Aku sudah sampai di kediaman Pak RT dan Bu RT. Disapanya langsung dan dipersilahkan masuk oleh Bu RT, karena Pak RT sedang keluar katanya. Aku gerak cepat ingin tahu asal-usulku sebenarnya. Seingatku, sejak kecil aku memang tinggal di sini. Tanya ke tetangga dekat, mereka juga hanya tahunya Mbak Widya anak dari ibu dan bapak saja. Entah bagaimana ceritanya. Dan kebanyakan di sini tetangga baru, bukan orang asli sini."Ada keperluan apa, Nur? Tumben kemari?" Bu Ida langsung bertanya pada inti kedatanganku. Dia usianya di atas almarhumah ibu, jadi pasti tahu asal-usul Mbak Widya."Begini, Bu, maaf. Nur sebenarnya …."Begitu panjang lebar aku bertanya mengenai Mbak Widya dan almarhum orang tua. Dan aku juga menunjukkan sebuah foto yang usang dan sudah luntur itu pada Bu Ida.Benar-benar ingin kuketahui kebenarannya. Siapa pria itu? Kalau di foto anak kecil itu aku, jelas bukan, bola matanya bukan aku, apalagi hidungngnya. Jelas itu mirip Mbak Widya."Nur, i
Balik ke rumah emosiku bukannya meredam tapi malah semakin tersundut. Harta almarhum bapak masih ada? Dan aku anaknya sama sekali tidak tahu? Kehidupan apa ini?Mbak Widya dan Bang Panjul sudah keluar selama tiga jam, mereka satu pun belum ada yang kembali. Tapi, baru saja aku selesai masukannya beras untuk dimatangkan, tiba-tiba Mbak Wdiya pun pulang."Nur, Nur!" Dia meneriakiku."Apa, Mbak?"Dan begitu terkejutnya aku. Mbak Widya pulang dengan kantong-kantong belanjaannya. Dapat duit sebanyak itu dari mana dia? Dari Bang Panjul?"Belanja, Mbak?" heranku. Menyelidik jati dirinya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Rambutnya juga sudah berganti model."Nur, sebentar lagi Mbak mau ajak kamu pindah rumah. Rumah ini boleh dijual ya? Karena Mbak udah punya rumah baru yang bagus. Biar agak luas."Jleb!"Rumah baru?" Aku terkaget-kaget bukan main. Uangnya dari mana?"Iya, Nur. Mbak dapat rezeki. Dapat lotre, ditambah uang tabungan Mbak yang cukup untuk beli rumah. Gimana?"Kalimatnya ba
"Mbak, bukannya tadi suruh aku cepet-cepet ya? Mbak masih ngapain?" Kami akan segera pindah, ya mau bagaimana lagi, rumah ini sudah dijual dengan harga yang aku ketahui. "Iya, sebentar. Kamu sana dulu!" Dia mengusirku. Bukannya sibuk ikut bawa barang, ini malah diam di belakang rumah. Sedang apa pula dia? Jangan-jangan ada sesuatu."Ayok, Mbak!" Aku coba memaksa."Kamu dulu ke sana. Mbak lagi ini … lagi cari sesuatu. Oiya, barang Mbak masih ada di kamar Beberapa. Angkatin gih!" Dia menyuruhku lagi. Penasaran, sebenarnya apa yang ingin dia lakukan?"Iya deh, Mbak, iya. Cepetan ya, Mbak. Bukannya Mbak yang maksa kita pindah," ujarku sedikit kesal."Iya, iya, sana kamu, Nur!" Alhasil aku pun pergi saja. Tapi, hanya pura-pura. Ingin kuselidik apa yang sebenarnya yang Mbak Widya cari. Namun, yang kulihat Sekarang dia itu bukan sedang mencari. Seperti ada sesuatu di tangannya, dan dia juga seperti memegang korek api.Degh!Hatiku sudah lebam dengan kecurigaan yang tiada akhir. Begitu kag
Jleb!Begitu kagetnya dengan aksara yang berjejer rapi di kertas. Bola mata ini membelak mengetahui ini semua. Aku tak tahu ini tulisan siapa.… anakmu. Maafkan aku yang tidak bisa membiayainya. Suamimu sekarang orang kaya, pasti Widya bisa sekolah sampai SMP setidaknya. Jangan mencariku, aku sudah tak mau lagi hidup denganmu Ningsih. Aku juga sudah menikah lagi. Widya itu anakmu saja, bukan anakku. Aku gak mau akui dia.EndangItu isi di surat yang lebih dari separuhnya sudah terbakar. Jadi aku hanya bisa membaca ujungnya saja. Jadi kami memang bukan saudara sebapak? Ini adalah bukti yang membuatku semakin yakin. Ibu ditinggal suaminya yang pertama? Masya Allah.Lalu, ada secarik kertas lagi. Dan ini hanya terbakar seperempatnya. Ya Gusti, untung aku cepat menginjak api, jadi tidak sampai terbakar kertasnya.… ke kamu, karena kamu istri yang baik. Usia siapa yang tahu ya, Win. Jaga anak kita, dan aku menitipkan harta untuk Nurul. Abang menulis ini karena perasaan Abang kurang enak.
"Sayang, Abang pengen."Bang Panjul menghampiri ke kamar baru ini. Dia sepertinya sudah selesai menyeruput kopi. "Pengan apa, Bang?" tanyaku balik. Ini malam kedua di rumah ini. Badan juga masih ringsek setelah beres-beres. Baru beres hari ini. Rumah ini lumayan kotor di pojok-pojoknya. "Pengan anu dong, Yang," jawabnya sok manja.Entah bagaimana aku harus menolak karena jijik pada pria itu. Bu Ustazah bilang nolak suami itu dosa, tapi suami yang bagaimana? Borok-borok ingin berhubungan, melihat wajahnya saja kadang asam lambung kumat tanpa permisi.Ini seharusnya jadwal datang bulan. Aku harap, si tamu merah tiba. "Sebentar, Bang," ujarku karena tadi juga bawah perut sudah mules. Seperti biasa kalau ada tamu, pasti agak mules, dan pinggang juga serasa copot. Kuharap bukan hanya efek dari kerja berat tadi.Dan ternyata Dewi Fortuna, seperti apa kata di film berpihak. Benar saja, tamu merah ternyata sudah datang, namun warnanya masih agak gelap. Ada kesenangan tersendiri atas tamu in