Sekarang urusan nyapu, nyuci piring, baju, memasak dan urusan rumah tangga kamu yang kerjakan!" ucap mbak Helen sambil melempar baju miliknya. Aku yang sedang menyuci baju mendongak."Tapi mbak, tidak bisa seperti itu." tolakku. Apa mereka pikir aku mampu mengerjakan semua sendirian. Aku kan hanya punya dua tangan."Terus kamu kira, aku yang harus mengerjakan semua ini? Sory. Aku gak level dengan pekerjaan seperti ini," tolaknya."Ada apa si sayang?" mama mertua mendatangi mbak Helen."Ini mah, istri pilihan anak mama males kerja" Mama menatapku tajam. "Ingat. Kami tidak menerima kamu sampai kapanpun. Kerjakan pekerjaan disini jika kamu masih ingin tinggal." Aku mengusap keringat didahiku. Emang selama ini siapa yang mengerjakan pekerjaan ini, kenapa mereka sok sekali seolah tak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangganya."Gimana sayang, kamu sudah pecat si Surti?" Mbak Helen mengangguk. Mengangkat jempolnya."Beres, Ma. Buat apa membayar pembantu kan? kalau nyatanya mas Rendi malah
"Apa apaan ini, kenapa njemurnya gak sekalian? Mentang mentang ini bajuku semua. Kamu mau menyuruh orang tua ini menjemur pakaiannya sendiri? Hah!""Bukan gitu, Bu, aku ...""Halah alesan. Bilang saja kamu pemalas. Tidak ada hormat hormatnya sama sekali sama orang tua."Aku memejamkan mata mendengar omelannya. Menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Rasanya kepalaku pening mendengar ocehan seperti ini."Sabar," desisku lirih. Aku mengecilkan setrika. Dan keluar."Kerja tuh yang bener. Kerja kok setengah setengah!" Aku diam saja mendengar omelan ibu. Lalu mengambil baju satu persatu dan menjemurnya. Mengabaikan ocehannya yang mungkin sudah sepanjang sungai Nil di Mesir san. Aku menulikan telingaku. Sesekali tuli untuk hal yang gak penting juga perlu kan?"Dasar pemalas," ujarnya yang sempat mampir ditelingaku. Aku memeras baju kuat kuat. Menahan emosi. "Yang pemalas itu, menantu pertamamu. Bukan aku." Aku menggerutu, kesal."Eh eh, bilang apa kamu tadi?"Aku menoleh. Terperanjat
"Ma, aku ikutan arisan ibu-ibu kompleks ya. Boleh, kan?" Aku bertanya ketika makan malam tiba. Ya, tadi aku selintas dengar mereka sedang membahas arisan yang akan dimulai sebentar lagi. Lumayan kan, siapa tahu dari situ aku lebih banyak mengenal ibu-ibu disini. Rasanya membosankan tidak ada yang dikenal. Satu-satunya yang kukenal dekat hanya mas Rendi. Tapi dianya malah entah kemana."Buat apa? Ngabisin duit aja kamu tuh, pake ikutan arisan segala." Cueknya dengan masih setia melahap makanannya."Gak ngabisin duit kok, Ma. Arisan kan sama saja nabung. Lagipula mungkin dari ikut arisan Via punya banyak teman.""Biar apa? Biar mereka tahu kalau kamu itu pelakor?" Mbak Helen menyolot, menyentakkan sendoknya kepiring. Lirikannya menatapku julid."Gak mbak. Aku bukan pelakor. Aku juga istri sahnya mas Rendi. Aku kan tahu kalau sebelumnya mas Rendi sudah pernah menikah. Kalau tahu, ya mungkin gak begini kejadiannya.""Halah! Jadi pelakor pun masih gak mau ngaku j
"Uh, cantiknya anak mama." Mbak Helen tersenyum puas. Melenggokkan tubuhnya, berpose ala model. Dan tertawa-tawa dengan mama.Dari dapur aku mencuri-curi pandang. Mbak Helen terlihat modis dengan dress pendek diatas lutut warna merah, tas merah, sepatu merah dan lipstik merah menyala. Semua serba merah. Tak lupa dengan aksesoris anting, kalung dan gelang ditangannya. Rambut pirang bergelombangnya dibiarkan tergerai.Aku menatap kagum. Cantik sekali. Cocok dengan kulit putihnya yang nampak berkilau. Beda denganku yang kumal dan selalu berkutat dengan urusan dapur, ditambah lagi malas skincare-an. Bukan malas sebenarnya, tapi gak ada waktu dan uang."Udah, Ma.Helen berangkat dulu.""Iya sayang. Hati-hati." Mama mencium pipi kanan-kirinya mbak Helen. Mbak Helen melangkah anggun dan sebelumnya melambai ke mama. Aku mendecak kagum. Bahkan langkahnya terlihat elegan. Mas Rendi sudah punya istri secantik mbak Helen kenapa masih menikahiku
"Hati hati, Ma." Aku mendudukkan mama dipinggir ranjangnya. Mama meringis kesakitan. Jelas saja, jatuhnya tadi keras sekali. Pasti sakit tuh pantat.Sebenarnya dalam hati aku ingin menertawakan. Senjata makan tuan. Aku sudah menduga, mamalah yang sengaja menumpahkan deterjen cair itu kelantai, supaya aku yang terpeleset. Tapi mungkin karena dia lupa, malah terkena sendiri."Mama tunggu sebentar, ya," lalu ke kamar. Mengambil balsam di laci lemariku, dan kembali lagi ke kamar mama. Mama meringis kesakitan. Diam-diam aku mengulum senyum tipis. Maaf, bukan durhaka. Hanya saja menertawakan nasib mama yang salah sasaran. Aku berjongkok, memijit pergelangan kaki mama yang sebelah kanan."Aw! Pelan-pelan Via. Kamu sengaja ya, biar mama kesakitan kan?" omelnya kesal."Gak, Ma. Via cuma pelan kok. Ini udah hati-hati banget loh. Keseleonya parah kali, Ma. Makanya mama kesakitan." "Masak sih, masak gitu aja sampek parah?" ujarnya tak percaya.
"Gak bisa, Ma. Mereka sudah nunggu lama""Kamu berani mbantah mama ya, baru saja dimintai tolong belagu." Bahkan dalam keadaan sakit juga masih egois. Aku menggeleng kepala. Heran.Mama mulai mengangis. Ya tuhan, inikah sisi lain dari mama yang galak itu."Ibunya kenapa mbak?" Seorang ibu mencolek pundaknya."Keseleo bu.""Oh." Ibu itu manggut-manggut. Meski tatapannya masih heran. Mungkin bingung, cuma keseleo tapi bisa sehisteris itu. Anaknya yang masih berusia sekitar 5 tahun itu bahkan melihat mama tak berkedip.Akhirnya, setelah bosan mendengar mama yang menangis meraung-raung, tiba juga giliran kami periksa. Sebenarnya nomor antrian itu sengaja aku berbohong. Hanya untuk mengerjai mama saja. Aku memapah mama untuk masuk keruang dokter."Dokter, tolong saya. Huhu..."Aku menepuk dahi."Iya bu, tenang dulu. Apa keluhan sakit yang ibu rasakan?""Kaki saya keseleo dok, tolonglah, obati, tapi jangan sampai dipoto
Pigura pernikahan tadi menggangguku. Aku semakin penasaran dengan dengan yang terjadi pada keluarga ini. Rasanya penuh misteri.Diam-diam, saat mama sudah tidur, aku keluar. Awalnya aku tidak tahu, kemana harus mencari informasi. Tapi, sepertinya nasib baik berpihak padaku. Aku bertemu dengan ibu-ibu yang waktu itu. Samar-samar kuingat namanya, selain bu Dita tentu saja. Ada diantaranya bu Sita dan bu Rita."Eh, Vi! Sini, metis bareng-bareng." bu Dita yang melihat keberadaanku melambaikan tangan, memanggil. Kuulas senyum dan menghampiri mereka, ikut bergabung, meski rasanya masih canggung."Ibu peri mana? Kok gak kelihatan?" tukas bu Dita. Aku mengerutkan dahi."Itu loh, mertuamu. Kemana dia?" jelas wanita yang kuingat namanya Rita."Ah, itu ... Mama sakit, Bu," kuulas senyum."Sakit apa?" "Keseleo. Tadi pagi jatuh."Ketiga ibu-ibu itu saling lirik."Kasian sekali." Hanya itu reaksi mereka."Ayo, dimakan lutisnya. Keburu habis
"Helen? Tidak. Dewi itu ibunya Helen."Oh, pantas saja. Mama begitu menyayangi mbak Helen. Kalau begitu, mas Rendi yang yatim piatu. Tapi, kenapa waktu itu dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Malah, mas Rendi bilang, keluarganya sedang sibuk sehingga tidak bisa datang. Atau, memang keluarga yang dia maksud itu ya istri dan mertuanya. Aku kembali merutuki kebodohanku yang kurang teliti. Rasanya menyakitkan sekali. Tertipu untuk kesekian kalinya."Jangan-jangan kamu mengira kalau Dewi itu ibunya Rendi, ya, Vi?"Aku mengangguk."Rendi benar-benar ... Tega sekali dia menipu gadis sepolos kamu, Vi. Mentang-mentang yang gadis belum pengalaman, enak saja dia main tipu," gerutu bu Rita emosi. Mengoret-oret lemper sebagai pelampiasan. Mulutnya yang kepedasan semakin tersengal. "Pokoknya gak usah nurutin Helen sama mamanya. Mereka bukan siapa-siapamu. Jangan mau kalau disuruh ngepel, nyapu, apalagi nyuciin baju mereka. Jangan mau. Gak sudi, gitu! Emangnya