Persendian Asty terasa lemas, bahkan foto itu sempat jatuh, syok, terkejut, dan juga kecewa telah menjadi satu. Bagaimana tidak kecewa, suami yang ia kira setia, rupanya telah mendua. Bisa-bisanya Evan menikah lagi dengan perempuan lain, dan perempuan itu adalah sahabat Asty, bahkan sahabat dekat.
"Jadi ini balasan kamu, Luna. Kebaikanku kau balas dengan kecurangan. Teganya kamu menikah dengan suami sahabat sendiri, di mana hati nurani kamu sebagai seorang wanita," desisnya. Asty mengambil foto itu lalu dengan cepat ia memotretnya. Satu bukti kebusukan Evan kembali ia dapat, setelah ini ia akan mencari kebusukan suaminya itu lagi."Apa mungkin testpack yang kemarin itu testpack Luna." Asty teringat akan testpack yang ia temukan di saku jas suaminya."Apa gara-gara aku belum bisa memberi mas Evan keturunan. Tapi kita baru saja menikah satu tahun, bahkan untuk orang lain ada yang sampai lima tahun baru diberi momongan," gumam Asty. Setelah itu ia kembali merapikan buku tersebut, tak lupa Asty juga menaruh kembali foto itu.Asty menenangkan hatinya terlebih dahulu, ia akan bersikap seperti biasa seolah-olah tidak mengetahui perselingkuhan suaminya itu. Asty akan mencari tahu, sejauh mana permainan suaminya, dan tentunya Asty harus menyiapkan hatinya. Karena mungkin kenyataan buruk yang akan ia terima dan lihat untuk ke depannya.Dua puluh lima menit kemudian, Asty sudah berada di mobil menuju ke kantor. Dalam perjalanan Asty tak henti-hentinya memikirkan tentang rahasia yang suaminya itu sembunyikan. Pernikahannya dengan sahabat sendiri, dan mungkin kejadian itu sudah lama. Asty menyunggingkan senyumnya, Evan memang pandai bersandiwara.Tidak butuh waktu lama, kini Asty sudah tiba di kantor, tanpa memberitahu suaminya terlebih dahulu. Asty bergegas masuk ke dalam ruangan suaminya, setibanya di sana terlihat Evan sedang duduk sementara tangannya berkutat pada papan keyboard. Menyadari akan kedatangan istrinya, Evan menghentikan aktivitasnya."Assalamu'alaikum." Asty berjalan menghampiri suaminya, lalu meletakkan map tersebut di atas meja."W*'alaikumsalam, makasih ya, Sayang." Evan tersenyum, lantaran berkas yang ia butuhkan kini sudah ada di tangan, dan semua itu berkat istrinya."Sama-sama, Mas. Ya udah, aku mau langsung .... ""Nggak duduk dulu." Evan memotong ucapan istrinya."Nggak deh, Mas. Soalnya aku mau ke rumah Luna, udah lama nggak ke sana." raut wajah Evan seketika berubah saat mendengar nama Luna."Oh, ya udah. Tapi jangan lama-lama ya." Evan berucap dengan gugup, wajahnya pun terlihat pucat pasi."Iya, aku nggak nginep kok, pasti pulang," sahut Asty dengan tersenyum. Setelah berpamitan, wanita dengan dress berwarna biru itu beranjak pergi dari ruang kerja suaminya."Semoga saja Asty tidak menemukan rumah Luna, ada benarnya juga Luna minta pindah rumah," batin Evan. Ia berharap semoga istrinya tidak menemukan rumah Luna yang sekarang.Kini Asty sudah ada dalam perjalanan menuju rumah Luna, entah kenapa jantung Asty terasa bergejolak. Tidak pernah terbayangkan jika sahabatnya kini telah menjadi madunya, madu yang tak pernah ia ketahuai. Asty menarik napas, dan membuangnya secara perlahan. Dalam hati ia terus berdoa agar diberi ketabahan dan kesabaran.Tidak butuh waktu lama, kini mobil Asty sudah berhenti di pelataran rumah Luna. Setelah itu ia beranjak keluar, lalu melangkahkan kakinya menuju teras. Rumah nampak sepi, bahkan seperti tidak ada penghuninya. Asty mencoba mengetuk pintu, tapi tidak ada sahutan."Kok sepi banget sih," gumamnya. Setelah itu Asty memutuskan mencari orang, untuk menanyakan di mana penghuni rumah tersebut."Maaf, Bu. Pemilik rumah yang ini di mana ya?" tanya Asty, pada seorang ibu yang berada di jalan."Rumah itu sudah kosong, Mbak. Yang saya dengar pemiliknya pindah ikut suaminya," jelas ibu itu."Oh, ya sudah. Terima kasih ya, Bu. Maaf mengganggu," ucap Asty. Ia tidak tahu harus kemana mencari keberadaan Luna."Iya, Mbak permisi." Ibu tersebut beranjak pergi. Begitu juga dengan Asty, ia juga memutuskan untuk pergi.***Malam telah beranjak, pukul sembilan malam Evan tiba di rumah Luna, malam ini ia sengaja pulang ke rumah istri mudanya terlebih dahulu setelah itu baru pulang ke rumahnya. Luna tersenyum bahagia saat melihat pria pujaannya sudah ada di depan mata, memang sudah dari tiga hari Luna merengek agar Evan mampir ke rumah."Sayang kamu pasti capek banget iya, kan. Mau mandi, atau makan dulu." Luna melingkarkan kedua tangannya di leher suaminya."Makan dulu aja deh, kebetulan udah lapar banget." Evan mencium kening Luna."Ya sudah aku siapin dulu ya." Luna melepaskan tangannya dan hendak pergi menuju meja makan, tetapi dengan cepat Evan mencegahnya."Mau kemana, hem?" tanya Evan. Tangan kanannya memeluk pinggang Luna."Mau nyiapin makan untuk kamu lah, katanya tadi lapar," jawab Luna."Aku maunya makan kamu." Evan mengangkat tubuh Luna, dan membawanya ke kamar. Luna hanya bisa pasrah, karena ia tahu apa yang Evan inginkan.Setibanya di kamar, Evan merebahkan tubuh Luna di atas ranjang dengan sangat hati-hati. Setelah itu, Evan melepas dasi yang melilit lehernya, Luna tersenyum, karena itu yang sudah sangat ia tunggu-tunggu sedari kemarin."Hati-hati ya, Mas. Ingat di sini ada buah cinta kita." Luna memberi peringatan kepada suaminya, seraya mengusap perutnya yang mulai membuncit."Iya, Sayang. Pasti hati-hati kok." Evan mengangguk, setelah itu mereka melakukan rutinitas seperti biasa saat keduanya bertemu.Satu jam telah berlalu, keduanya terkapar seraya mengatur napasnya yang masih ngos-ngosan, keringat membasahi tubuh mereka. Evan menoleh ke samping kiri dan tersenyum, begitu juga dengan Luna. Perempuan berambut pirang itu merasa sangat bahagia, Evan memang selalu bisa membuatnya tersenyum."Terima kasih ya, Sayang." Evan mencium kening Luna, dan menarik dalam dekapannya. Keduanya masih bersembunyi di bawah selimut yang tebal.Tiba-tiba saja ponsel Evan berdering, takut ada yang penting ia langsung meraih benda pipih miliknya itu. Detik itu juga mata Evan membuatnya sempurna saat melihat layar ponselnya. Satu panggilan vidio call masuk dari Asty---istrinya."Asty." Evan memandang Luna sesaat, setelah itu ia bangkit seraya memakai pakaiannya. "Ada apa, Mas?" tanya Luna dengan raut wajah bingung. "Asty video call." Evan menjawab seraya mengancingi kemejanya. "Terus kenapa, Mas buru-buru begitu. Udah biarin aja lah, nanti juga capek sendiri." Luna menarik tangan Evan agar pria itu kembali berbaring di sampingnya. "Asty bisa curiga, aku angkat dulu ya," ujar Evan. Berharap wanitanya itu mau mengerti akan posisinya saat ini. "Kenapa nggak kamu ceraikan aja sih, Mas. Jadi kita kan bebas," saran Luna. "Nggak bisa, soalnya uang yang buat hidupin kamu itu milik Asty. Tolong kamu ngertiin aku ya," terangnya. Sementara Luna hanya mengangguk setelah sejenak berpikir. "Kamu tunggu aku di sini ya, aku angkat telepon dulu." Evan keluar dari kamar dan memilih untuk duduk di ruang tamu. Setelah itu ia menggeser tombol berwarna hijau, untuk menerima panggilan dari Asty. [Assalamu'alaikum, Mas sekarang ada di mana? Kenapa lama banget sih angkatnya]
Evan melotot ke arah Rena, iya suara itu adalah suara Rena, sekretaris pribadinya. Sementara itu, Asty semakin tajam menatap suaminya, tanpa ia mencari dan meminta, kebusukan suaminya perlahan terbongkar. Asty yakin, jika Evan memiliki hubungan khusus dengan Rena, sekretaris pribadinya. "Kamu sekretaris suami saya kan?" tanya Asty. Ia berjalan menghampiri Rena. Tangannya terlihat gemetar saat Asty berjalan mengelilinginya. "Kamu tidak perlu gemetar seperti itu, saya nggak bakal gigit kok," ujar Asty, seketika Rena mendongak. "Sayang, kita .... ""Aku ada urusan sama dia, Mas. Udah, Mas duduk aja sama Erik." Asty memotong ucapan suaminya. Evan hanya menghela napas, dan akhirnya ia pasrah. "Nama kamu Rena." Asty kembali melempar pertanyaan untuk Rena. "Iy-iya, Bu." Rena mengangguk. Asty kembali berputar memperhatikan penampilan sekretaris suaminya itu. "Dia bukan sekretaris biasa, dan profesinya juga bukan hanya sebagai sekretaris, tetapi juga ada yang lain," batin Asty."Sudah be
Detik itu juga suasana mendadak hening, Asty menatap dua manusia yang ada di hadapannya secara bergantian. Ternyata tidak sia-sia mengikuti mobil suaminya yang keluar dari kantor. Asty sudah menduga jika suaminya pasti akan pergi ke rumah istri mudanya, dan ternyata dugaannya benar. "Asty kamu .... ""Kenapa? Kaget lihat aku sudah ada di sini." Asty memotong ucapan suaminya. Sejujurnya Evan tidak layak disebut sebagai suami lagi. Evan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, raut wajahnya terlihat panik dan juga gugup. Begitu juga dengan Luna. Mereka pasti tidak pernah menyangka jika Asty akan datang, dan Asty bukan wanita bod*h yang bisa dibohongi oleh suaminya. "Asty aku .... ""Stop, aku sudah tahu semua kebusukan kalian. Aku tidak nyangka, ternyata kalian itu sama saja ya. Dan kamu, Luna aku bahkan sudah menganggap kamu sebagai saudara, tapi ini balasannya. Hah, sahabat macam apa, yang tega menikam sahabatnya sendiri dari belakang." Asty memotong ucapan Luna. "Aku melakukan ini
Asty terdiam cukup lama, ia memandangi dua wanita yang kini berdiri di hadapannya itu. Baru semalam ia mendatangi Luna, dan sekarang dia datang dengan membawa ibu mertuanya. Asty yakin, perempuan itu pasti sudah mengadu kepada ibu mertuanya. "Mungkin tidak ada salahnya jika aku menerima mereka, dengan begitu aku akan lebih mudah untuk membalas perbuatan mereka. Aku akan buat mereka menyesal seumur hidup, terutama kamu, Mas. Kamu yang memulainya, dan kamu yang paling pertama akan merasakan bagaimana tersakiti," batin Asty, ia tersenyum saat membayangkan bagaimana reaksi mereka nanti. "Oh, jadi kalian akan tinggal di sini. Boleh sih, tapi nggak gratis ya, apa lagi di sini tidak ada pembantu. Awalnya aku memang ingin mencari pembantu, tapi karena kalian sudah datang. Nggak ada salahnya kalau .... " Asty sengaja menggantung ucapannya. Ia dapat melihat raut wajah kedua wanita itu yang sudah memerah, karena merasa geram. "Heh, kamu mau menjadikan pembantu iya!" bentak Lidya. Perempuan se
Keesokan harinya, pukul setengah tujuh Evan mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya, semalam Rena tidak bisa tidur lantaran bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin Rena mengubungi istri Evan, karena hal itu akan menimbulkan rasa curiga. Alhasil Rena memilih diam, dan mencoba mencari akal agar Evan bisa pulih kembali seperti sedia kala. "Semalam istri kamu nelpon-nelpon terus, sengaja nggak aku angkat. Soalnya aku bingung harus jawab apa, tidak mungkin kan aku bilang kalau kita ada di hotel." Rena menceritakan jika semalam Asty menghubungi nomor Evan. "Sekarang handphone aku mana." Evan meminta ponselnya. "Ini." Rena menyodorkan benda pipih itu, setelahnya ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Evan membuka ponselnya, ada puluhan panggilan tak terjawab, serta beberapa pesan. Satu persatu Evan membukanya, pesan lebih banyak Luna yang mengirim. Hanya ada tiga pesan yang Asty kirim. Dengan segera Evan membalas pesan-pesan tersebut. Setelah itu ia kembali meletakkan ponselnya, tenag
Malu, itu yang kini mereka rasakan, bukan hanya Evan dan Rena yang merasa malu, tetapi juga Asty. Beruntung Asty masih memiliki hati, jika tidak mungkin ia akan mengarak pasangan pezina itu. Namun, jika Asty melakukan itu, perusahaan akan ikut terkena imbasnya. Demi menjaga nama baik perusahaan, ia menutupi masalah itu dari orang lain. Asty sengaja memanggil dokter pribadinya untuk memisahkan mereka berdua. Butuh waktu lama, akibatnya Evan yang harus menanggung semua itu. Ada syaraf yang rusak, yang membuat junior milik Evan tidak bisa berfungsi seperti biasanya. Menyesal sudah tidak ada gunanya lagi, dan mungkin ini karma untuknya. Setelah kejadian itu, Asty terpaksa memecat Rena, perbuatannya sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Evan juga akan berhenti dari jabatannya, Asty akan mengambil alih perusahaan itu. Dan tentunya perceraian mereka tetap akan berlangsung. Tak peduli Evan yang terus memohon untuk tetap hidup bersama. "Asty." Evan memegang tangan Asty saat wanita itu hendak ban
"Aku Rena, calon istri mas Evan. Sekarang aku sedang mengandung anaknya." Rena memberikan hasil pemeriksaannya dari rumah sakit. Luna merebutnya dan langsung membacanya, detik itu juga ia terkejut setelah membaca hasilnya. Luna tidak menyangka jika Evan bisa berbuat hal buruk itu, rasanya sakit jika dihianati. Luna menatap tajam wanita yang sedang berdiri di hadapannya itu, yang tak lain adalah Rena. "Ok, kalian selesaikan saja ya urusan kalian ini." Asty memilih untuk masuk ke dalam. Ia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi pada mereka. Asty berdiri tak jauh dari mereka, ia ingin melihat apa yang akan terjadi. Sementara itu, Evan terlihat masih bingung, bagaimana tidak bingung, Rena datang dengan cara tiba-tiba, lalu meminta pertanggung jawaban. Sedangkan Luna belum tahu tentang hubungan mereka. Asty ingin tersenyum saat melihat ekpresi Evan yang kebingungan. Tiba-tiba Asty mendadak mual, mengingat suaminya itu yang sudah seperti piala bergilir. Bukan hanya satu wanita yang b
Panggilan telepon terputus, Evan menjatuhkan bobotnya di sofa. Lidya dan Luna yang melihat itu seketika ikut duduk di sebelah Evan. Evan memijit pelipisnya, ia tidak pernah menyangka kalau akan terjadi seperti ini. "Van ada apa?" tanya Lidya. "Butik kebakaran, Ma." Evan menjawab seraya mengusap wajahnya. Seketika dua wanita yang ada di sebelahnya terkejut. "Apa?! Kok bisa sih, Mas. Sudah ketemu apa belum pelakunya?" tanya Luna. Sementara Evan hanya menggeleng. "Ini pasti ulah Asty," tuduh Lidya. Sontak Evan dan Luna menoleh. "Nggak mungkin, Ma. Asty tidak akan berbuat jahat seperti itu." Evan mengelak, ia tidak yakin jika Asty berbuat jahat seperti itu. "Apanya yang nggak mungkin, jelas-jelas dia bersedia pergi dari rumah ini dan mau menyerahkan butik yang dikelolanya. Kalau tidak ada rencana tidak mungkin Asty mau pergi," kekehnya. Lidya tetap menuduh Asty sebagai pelakunya. "Luna, ayo ikut mama." Lidya bangkit dari duduknya, dan tentunya diikuti oleh menantunya itu. Evan men