Share

Tentangan Sahabat

"Kamu yakin Vi, sama keputusanmu?" Fadil menatapku tak percaya. Aku mengangguk. Aku baru saja mengatakan padanya untuk berhenti kuliah. Dan lihatalah reaksi sahabatku ini, dia kaget? Tentu saja. Tapi kubiarkan saja dia dengan pikirannya. Aku memilih menatap langit bertabur bintang yang rasanya lebih indah dari malam-malam kemarin. Seulas senyum terbit di bibirku. Ah, semenjak mas Rendi melamarku, dunia rasanya semakin berwarna.

"Karena apa?" Pertanyaan Fadil menghentikan lamunanku. Aku menoleh, nada suaranya terasa berbeda.

Dari sorot matanya, aku rasa dia kecewa dengan keputusanku untuk drop out dari kampus. Tanganku meraih kaleng minuman dingin yang sedari tadi menemani obrolan kita.

Pemuda disampingku ini tertegun. Menatapku lama, tatapan yang sebenarnya sempat menggetarkan hatiku. Tapi itu dulu ya, aku sadar diri, perbedaan kita terlalu jauh. Dia berasal dari keluarga yang kaya, terhormat, dan ... pokoknya segalanya deh. Dan aku? Hmm, hanya sebatas gadis yang sering terseok-seok masalah hidup. Aku mendehem pelan. Kembali meletakkan kaleng minumanku di samping.

Fadil ini temanku dari SMP dan SMA. Dia sebenarnya tinggal di ibu kota Jakarta, namun Fadil memilih ikut neneknya karena orang tuanya yang super sibuk, dan membuatnya tidak terurus. Pada akhirnya Fadil bersekolah di SMP dan SMA yang sama denganku. 

Dan kini, entah kebetulan atau tidak, kita kuliah di kampus yang sama. Kami cukup dekat, mungkin karena kebetulan-kebetulan tersebut, atau karena kenal lama.

"Aku akan menikah, Dil," ujarku, menyebutkan alasanku drop out. Aku yakin Fadil akan bertambah kecewa mendengar alasanku.

"Dengan pria yang namanya Rendi itu?" Aku mengangguk. Aku memang sering bercerita dengan Fadil mengenai mas Rendi. Fadil membuang napas kasar.

"Tapi kenapa harus berhenti kuliah, Via .... Dia 'kan bisa membiayaimu selepas nikah?" 

"Mungkin dia tidak mau aku pusing Dil. Tahu sendiri kan. Kuliah itu pusing."

Kulirik Fadil diam, dia membuang wajahnya kearah lain. Fadil aneh, kan yang mau nikah aku, kenapa dia yang kelihatannya berat?

"Kamu gak merasa aneh dengan si Rendi itu?"ujanya lagi, menatap manik mataku, menanyakan keputusanku.

"Ya gak lah Dil. Mas Rendi itu baik banget. Dan aku percaya, dia akan menjadi suami yang bertanggung jawab," ujarku yakin, aku senyum-senyum sendiri. Ah, bagaimana bisa mencurigai pria sebaik mas Rendi. Fadil terlalu over. Aku saja sudah tidak sabar membayangkan kehidupan yang akan aku jalani dengan mas Rendi nanti. 

"Tapi Vi ... aku rasa ...."

"Udahlah Dil. Percaya aja sama aku. Aku bahagia kok. Harusnya kamu kasih semangat dong sama temen yang satu ini. Bentar lagi kita pisah lo. Aku bakal ikut mas Rendi." 

Fadil menghela napas. Dan mengangguk pada akhirnya.

"Baiklah. Jika itu sudah jadi keputusanmu. Semoga kamu bahagia, Vi," lirihnya.

"Unch. Jadi terharu. Sini, peluk," ujarku melebarkan tanganku. 

"Fyuh!" Fadil membalasku dengan memelukku.

"Jaga diri disana. Hubungi aku jika ada yang menganggumu."

"Kok ngomongnya gitu si? iya iya. Aku bakal ngubungin kamu kok. Jaman kan sudah canggih. Kita tetep bisa berhubungan, layaknya teman." Fadil mengangguk. 

"Kapan pernikahanmu?"

Aku mengangkat dua jariku.

"Dua minggu lagi. Bapak sama ibu setuju. Yah meski sebenarnya agak sayang si, karena aku harus berhenti kuliah. Tapi mereka seneng kok, karena mas Rendi orang yang baik. Dewasa lagi," ujarku sambil tersenyum, entah setiap membicarakan mas Rendi, rasanya pipiku memanas. 

Fadil mengangguk.

"Bagus dong," ujarnya singkat dan datar.

Aku menoleh, Fadil. Huh. Bahkan jawabannya bisa sesingkat itu. Dasar, sikap dinginnya mulai keluar lagi nih kayaknya.

"Ya udah deh. Aku pulang dulu Dil. Jangan lupa datang ya." Fadil lagi-lagi hanya mengangguk.

"Aku pulang. Bye."

Aku melambaikan tangan. Ck. Bahkan dia tak membalas lambaian tanganku.

Lihat aja, kamu pasti bakal merindukan sahabat seperti aku. Setelah aku nikah nanti. Lihat aja Fadil.

Aku bersenandung dalam perjalanan pulang ke kontrakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status