"Ma, aku ikutan arisan ibu-ibu kompleks ya. Boleh, kan?" Aku bertanya ketika makan malam tiba. Ya, tadi aku selintas dengar mereka sedang membahas arisan yang akan dimulai sebentar lagi. Lumayan kan, siapa tahu dari situ aku lebih banyak mengenal ibu-ibu disini. Rasanya membosankan tidak ada yang dikenal. Satu-satunya yang kukenal dekat hanya mas Rendi. Tapi dianya malah entah kemana."Buat apa? Ngabisin duit aja kamu tuh, pake ikutan arisan segala." Cueknya dengan masih setia melahap makanannya."Gak ngabisin duit kok, Ma. Arisan kan sama saja nabung. Lagipula mungkin dari ikut arisan Via punya banyak teman.""Biar apa? Biar mereka tahu kalau kamu itu pelakor?" Mbak Helen menyolot, menyentakkan sendoknya kepiring. Lirikannya menatapku julid."Gak mbak. Aku bukan pelakor. Aku juga istri sahnya mas Rendi. Aku kan tahu kalau sebelumnya mas Rendi sudah pernah menikah. Kalau tahu, ya mungkin gak begini kejadiannya.""Halah! Jadi pelakor pun masih gak mau ngaku j
"Uh, cantiknya anak mama." Mbak Helen tersenyum puas. Melenggokkan tubuhnya, berpose ala model. Dan tertawa-tawa dengan mama.Dari dapur aku mencuri-curi pandang. Mbak Helen terlihat modis dengan dress pendek diatas lutut warna merah, tas merah, sepatu merah dan lipstik merah menyala. Semua serba merah. Tak lupa dengan aksesoris anting, kalung dan gelang ditangannya. Rambut pirang bergelombangnya dibiarkan tergerai.Aku menatap kagum. Cantik sekali. Cocok dengan kulit putihnya yang nampak berkilau. Beda denganku yang kumal dan selalu berkutat dengan urusan dapur, ditambah lagi malas skincare-an. Bukan malas sebenarnya, tapi gak ada waktu dan uang."Udah, Ma.Helen berangkat dulu.""Iya sayang. Hati-hati." Mama mencium pipi kanan-kirinya mbak Helen. Mbak Helen melangkah anggun dan sebelumnya melambai ke mama. Aku mendecak kagum. Bahkan langkahnya terlihat elegan. Mas Rendi sudah punya istri secantik mbak Helen kenapa masih menikahiku
"Hati hati, Ma." Aku mendudukkan mama dipinggir ranjangnya. Mama meringis kesakitan. Jelas saja, jatuhnya tadi keras sekali. Pasti sakit tuh pantat.Sebenarnya dalam hati aku ingin menertawakan. Senjata makan tuan. Aku sudah menduga, mamalah yang sengaja menumpahkan deterjen cair itu kelantai, supaya aku yang terpeleset. Tapi mungkin karena dia lupa, malah terkena sendiri."Mama tunggu sebentar, ya," lalu ke kamar. Mengambil balsam di laci lemariku, dan kembali lagi ke kamar mama. Mama meringis kesakitan. Diam-diam aku mengulum senyum tipis. Maaf, bukan durhaka. Hanya saja menertawakan nasib mama yang salah sasaran. Aku berjongkok, memijit pergelangan kaki mama yang sebelah kanan."Aw! Pelan-pelan Via. Kamu sengaja ya, biar mama kesakitan kan?" omelnya kesal."Gak, Ma. Via cuma pelan kok. Ini udah hati-hati banget loh. Keseleonya parah kali, Ma. Makanya mama kesakitan." "Masak sih, masak gitu aja sampek parah?" ujarnya tak percaya.
"Gak bisa, Ma. Mereka sudah nunggu lama""Kamu berani mbantah mama ya, baru saja dimintai tolong belagu." Bahkan dalam keadaan sakit juga masih egois. Aku menggeleng kepala. Heran.Mama mulai mengangis. Ya tuhan, inikah sisi lain dari mama yang galak itu."Ibunya kenapa mbak?" Seorang ibu mencolek pundaknya."Keseleo bu.""Oh." Ibu itu manggut-manggut. Meski tatapannya masih heran. Mungkin bingung, cuma keseleo tapi bisa sehisteris itu. Anaknya yang masih berusia sekitar 5 tahun itu bahkan melihat mama tak berkedip.Akhirnya, setelah bosan mendengar mama yang menangis meraung-raung, tiba juga giliran kami periksa. Sebenarnya nomor antrian itu sengaja aku berbohong. Hanya untuk mengerjai mama saja. Aku memapah mama untuk masuk keruang dokter."Dokter, tolong saya. Huhu..."Aku menepuk dahi."Iya bu, tenang dulu. Apa keluhan sakit yang ibu rasakan?""Kaki saya keseleo dok, tolonglah, obati, tapi jangan sampai dipoto
Pigura pernikahan tadi menggangguku. Aku semakin penasaran dengan dengan yang terjadi pada keluarga ini. Rasanya penuh misteri.Diam-diam, saat mama sudah tidur, aku keluar. Awalnya aku tidak tahu, kemana harus mencari informasi. Tapi, sepertinya nasib baik berpihak padaku. Aku bertemu dengan ibu-ibu yang waktu itu. Samar-samar kuingat namanya, selain bu Dita tentu saja. Ada diantaranya bu Sita dan bu Rita."Eh, Vi! Sini, metis bareng-bareng." bu Dita yang melihat keberadaanku melambaikan tangan, memanggil. Kuulas senyum dan menghampiri mereka, ikut bergabung, meski rasanya masih canggung."Ibu peri mana? Kok gak kelihatan?" tukas bu Dita. Aku mengerutkan dahi."Itu loh, mertuamu. Kemana dia?" jelas wanita yang kuingat namanya Rita."Ah, itu ... Mama sakit, Bu," kuulas senyum."Sakit apa?" "Keseleo. Tadi pagi jatuh."Ketiga ibu-ibu itu saling lirik."Kasian sekali." Hanya itu reaksi mereka."Ayo, dimakan lutisnya. Keburu habis
"Helen? Tidak. Dewi itu ibunya Helen."Oh, pantas saja. Mama begitu menyayangi mbak Helen. Kalau begitu, mas Rendi yang yatim piatu. Tapi, kenapa waktu itu dia tidak mengatakan yang sebenarnya. Malah, mas Rendi bilang, keluarganya sedang sibuk sehingga tidak bisa datang. Atau, memang keluarga yang dia maksud itu ya istri dan mertuanya. Aku kembali merutuki kebodohanku yang kurang teliti. Rasanya menyakitkan sekali. Tertipu untuk kesekian kalinya."Jangan-jangan kamu mengira kalau Dewi itu ibunya Rendi, ya, Vi?"Aku mengangguk."Rendi benar-benar ... Tega sekali dia menipu gadis sepolos kamu, Vi. Mentang-mentang yang gadis belum pengalaman, enak saja dia main tipu," gerutu bu Rita emosi. Mengoret-oret lemper sebagai pelampiasan. Mulutnya yang kepedasan semakin tersengal. "Pokoknya gak usah nurutin Helen sama mamanya. Mereka bukan siapa-siapamu. Jangan mau kalau disuruh ngepel, nyapu, apalagi nyuciin baju mereka. Jangan mau. Gak sudi, gitu! Emangnya
Aku masih penasaran, dimana gerangan ponselku? Mana mungkin bisa hilang begitu saja. Sementara, disini juga aku jarang keluar. Kecurigaanku terarah pada mas Rendi. Apa mungkin dia yang mengambilnya? Arh! Rasanya ingin aku maki pria itu. Setelah menikahiku, dan membawa ke tempat jauh ini, dia tega meninggalkan aku bersama madu dan ibunya."Heh! Via. Bangun!"Suara mbak Helen. Ku lirik jam dinding. Pantas saja, sudah setengah tujuh. Biasanya, jam segini aku sudah menyiapkan sarapan untuk mereka. Tapi, karena aku lebih memilih mencari ponselku, aku sama sekali belum keluar dari kamar. Seandainya, aku ingat nomor Fadil saja, mungkin aku bisa menemukan cara untuk kembali. Sayangnya, tak ada satupun nomor yang kuingat. Satu-satunya nomor yang terpatri jelas di kepalaku, hanya nomorku sendiri. Tapi, percuma saja. "Via! Denger gak sih kamu! Atau jangan-jangan masih tidur kamu, ya!" bentakan kembali terdengar dari luar. Aku menghentikan pencarian. "Iya, mbak."Begitu pintu ku buka, langsung
Semenjak ditawari ibu-ibu waktu itu, kini aku punya pekerjaan selingan. Tentunya hanya saat mendapat pesanan dari pelanggan kami beraksi. Aku juga banyak belajar membuat kue. Sesekali bereksperimen membuat bentuk-bentuk yang unik. Dan ternyata pelanggan menyukainya. Menyebar dari mulut ke mulut, hingga kini kami sering mendapat pesanan. Selain menyediakan untuk hajatan dan acara tertentu, kami juga menyediakan kue ulang tahun, tentunya sesuai dengan bentuk yang diinginkan pelanggan.Terhitung sudah berjalan hampir dua bulan berlalu. Mama dan mbak Helen sudah tahu dengan aktifitasku itu. Syukurlah, selama ini mereka tidak ambil pusing. Selama uang belanja tidak keluar dari kantong mereka, mereka diam. Padahal diam-diam, aku tetap mengambil uang celengan mama yang bagian bawahnya sobek lebar itu. Uangku aku tabung dan mengambil sekedar untuk makanku sendiri. Aku juga tidak ikut makan hasil dari mengambil uang mama tersebut. Salah sendiri, setiap hari mereka mintanya makan enak tapi tidak