Share

Kejutan Pertama

Singkat cerita, aku dan mas Rendi resmi menikah. Sayangnya, kata mas Rendi orang tuanya tidak bisa datang. Aku memakluminya. Karena memang jarak yang sangat jauh.

Sama sepertiku, mas Rendi juga merupakan perantau. Aku di ujung selatan pulau Sumatera, sedangkan mas Rendi berasal dari ujung pulau Jawa. Kami bertemu di sebuah kota di Jawa Barat.

Untuk akad nikahnya, kami mengadakan di kediamanku. Dan selama seminggu, mas Rendi izin cuti dari kerjanya.

Kini, setelah menikah, aku ikut ke mes, tempat tinggal mas Rendi selama bekerja.

"Vi, Bulan depan kita pulang ya," ajak mas Rendi.

"Maksud mas kerumah orang tua mas Rendi?" Mas Rendi mengangguk.

Aku melonjak senang. Akhirnya, aku akan bertemu dengan mertuaku juga. Tapi degdeg-an juga sih, ada perasaan khawatir. Bagaimana jika mereka kurang menerima kedatanganku? Apalagi, aku sering mendengar cerita dari teman-teman perempuan di mes. Katanya mereka lebih memilih tinggal di mes daripada bersama mertua. Tapi tetap saja, aku ingin bertemu mertuaku.

Tapi semoga saja cuma asumsi mereka saja. Harusnya, memberiku semangat dan doa yang baik-baik saja. Bukan malah menakutiku.

"Apapun yang terjadi disana, mungkin gak sesuai dengan bayanganmu. Kamu jangan kaget ya," Aku mengangguk. Mas Rendi seakan tahu apa yang aku pikirkan. Atau, dia memang mendengar ucapan para istri teman-temannya itu. Pria kekar itu membawaku dalam dekapannya. Dan pastinya, aku dengan senang hati membalas pelukannya.

Tidak selamanya apa yang kita bayangkan bakal terjadi. Tapi, berawal dari pikiran buruk, bisa saja menjadi doa. Ah, semoga saja hatiku yang mulai ikut khawatir itu tidak terjadi apa-apa.

******

Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Mas Rendi dapat jatah liburan. Kami berkemas membawa barang-barang kami. Karena rencananya aku akan pindah dirumah sana bareng mertua. Aku menurut. Aku istri yang baik 'kan? Pastinya dong.

Aku memasukkan baju kedalam koper besar. Untung saja bajuku tidak terlalu banyak. Apalagi mas Rendi, bajunya cuma beberapa. Beres. Aku meletakkan koper dipojok kamar.

"Kita pulang kerumah bapak ibu dulu gak mas?"

Mas Rendi menggeleng.

"Gak usah. Nanti malah bolak balik lagi, tambah repot dan memakan biaya juga, Vi. Nanti kamu telpon aja."

Aku mengangguk. Sebenarnya aku pengen pamitan dulu, tapi bagaimana lagi. Ikut kata suami. Lagi pula lebih hemat tenaga, waktu dan biaya juga.

Malam itu juga aku menelepon keluarga dirumah dan sekalian berpamitan. Dan juga tak lupa pamitan dengan sahabatku Fadil.

-

-

Kami duduk di halte dengan barang menumpuk di depan kami, kami menunggu bis datang. Mas Rendi memilih memakai bis dari pada naik pesawat. Biar menikmati perjalanan katanya. Padahal jauh banget. Tapi baiklah.

Bis datang.

Kami menaiki bersama dengan penumpang lain yang akan bepergian juga.

Awal perjalanan, aku masih bersemangat, tapi lama lama aku kecapekan dan tidur dibahu mas Rendi.

-----

"Masih lama Mas?" Aku menatap mas Rendi lesu, rasanya badanku pegal-pegal. Ini sudah dua hari, gonta ganti bis dan juga menginap di masjid. Ternyata perjalanan sejauh ini.

Mas Rendi diam saja.

Baiklah. Aku sudah bosan tidur. Aku menatap pemandangan diluar. Asing. Selama ini perjalan terjauhku yang di Tangerang. Itupun karena kuliah.

Baru dua hari saja rasanya aku rindu kampung halamanku, teman temanku, kampus, dan Fadil. Hmm , ternyata rindu itu secepat ini hadir.

Dalam perjalanan ini, sepertinya memoriku terulang , memutar kisah perjalananku selama ini. Dan akhirnya tanpa sadar aku tertidur lagi.

*****

"Vi, Via!"

Aku melenguh pelan. Sebuah tepukan lembut mendarat dipipiku. Aku membuka mata samar.

"Kenapa mas? Via masih ngantuk."

"Kita udah sampai." Aku membuka mata lebar.

"Beneran mas?" tanyaku antusias. Mas Rendi mengangguk. Aku menoleh ke luar semangat. Wah! ini lah tempat yang akan menjadi tempat tinggalku. Aku menghirup udara dan menghembuskannya pelan.

"Huft, santai Via," ujarku menenangkan diri.

"Ingat pesan ku Vi, Apapun yang terjadi. Jangan kaget."

Aku mengangguk.

Mas Rendi mengajakku turun. Dan membawa koper dan barang barang kami turun. Aku celingak celinguk, mencari jemputan.

"Gak ada yang jemput Vi, pada sibuk," jelas mas Rendi. Aku mengangguk. Ah, mungkin mereka sedang menyiapkan pesta penyambutan untuk kami. Aku tersenyum bahagia.

Kami menyewa ojek dan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, kami masuk di sebuah desa yang jalannya cukup jelek. Akhirnya setelah menempuh perjalan yang cukup menguras tenaga karena jalannya yang jelek, sampailah kami di depan sebuah rumah berwarna hijau, mas Rendi menghentikan langkahnya. Aku mengernyitkan dahi. Kok sepi?

Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah

"Kamu pulang nak?" ujarnya tersenyum. Namun senyumnya memudar saat melihatku.

"Dia siapa?"

Aku tersenyum. Hendak mengulurkan tangan. Tapi tidak ditanggapi. Aku menarik tangan lagi kecewa, menoleh kearah mas Rendi, ayo dong mas. Kenalkan. Masak sama menantu sendiri tidak kenal.

"Helen mana, Ma?"

Helen? Siapa maksud mas Rendi. Kenapa dia yang ditanyakan. Ah, mungkin itu nama adiknya. Namun ....

"Mas Rendi aku kangen." Seorang wanita cantik dengan usia sebaya dengan mas Rendi keluar dari rumah dan langsung memeluk erat mas Rendi. Aku menatap bingung. Belum bisa memahami situasi.

"Siapa dia, Mas?" tanyanya, menatapku aneh. Aku tersenyum, bermaksud mengenalkan diri, namun keburu dipotong mas Rendi

"Dia Via. Istriku." Aku tersenyum

"Apa! Istri?!" teriak ibu mertua dan wanita itu.

"Kamu menikah lagi mas?" Aku menganga. Menikah lagi. Apa maksudnya ini, mas Rendi?

Aku menoleh pada mas Rendi. Meminta penjelasan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status